Oleh Elvan De Porres*
Dia bertanya tentang nama jalan yang baginya asing dan membingungkan. “Kenapa tidak diberi nama flora dan fauna khas daerah saja atau ungkapan-ungkapan adat yang sering dituturkan di sini?”
“Itu terlalu kuno, Bung. Tidak keren dan tidak punya nilai jual,”aku menjawab seasalnya saja. Selain tak penting, dia sebaiknya menanyakan pendapatku tentang pilkada kota J yang pasti membuatku tertarik. Juga mengenai kontes dangdut di televis yang berakhir ricuh pekan lalu.
Dia membakar kreteknya, menyemburkan asap ke udara berbentuk hati, dan menyunggingkan secuil senyum sinis. Barangkali dia membaca hal yang baru saja kupikirkan, tapi aku tak begitu yakin.
“Kota ini penuh kebusukan. Orang-orangnya telah mati dan jadi mayat hidup yang hanya mengurus diri mereka sendiri,”dia kemudian berseloroh dengan ekspresi yang datar. Seketika, wajahku seperti dirajang. Sok tahu sekali orang ini.
Kau tahu, pagi itu, kami berdua sedang duduk ngopi di emperan sebuah kedai yang kukira baru buka setahun lalu. Dia mengambil ponsel dan memotret suasana yang terjadi di jalanan. Beberapa orang anak sekolah berlari kegirangan; seorang pak tua dengan gerobak bututnya sedang memungut serpihan kardus pada gerbong kuning pembuangan sampah; juga ibu paruh baya penjual mangga rendam tampak duduk lesuh di pinggir jalan, barangkali karena dagangannya belum laku-laku.
Tiba-tiba, seorang laki-laki paruh baya datang ke arah kami dan membagikan sebuah selebaran promosijasa pijat. Dari tampangnya, aku menduga dia bukan warga asli kota ini. Lebih mirip orang Tionghoa atau orang Jawa.
“Duduk dulu, Pak,” kawanku itu mempersilakannya bergabung. Ia duduk sebentar, dan tanpa menunggu basa-basi dari kami, langsung mengelaborasi ihwal dunia perpijatan yang digandrunginya. Seturut tuturannya, begitu banyak orang telah memakai jasanya, termasuk para host acara televise setiap kali mereka datang ke kota ini.
“Mereka kalau ke sini pasti langsung mencari saya,” ujarnya penuh semangat. Dia bahkan sempat juga menyebut nama seorang chef yang kukenal lewat iklan bumbu dapur di televisi.
“Bapak Jawa mana? Saya juga dari Jawa. Saya dari Jogja,” kawanku menghela pembicaraan.
“Saya dari Surabaya, Mas. Tapi sudah lama menetap di sini. Istri saya orang sini.”
“Di sini ada juga tempat pijat, ya. Baru tahu saya, padahal semalaman saya mencari orang untuk dipijatin.”
“Ya, Mas. Selain sebagai tukang pijat, saya juga bekerja sebagai tukang rental sepeda motor. Biasanya saya menyewakan motor-motor itu ke para turis yang suka berjalan jauh. Hidup di kota ini memang susah, Mas. Lebih enaknya pulang ke desaku di Jawa,” sang bapak berbicara agak panjang lebar dan sepertinya sedang curhat.
Kulihat raut wajah kawanku tak menunjukkan respons. Dia malah mengambil kertas kecilnya guna mencatat beberapa hal. Tak berapa lama kemudian, mungkin karena mulai merasa tak nyaman, tukang pijat itu pamit pergi.
“Kamu kenal orang itu?” dia bertanya kepadaku. Aneh. Dia pikir aku ini tahu dan kenal terhadap siapa saja di kota ini. Ingin segera kubalas pertanyaannya dengan jawaban mencibir, namun itu tak terjadi karena ponselnya tiba-tiba berdering.
Dia mengangkatnya dan berbicara dalam bahasa Jawa yang tak kumengerti. Tiga tahun lalu, aku memang pernah ke Jawa,tapi lebih khusuk masuk ketempat-tempat hiburannya ketimbang mempelajari budaya di sana. Enam bulan kuhabiskan waktu di sana dan pulang tanpa membawa pelajaran apa-apa.
Kami melanjutkan ngopi setelah ia selesai berbicara dengan rekan ponselnya. Kreteknya senantiasa diudud tanpa henti. “Setelah ini kita ke Kampung Nelayan ya, Bung,” kawanku mengajakku dan aku mengangguk setuju. Kampung Nelayan adalah nama salah satu kelurahan di kota ini. Para penghuninya datang dari Jawa, Sulawesi, dan berbagai pulau kecil yang berdekatan dengan wilayah ini. Kebanyakan mereka adalah orang-orang muslim.
“Di sini, toleransi senantiasa terjaga baik, Bung,”aku membuka suara, memamerkan kebanggaan tentang kota ini. Meskipun mayoritas orang di daerah kami merupakan pemeluk agama Nasrani, jarang sekali terjadi keretakan yang mengatasnamakan agama, saya bergumam dalam hati.
“Iya, saya tahu,” dia menimpali, lagi-lagi seperti sedang membaca pikiranku.“Di sini ‘kan lebih suka ribut-ribut kalau itu masalahnya tanah atau bagi-bagi harta warisan.”Tentu, ucapan ini membuatku jengkel. Ingin kugocoh saja tampang brewoknya. Namun,demi timbulkan rasa nyaman, aku berpura-pura saja tak menggubris.
Kami berdua lalu menemui beberapa orang lelaki yang duduk di balai-balai depan sebuah rumah. Kawanku itu memperkenalkan dirinya dengan pelbagai tetek-bengek perkenalan yang sudah terlalu biasa. Menyebut nama, asal, dan tujuannya datang ke tempat ini.
“Saya ini seniman. Datang hanya untuk jalan-jalan saja ke sini. Sudah tiga hari, saya berada di kota ini,” tuturnya pongah. Bah. Kau tahu, di tempat seperti ini, menyebut kata seniman adalah perkara asing dan langkah. Syukur saja air muka orang-orang itu tak menunjukkan respons kelimpungan.
Kalau berada bersama dompolan mereka, kau boleh saja menanyakan arti seniman ke kawanku ini, dan dia akan membeberkan deskripsi panjang lebar dengan ragam premis masuk akal yang setelah itu akan membuatmu muntah karena tahu bahwa seniman adalah profesi yang takkan membuat seseorang kaya.
“Kami semua nelayan,”salah seorang lelaki memperkenalkan kelompok mereka.
“Di sini, menjadi nelayan saja bisa membuat seseorang mapan. Sebab, hasil laut begitu melimpah ruah,” kusambar ucapan lelaki itu.
“Apakah kalian semua penduduk asli di sini?” kawanku tak menanggapi sambaran itu dan malah bertanya ke kelompok nelayan tersebut.
Salah seorang yang bernama Mahmud mengaku kalau ia berasal dari Manado. Sudah dua puluh tahun dia merantau ke Kampung Nelayan dan memilih tinggal di sini. Seorang lagi, yang perawakannya mirip pebasket LeBron James tapi lebih ceking, mengatakan bahwa ia lahir dan besar di sini.
Orang tuanya berasal dari suku Bugis. Detail lebih lengkap tentang orang-orang perantauan ini diceritakan oleh Pak Nurdin. Dia yang paling tua dari kelompok itu. Namun, ketika belum selesai mengakhiri ceritanya, dia mohon pamit ke toilet karena sakit perut dan tak kembali-kembali.
Kuperhatikan, kawanku mencatat beberapa hal penting di notesnya. Wajahnya sumringah. Brewok tipis tak teraturnya seakan menari-nari kegirangan entah karena alasan apa. Namun, sepertinya aku harus lebih berhemat bicara biar kelihatan jaim Apakah kata-kataku sedari tadi tidak berbobot atau lebih mirip lagu lama kaset bajakan yang terpampang di toko jual beli barang curian sehingga orang ini macamnya tak punya respek sama sekali. Aku berpikir keras dan tak menghasilkan ide apa-apa.
Kami berdua melanjutkan penelusuran di Kampung Nelayan. Dan sudah kutebak, para nelayan yang kami tinggalkan tadi menunjukkan ekspresi muka bingung-bingung. Sebab, orang asing yang baru pertama kali bertemu dan langsung membuat dirinya akrab tentu patut dipertanyakan kadar pergaulannya.
Bisa saja dia adalah orang sakit yang ditendang keluarganya. Atau boleh jadi merupakan agen intelijen yang punya kepentingan investigasi dalam membongkar sebuah skandal, misalnya praktik mafia ikan atau pengaturan melaut.
“Saya memang bekerja sebagai seniman, Bung,” dia berkata kepadaku. Lagi-lagiseperti sedang membaca hal yang barusan kupikirkan. Aku tak merespons dan lebih fokus mengendarai sepeda motor. Kami melewati beberapa pemuda yang berdiri di depan rumah mereka. Beberapa orang ibu sedang sibuk di jemurannya, sementara ada pula yang duduk merumpi di salah satu teras rumah.
Rumah-rumah di Kampung Nelayan sangat padat, berdekatan, dan tata letaknya tak teratur. Sebenarnya, itu adalah representasi tata letak kota ini keseluruhan. Pemerintah kota kami lebih sibuk mencocorkan pembangunan tanpa punya imajinasi mangkal akan seni, ekologi, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Infrastruktur kesannya dipaksakan hanya untuk menghabiskan APBD. Mungkin juga untuk membentuk persepsi masyarakat bahwa pemerintahnya telah bekerja dengan baik dan bertanggung jawab.
Saya kadung jauh berpikir dan dia tiba-tiba menghardikku dan memintaku berhenti sejenak. Dia memotret beberapa anak kecil yang sedang berkumpul di atas turap yang membatasi laut dan perumahan warga. Kami melanjutkan dan pikiranku mengenai hal tadi segera hilang.
“Bagaimana dengan prostitusi di tempat ini?” dia bertanya lagi. Selalu saja aneh dan mengejutkan. Apakah sang seniman ini sakit? Apakah pikirannya memang suka ngalor-ngidul seperti itu?
“Di sini, tak ada praktik prostitusi,”aku menjawab singkat.
“Maksudku, di kota ini?”
“Iya, di kota ini juga bersih. Pokoknya semuanya bersih,”aku memberi penegasan dengan nada suara yang dipaksakan lebih tinggi. Meski sebenarnya, dua minggu lalu, aku baru saja memakai jasa dua orang wanita penghibur di sebuah pemakaman umum. Belum lagi cerita kawanku Mateus yang mengembat seorang wadam di kolong jembatan sebuah kali mati.
“Wah, orang-orang di kotamu memang suci. Dunia esek-esek sendiri tak beredar sama sekali,” dia berucap singkat. Semoga ucapan ini tak bermaksud menyindir lagi. Namun, rona mukaku memerah karena malu pada diri sendiri. Barangkali seorang seniman memang tahu segala-galanya. Lebih tepatnya punya intuisi untuk melancarkan telepati. Ah, sudahlah. Aku tak suka racauan. Masih ada berbagai hal serius lain yang mesti kupikirkan daripada sekadar menggerutui pria berambut botak setengah lingkaran ini.
Selepas dari Kampung Nelayan, dia mengajakku untuk ngopi lagi. Namun, ajakan itu segera kutolak. “Jam 12 kamu harus segera check in dan pulang ke kotamu, Bung.”
Dia tersenyum, kemudian tertawa lepas. “Hahaha, iya. Saya hampir lupa.”
“Hahaha,,,lupa untuk hal yang serius seperti ini kelihatannya lebih konyol daripada lupa mengingat besarnya mahar yang harus Bung bayarkan untuk seorang gadis di sini,” aku mencoba menyindirnya balik. Mungkin inilah satu-satunya kesempatan terakhir untuk membalaskan dendam sindirian yang dari tadi hanya menampar mukaku.
“Baiklah. Sekarang, Bung harus menghantar saya ke bandara,”dia tak meresponku dan memang seperti itulah. Sialan. Aku memaki diri sendiri dalam hati lantaran merasa telah dilucuti oleh sejumput tingkah laku orang aneh sepertinya.
Kami berdua tiba di bandara. Kawanku itu segera menghadap petugas bandara untuk melakukan check in keberangkatan. Aku menunggunya di halaman sembari menghabiskan batangan rokok terakhir yang tersisa dalam perjalanan. Lima menit berlalu dan dia kembali menemuiku.
“Bung, saya harus segera masuk ke ruang tunggu. Pesawat telah tiba dan saya merasa lebih nyaman menanti waktu keberangkatan di sana. Beberapa catatan penting juga harus segera diselesaikan.”
“Baik, bung. Hati-hati ya. Semoga tiba di sana dalam keadaan selamat,” ku berujar lembut. Sedikit trenyuh. Memang, saat-saat seperti ini, perpisahan kadang tampil bikin lirih. Kau harus melupakan tetek-bengek perkara kejengkelan terhadap orang yang telah menjadi tamu di daerahmu. Dan kau hanya akan mengingat hal baik yang sudah kalian lewatkan bersama. Bisa saja itu berupa refleksi, petuah, celotehan, atau detil peristiwa apa pun yang terngiang di batok kepalamu.
Tiba-tiba, dia mencarik sebuah kertas dari notesnya dan memberikan kepadaku. Di dalamnya terdapat beberapa kalimat yang ditulis dengan garis-garis huruf yang begitu jelek.
Aku membaca sejenak, mengangkat muka, dan ingin segera kuhantam wajah seniman itu. Namun, dalam sekejap, dia telah lenyap dari hadapanku.
Kota ini penuh kebusukan. Orang-orangnya telah mati dan jadi mayat hidup yang hanya mengurus diri mereka sendiri. Mungkin aku keliru. Tapi Bung dan pikiran Bung sedari tadi telah jadi wujud nyatanya.
Kubaca lagi tulisan jelek ini, kupikir-pikir lagi, kemudian menertawai diri sendiri.
Maumere, 2017
*Elvan De Porres, tinggal di Maumere.
Efek Alienasi dan Pengusik Yang Menjengkelkan
Catatan atas cerpen Kawan Jalan
Oleh Hengky Ola Sura
Redaksi Seni Budaya VoxNtt.com
Membaca cerpen Kawan Jalan karya Elvan De Porres kita dihadapkan pada persoalan sosial macam kemiskinan, ketidakadilan sampai pada porstitusi. Kawan Jalan menghadirkan piranti bahasa yang menjauhkan pembaca untuk senantiasa dihadapkan pada kalau bilang begini nanti maksudnya begitu. Maka yang menarik dari cerpen ini adalah Elvan dengan sangat lihai menunjukan satu efek alienasi juga satu tokoh pengusik yang menjengkelkan.
Situasi yang digambarkan Elvan menampilkan semacam kebingungan. Tokoh Aku dan tamunya yang menyebut diri seniman terlibat dalam kenyataan dimana yang satu tahu baik yang satu baru mulai tahu. Anehnya yang tahu baik seolah menyembunyikan dan yang baru mulai tahu mulai berlagak sok tahu. Yang tampak adalah si Aku mulai jengkel dan sang seniman mulai cerocos malas tahu. Berikut beberapa baris penggalan cerpen Kawan Jalan yang menunjukan betapa malas tahu dan cerocosnya si seniman tanpa meladeni tokoh Aku.
“Kami semua nelayan,”salah seorang lelaki memperkenalkan kelompok mereka.
“Di sini, menjadi nelayan saja bisa membuat seseorang mapan. Sebab, hasil laut begitu melimpah ruah,” kusambar ucapan lelaki itu.
“Apakah kalian semua penduduk asli di sini?” kawanku tak menanggapi sambaran itu dan malah bertanya ke kelompok nelayan tersebut.
Dalam dialog juga diskusi antara si Aku, Seniman dan juga orang-orang yang dijumpai dalam Kawan Jalan menyoroti ketidakadilan, kemiskinan sampai porstitusi dihadirkan sebagai sesuatu yang tidak alami. Bukan merupakan bagian yang integral dan tampak tak disadari. Disinilah letak daya pukau yang ikut menciptakan efek alienasi ketika mendalami isi dari cerpen ini.
Cerpen Kawan Jalan hemat saya adalah satu pergumulan serius antara si Aku dan sang seniman dalam merespons persoalan sosial yang bergejolak di tengah masyarakat. Saya kira Elvan dalam cerpennya pada pekan ini mengajak segenap pembaca untuk ikut merasa tergoncang dengan kenyataan yang sebenarnya. Elvan memilih jalan lain yakni ikut membuat pembaca teralienasi. Di sini tampak bahwa Kawan Jalan bukan tipikal cerpen yang membuat pembaca terbuai lalu mengalami semacam hanyut dalam alur cerita. Kawan Jalan justru hadir untuk membuat kita semua paham bahwa target kritik yang mau disasar adalah situasi yang tampak secara nyata di hadapan kita tetapi kita memilih pura-pura tidak tahu atau bahkan melakukan pembiaran. Permasalahan-permasalahan sosial yang disuguhkan Elvan toh secara tersirat tetap mengajak satu solusi bisa jadi semacam jalan pulang untuk membereskan, menyelesaiakan dan mencari jalan keluar dari semua persoalan tersebut.
Kota ini penuh kebusukan. Orang-orangnya telah mati dan jadi mayat hidup yang hanya mengurus diri mereka sendiri. Mungkin aku keliru. Tapi Bung dan pikiran Bung sedari tadi telah jadi wujud nyatanya.
Tulisan dari catatan-catatan sang seniman ketika hendak pergi dari kotanya si Aku adalah semacam harapan. Ia sebuah jalan pulang yang senantiasa menawarkan bahwa yang sekalipun menjengkelkan toh tetap menunjukkan kepedulian.***