Larantuka, Vox NTT-Flores, pulau yang diberi nama oleh S.M Cabot itu jauh sebelumnya telah memantik cinta para pengelana untuk datang.
Karena kagum akan keberimanan dan kebersehajaan orang-orang Flores dan tanahnya yang diceritakan Kapten Tasaku Sato, maka P. Mark Tennien dan Maryknoll akhirnya menulis buku dengan judul I Remember Flores.
Buku terbitan Nusa Indah Ende itu telah mengalami beberapa kali cetak, sayang tidak mencapai banyak kalangan pembaca secara khusus anak-anak Flores.
Pesonanya yang boleh dibilang masih natural kini perlahan tergusur dari ujung barat.
Stanis Tapon, seorang pegiat LSM dari Labuan Bajo mengeluh soal tergusurnya penduduk akibat dari pengembangan pariwisata yang mulai masif.
Dari Denpasar, Bali, Rinyo Djuan bahkan mengatakan jangan pikir pariwisata Bali maju lalu kami ini hidup sejahtera.
“Home stay kecil kami harganya saja mirip beberapa hotel mewah kepunyaan asing, jadi kebanyakan wisatawan pilih yang lebih mewah itu. Sementara yang milik kami sekali pun sederhana dan eksotis mulai tak dilirik sama sekali. Jaga Flores itu baik-baik” Kata Rinyo, asli Flores yang kini jadi warga Bali.
Cerita lepas di atas menyisakan mirisnya Flores di tengah kemajuan informasi yang pesat. Flores rupanya terlalu tertinggal jadi butuh semacam even sekelas tour de Flores (baca, tdf) untuk menaikan pamornya yang setinggi-tinggi.
Ketika perhelatan balap sepeda mulai digelar pada 14 Juli 2017, perjalanan saya dan penumpang lainnya dengan mobil angkutan pedesaan terhambat hanya karena harus memberi kesempatan kepada para pembalap sepeda, panitia dan pihak keamanan juga rombongan yang lewat. Sopir bernama Yomon pun mengumpat-umpat.
Ai kita orang kecil ini e butuh uang baru terhambat e. Saya seolah menangkap geletar suara orang-orang kecil dalam diri sopir tadi.
Apa daya keluhan sang sopir tadi tetap saja menghambat laju perjalanan saya dan penumpang lainnya ke kota Larantuka.
Sementara penumpang di depan saya bernama Dorotea bilang: “Ah balap sepeda (baca, tour de flores) tahun ini tidak rame e, mungkin masyarakat sudah mulai sadar tidak ada manfaatnya langsung untuk mereka”
Dorotea adalah seorang tenaga medis yang bekerja di Rumah Sakit Sint. Carolus Jakarta.
Perjalanannya ke Larantuka hari itu adalah hendak menuju ke Kupang dengan pelayaran kapal feri dan selanjutnya ke Jakarta.
Selama perjalanan saya yang memilih duduk bangku paling belakang senyam-senyum saja mendengar penjelasan dari Dorotea kepada para penumpang tentang tour de flores yang menurutnya tidak terlalu penting.
Yang saya ingat baik adalah Dorotea bilang; jadi bapa mama coba pikir baik-baik apa yang bapa mama dapatkan dari balap sepeda itu.
Tidak! Kita nonton orang balap sepeda, mereka itu datang juga kita biaya pake uang daerah dan kita dijanjikan bahwa nanti orang datang berwisata ke daerah kita lalu nanti uang dengan sendirinya.
Ukuran dari mana dan pake cara ukur apa untuk pastikan kalau mereka (baca wisatawan) datang hanya karena ada balap sepeda di Flores.
Semua penumpang yang ada dalam mobil angkutan pedesaan bernama Cinta Indah itu pun seperti tersontak kaget. Ai begitu lagi e oa, kata seorang ibu disamping saya. Torang ni te tau apa-apa jadi begitu e, ae kalo begitu buat tur keliling kampung-kampung saja le. Ujar Yomon, sang sopir tadi menimpali.
Tiba di kota Larantuka, saya langsung menuju kantor Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Flotim.
Rencana hari ini adalah bersama Wiwid Widiyant dari Oxfam hendak mengadakan diskusi seputar hasil penelitian yang terkait audit sosial pupuk bersubsidi di kabupaten Flores Timur.
Pukul sebelas lewat lima belas menit itu pun dihadiri Anton Sogen, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Flores Timur, Yohanes ND Paru, Ketua Komisi B DPRD Flotim, Anton Lebu Maran, anggota DPRD Flotim, Alfons Betan staf BAPPEDA, Thomas Uran, Direktur Yayasan Ayu Tani Mandiri dan saya sendiri.
Selama membahas temuan hasil penelitian, hal sederhana yang hemat saya sangat menarik adalah keluhan dari Anton Sogen soal koordinasi antar komisi pengawas pupuk dan pihak lainnya.
Menurut Anton satu kendala ketika harus mengundang pihak-pihak terkait pengawasan pupuk adalah ketiadaan dana untuk hal-hal seperti makan minum ringan atau pun beli aqua.
Bagi saya yang agak awam dengan urusan pertemuan uang makan, minum sampai uang duduk, keluhan dari sang kadis adalah semacam pukulan telak untuk even sekelas tour de Flores yang baru saja saya dan para penumpag saksikan sepanjang perjalanan menuju kota Reinha Rosari Larantuka.
Untuk urusan air kemasan aqua saja sudah kelimpungan dan Pemerintah Kabupaten di daratan Flores baru saja mengeluarkan dana yang lumayan besar untuk even bernama balap sepeda keliling Flores.
Model perencanaan seperti apa sampai-sampai urusan harus beli aqua saja harus melihat dengan ketersediaan dana.
Menyaksikan uang daerah yang besar mengalir untuk urusan tour de Flores rasanya tidak adil.
Ketika berkisah tentang tour de Flores dengan kawan-kawan dari Maumere TV, kami seolah saling menertawakan diri kami. Apa hebatnya kita e ikut berpikir tentang even ini.
Begitu kata om Ferdy. Tapi kita memang harus pikir tambah yang lainnya.
Dalam kelakar kami seperti seolah mengimpikan misalnya saja dana besar yang mencapai satu miliyar lebih itu dimanfaatkan masing-masing Pemkab di Flores dengan mengajak anak muda kreatif untuk pembuatan film dokumenter tentang Flores, penulisan buku, revitalisasi budaya-budaya lokal dalam seminar sampai rencana tindak lanjutnya.
Ada lagi yang menambahkan soal penataan area-area pariwisata sembari terus-menerus meletakan semacam doktrin kepada warga tentang adanya semangat hospitalitas, keadaban berbudaya sampai terwujudnya keamanan bagi wisatawan yang berkunjung.
Pernah tidak pemkab se-daratan Flores telah dengan sangat adil membuat perhitungan terkait kunjungan wisatawan lokal yang telah berkunjung ke salah satu destinasi terdekat setiap minggunya dan dana yang diperoleh dari sana.
Rasanya naïf saja alih-alih mau dapat yang besar dari wisatawan asing lalu yang rutin setiap minggu saja perhitungannya masih belum ditata.
Tour de Flores telah selesai. Dan manis Flores semoga saja menjadi mimpi mulia yang mensejahterahkan orang-orang Flores. Itu saja.
Harapan yang sederhana dari kebanyakan orang-orang kecil seperti para penumpang angkutan pedesaan Cinta Indah yang saya tumpangi. Semua kita tentu mau mereguk manisnya Flores karena cinta akan pulau ini.(Hengky Ola-Von)