Wendelina (1)
buat: Mama
Di halaman wajahmu yang mulai renta aku melihat
Sekumpulan kisah
Yang merenda jadi rindu dalam sulaman yang kau sebut
Kasih
Wendelina:
Waktu membingkaiku semakin dekat menuju kemahmu
Wendelina (2)
buat: Mama
Aku mencintaimu Wendelina: utuh..!
Mencintaimu dengan kadar yang sama di segala situasi
Mencintaimu dengan bobot yang persis di setiap kondisi
Aku mencintaimu Wendelina: selalu…!
Mencintaimu lebih setia dari ombak pada cadas
Mencintaimu lebih patuh dari angin pada kincir
Aku mencintaimu Wendelina: sejati…!
Mencintaimu dalam sadar yang membaru
Mencintaimu karena kau telah mencintaiku: sedari awal mula…!
Mata Ibu
buat: Mama Tithy
Di sepanjang taman yang terbentang di mata ibu
Pelan-pelan aku menanam sekeranjang nasib
Ibu mengintip dari tirai balik jendela
Air matanya gugur sebutir demi sebutir
Reinard L Meo, adalah seorang kolektor topi yang juga jatuh cinta pada fotografi. Antologi puisinya yang sudah terbit berjudul Segala Detikmu Penerbit Bawah Arus-2016
Yang Semilir dari Puisi Reinad L. Meo
Catatan Redaksi
Oleh Hengky Ola Sura-Redaksi Seni Budaya Voxntt.com
Membaca Wendelina (1), Wendelina (2) dan Mata Ibu kita dihadapkan pada taksimnya Reinard menghormati sosok mama.
Tiga puisinya kali ini pun adalah tipikal puisi-puisi semilir yang tiba di sukma pembaca dengan nyaris berbisik. Hening. Betul-betul taksa.
Reinard membantu semua yang ikut merindukan sosok mama untuk merefleksikan semua kisah yang terjadi dalam satu kata hormat.
Tentang puisi, dalam tradisi puisi lirik ada puisi angin semilir dan ada puisi angin badai. Puisi angin semilir berupa puisi-puisi liris bagai semilir angin tiba pada pembaca dengan tenang.
Ada semacam rasa damai. Sedangkan puisi angin badai adalah tipikal puisi yang tampil dengan diksi yang membuncah. Terpancar bagai badai. Kadang gemuruh-kadang menghempas segala.
Kembali kepada tiga puisi Reinard,sosok ibu dihadirkan dengan nada dan irama yang ketat. Toh sekalipun ketat bukan berarti harus melalui pembacaan berlapis.
Dengan satu kali membaca dengan keintensitasan yang penuh dan padu saja Wendelina (1), Wendelina (2) dan Mata Ibu sudah menyesap dalam dada dan pikiran pembaca. Satu rasa yang tinggal dari puisi-puisi Reinard adalah ia meninggalkan keharuan serentak kebahagiaan .
Di halaman wajahmu yang mulai renta aku melihat Sekumpulan kisah Yang merenda jadi rindu dalam sulaman yang kau sebut Kasih Baris kata macam inilah yang saya sebut dengan keintensitasan yang penuh.
Paduh juga utuh. Sedangkan pada puisi Wendelina (2) tampak kesatuan imaji yang utuh. Saya kira pada puisi Wendelina (2) Reinald seakan mampu menyihir kita yang membaca puisinya untuk merasakan kesatuan emosi. Puisi ini tampak sangat matang.
Baris kata dan alur makna sangat terjaga. Berikut penggalan dari bait pertamanya. Aku mencintaimu Wendelina: utuh..! Mencintaimu dengan kadar yang sama di segala situasi Mencintaimu dengan bobot yang persis di setiap kondisi.
Merujuk pada bait-bait selanjutnya maka Wendelina (2) adalah puisi semilir yang menyajikan bahwa Wendelina seolah selalu ada dalam jangkauan mata dan hati pembaca.
Pada puisi Mata Ibu yang dipersembahkan untuk Mama Tithy selalu ada jalinan yang memikat. Membangkitkan imajinasi yang mengharu biru.
Maka tiga puisi Reinard pada pekan ini adalah ungkapan yang membawa emosi kita semua untuk mengenang sosok mama.
Ia tampil seperti angin semilir yang memperkuat, memperluas dan mempertebal rasa sayang kita semua untuk sosok yang kita panggil mama-ibunda.