Aku jatuh cinta pada laut, semenjak kutahu bahwa laut membungkus rejeki yang istimewa. Rejeki itu dipungut para petani kecil, dibentang pada petak yang sudah digarap. Di petak itu, para petani kecil menanti mentari membakar butiran air. Rejeki itu adalah garam.
Aku hampir tak percaya bahwa garam itu datang dari laut walaupun aku tahu bagaimana para petani bekerja di ladang garam. Pernahkah kau melihat birunya laut pada butir kristal garam yang putih? Atau menikmati indahnya terumbu karang pada tiap butir garam yang kau kecap? Aku tak pernah melihatnya, tetapi aku sering mendengar deburan ombak dalam lemari tempat ibu menyimpan garam dan ikan asin.
Aku lahir di kampung kecil, namanya kampung garam. Aroma kampung ini memanggil orang-orang kota untuk datang menengok gubuk-gubuk kecil petani garam. Di bawah gubuk-gubuk reot, para petani garam berteduh sambil mengisi garam jadi, yang siap dijual.
Entah kemana hendak dibawa garam–garam ini mereka tak mau tahu. Satu hal yang penting bagi mereka adalah, mereka bisa mendapat beberapa lembar rupiah dari orang kota untuk untuk membayar SPP anaknya yang sedang bersekolah.
Orang kota itu pandai menentukan harga. Ayah dan sahabat-sahabatnya lebih suka memberi tanpa banyak kompromi. “Terserah bapa mau bayar berapa, yang penting saya bisa dapat sedikit untuk anakku,” kata ayah kepada seorang cukong. Petani kecil sering ditipu.
Terasa agak aneh menyapa ayah dan teman-temannya sebagai petani garam. Petani lebih tepat bekerja di kebun atau di sawah bukan di pinggir pantai. Aku mengerti bahwa luas lautan itu 2/3 luas daratan.
Itu berarti wilayah kekuasaan para nelayan lebih luas ketimbang para petani. Nelayan tempatnya di laut. Di darat, mulai dari bibir pantai, para petani diberi mandat. Tentang ayahku, ia sudah 50 tahun menjadi petani garam. Itu berarti sudah selama 50 tahun para cukong itu menipunya, mulai dari buyut cukong sampai cucu cukong.
Aku tahu bahwa para petani garam menyembunyikan rahasia tersendiri tentang garam. Itulah yang membuat mereka betah di petak ini. Rahasia itu pula yang kini membuatku tergila-gila dengan garam.
Untuk itu aku dipanggil Galat. Kuambil namaku dari garam dan laut. Berkenalan dengan garam membawaku masuk dalam labirin-labirin diri yang gelap dan pengap yang bisa membuatku tersesat. Tersesat di dalam diri sendiri.
“Hei sobat… Aku dengar engkau mampu meraih butiran garam pada hamparan samudera.”
“Aku dengar kau juga bisa menjinakkan garam yang sedang marah.”
“Bukankah kemarin engkau yang memanah jantung garam dengan suara yang lembut?”
Sahabat-sahabatku berlalu bersama angin dengan kicauannya yang menjengkelkan. Begitulah reaksi teman-temanku saat berjumpa denganku. Mereka sering menertawaiku karena cerita-ceritaku terasa aneh di kuping mereka.
Biasanya saat mentari tenggelam aku selalu menyapa garam yang masih disimpan laut. Aku sering mendengar jerit mereka yang berebut tempat pada pinggir perahu. Aku mendengar suara tanpa melihat rupa.
Entah mengapa aku tahu bahwa ada suara yang selalu menyebut namaku. Aku ingin mengenal suara itu lebih dekat. Aku ingat pesan ayah “kalau kau kenal garam lebih dalam, kau mampu mengawetkan rasa cinta yang ada di hatimu. Itu hanya mungkin kalau kau punya hati seperti kristal dan mata yang tulus seperti langit.”
Saat kurindu pada garam, aku menceburkan diri di laut lepas. Berenang di laut sambil mengecap rasa garam pada laut. Saat itu aku sering merasa terperangkap dalam rasa rindu yang aneh.
Asinnya garam di laut meninggalkan rasa haus yang sulit kukisahkan. Rasa asin yang mengejutkan kedua sisi lidah serentak mempesonakan tenggorokan. Itu ibarat detak jantung pemuda yang berhenti berdetak saat disapa gadis elok yang timbul dari arah terbitnya matahari.
Aromanya yang suci akan menjinakkan batinnya. Rasa haus itu memanggilku pulang untuk meneguk air dari sumber yang tak pernah mengering.
Kau harus tahu bahwa rasa cintaku pada laut dan kekaguman pada garam membuatku betah bersama ayah di petak-petak ini. Sahabat-sahabat seusiaku lebih sering berlama-lama dengan pasangannya di bawah teduhnya bulan.
Mereka lebih suka bernaung di bawah batang beringin yang kokoh sambil menaburi hati kekasihnya dengan gambar-gambar lucu dari ponselnya. Bagi mereka waktu seakan berhenti kalau bersama kekasihnya di taman-taman bunga yang indah.
Di tempat ini, rupanya ayah ingin agar aku mengenal laut lebih dekat, mungkin ia tahu bahwa aku sudah terlanjur mencintai laut. Sering kuminta ayah tuk restui pernikahanku dengan laut.
Aku mau agar perkawinanku menambah jumlah air pada samudera, dan kalau ayahku masih kuat ia bisa mengambilku dari laut dan memanggangku di bawah cerahnya sang mentari agar aku menjadi garam. Garam lautan.
Aku punya sahabat tetapi banyak dari mereka yang tak peduli dengan perasaanku ini. Bahkan ada yang sering menertawaiku. Aku sering meminta mereka untuk mendesak ayah supaya segera menikahkan aku dengan laut.
Namun tak seorang pun yang peduli. Aku sendiri hampir bosan mendengar pendapat ayah yang tak pernah berubah “tahan dulu keinginanmu nak’, segala sesuatu ada saatnya.” Mungkin kami keluarga miskin, aku tak tahu berapa mas kawin yang dikehendaki keluarga di lautan. Mungkin ini yang memberatkan ayah.
Kerinduan yang tertahan membuatku tersiksa. Jujur, aku cinta garam seperti aku cinta pada laut. Aku masih tak mengerti mengapa hatiku terasa mendua. Aku mau hidup bersama dua isteri, garam dan laut.
Aku tahu bahwa garam diurai oleh tangan yang tak kukenal. Tangan itu mengurai butiran garam dari lautan, seperti memisahkan biji jambu mete dari buahnya. Aku ingin melihat tangan itu.
Tangan yang memintal air laut dan butir pasir serta menenunnya menjadi butir-butir kristal asin. Kalau tokh aku dapat melihat tangan itu, aku akan meminta pemiliknya agar ia pun merelakan tangannya menenun diriku menjadi garam.
Ayahku hanya pandai melakukan proses pembuatan garam yang tradisional tanpa memahami lebih dalam mengapa garam bisa terjadi.
“Ambilkan beberapa batang kelapa yang kemarin ditebang nak”, pinta ayah.
Bilah-bilah kelapa ini rencananya dibuat talang-talang tempat terakhir proses pembuatan garam. Sesudah melewati proses penyaringan terakhir, hasil penyaringan diletakkan di dalam sebuah wadah kemudian diletakkan di atas talang-talang ini.
Aku membuat talang-talang itu dengan jarak tiga meter dari petak yang telah dibuat. Petak di samping talang itu dibuat dengan ukuran ± 2×3 meter. Tidak sulit membuat petak-petak itu. Sesudah membuat petak-petak itu, gayunglah air laut lalu siram pada petak yang sudah dibuat.
Siramlah pada pagi cerah biar panas matahari bisa memanggangnya dengan sempurna. Tinggalkan petak dan biarkan matahari bekerja. Sesudah dipanggang di bawah matahari, pasir yang disiram laut tadi membentuk gumpalan-gumpalan.
Gumpalan ini diambil kemudian diletakkan pada tempat yang dianyam dengan daun lontar. Jarak satu rajutan ke rajutan lain harus rapat, biar air itu disaring dengan sempurna. Di atas wadah yang terbuat dari lontar ini, gumpalan pasir disiram dengan air laut.
Hasil tirisan air laut itu ditampung untuk kemudian disiram lagi pada wadah itu. Hal ini bisa dibuat sampai tiga kali. Tirisan terakhir ditampung kemudian disimpan lagi di dalam wadah yang dibuat dari daun lontar. Letakkanlah di atas talang yang sudah dibuat. Sesudah beberapa saat air itu mengkristal dan menjadi garam.
“Sekarang letakkanlah wadah itu di atas talang yang sudah dibuat.” Dengan senang hati aku menyimpannya di atas talang.
“Ada kristal di dalam air ini. Engkau harus yakin itu anakku.”
“Proses ini jadi ritus yang misterius. Engkau memintaku untuk yakin bahwa di dalam wujud tertentu ada rahasia yang akan tersingkap sesudah aku setia menantinya?”
“Tepat sekali anakku. Ini butuh hati yang tulus dan kesabaran ganda.”
“Seluruh proses ini dibuat di bawah penglihatan seluruh alam semesta, diperkenankan samudera luas, direstui oleh penguasa jagat: matahari, dilindungi oleh hembusan angin barat dan timur yang mengidungkan dongeng sebelum air itu terlelap dan berubah wujud, ditopang oleh batang kelapa yang kokoh, ditenun di dalam rumah pasir yang sederhana, yang mengizinkan perkawinan dua nyawa Natriun dan Khlor bersatu dan menjadi satu tubuh: kristal asin, yang sering kau panggil, garam.”
Mengikuti seluruh proses pembuatan garam rasa-rasanya ayah melakukan ritus ‘masuk minta anak orang’ untuk kemudian masuk tahap pertunangan.
*
“Engkau mencintai laut, engkau kagum pada garam. Aku mendengar hal itu dari teman-teman.” “
Sekarang aku mencintainya Rina”, kujawab sahabatku dengan singkat.
“Why?”
“Aku mau menikahi laut dan garam.”
Rina sahabat sekolahku hening sejenak
“Bukankah garam itu datang dari laut?
“ Ya’ tetapi keduanya berbeda.”
“Pilihlah garam yang tepat.”
Aku diam.
“Ada empat jenis garam yang aku tahu,” Rina menjelaskan.
“Ada garam yang terbentuk dari reaksi asam kuat dengan basa kuat, misalnya NaCl, K2SO4. Garam ini tidak mengalami hidrolisis atau terurainya garam dalam air yang menghasilkan asam dan basa. Ada garam yang terbentuk dari reaksi asam kuat dengan basa lemah, misalnya NH4Cl, AgNO3. Garam ini mengalami hidrolisis parsial hanya kationnya saja yang mengalami hidrolisis. Ada garam yang terbentuk dari reaksi asam lemah dengan basa kuat, misalnya CH3COOK, NaCN, pada garam ini anionnya saja yang mengalami hidrolisis. Garam yang terbentuk dari reaksi asam lemah dengan basa lemah, misalnya CH3COONH4, Al2S3 mengalami hidrolisis total.”
“Sempurna. Rina apapun jenisnya aku tetap mau menjadi garam, sekalipun terurai dalam air.” Rina tersenyum.
“Rina kau tahu kenapa Natrium dan Khlor itu bisa terikat, siapa yang mengikat? Dengan tali apa?
“Dengan tali pusarmu….Galat.”
“Tali pusarku sudah lama dikuburkan.”
“Mungkin mereka terperangkap Galat..’ Rina menambahkan.
‘Terperangkap di mana?”
“Di petakmu.”
“Seperti engkau terperangkap di mataku”
“Ya itu dulu…..” Rina tersenyum.
“ Besok pertunanganku akan dilangsungkan.”
“Hari ini aku meminta bantuanmu untuk membuat petak yang lebih luas dan lebih dalam.”
Siang kian terik kami membuat petak yang luas dan kian dalam hingga fajar kembali ke peraduannya.
*
Rambutku dicukur dengan pisau terasah. Sepi. Sepi. Sepi. Sepi. Semuanya menyepi. Yang terdengar hanya garukkan pisau cukur pada rambut kepalaku. “Srukkkk…Srukkk” Penduduk kampung garam melihat dari jauh.
Sepoi pantai mulai berhembus pelan. Membersihkan rambut yang terlepas. Tubuhku mulai menggigil. Pakaianku mulai dilucuti seperti kelopak mawar yang jatuh satu per satu. Aku lihat laut pun bergelora.
Beberapa tetua adat bergegas mengunyah sirih pinang saat laut kian bergelora. Segera mereka memuntahkan sirih pinang pada kepalaku. Seluruh kepalaku diwarnai dengan ludah mereka yang merah.
Kepalaku basah dan mulai terasa hangat. Bau sirih pinang terasa menyengat hidung. Angin pantai kian kencang, beberapa dahan kelapa terjatuh disapunya. Tubuhku kian menggigil.
Tetua adat mengucapkan kata-kata yang tak teratur sambil mengunyah sirih yang masih ada di mulutnya. Makin lama suaranya makin kencang melawan desiran angin. Sesekali mereka menghentakkan kakinya.
“Penguasa laut. Kau tak perlu bersembunyi. Kalian tak perlu berpura-pura tak mengenal. Kini kulabuhkan satu dari generasiku untukmu” suara ayah itu membuatku terharu.
“Bukan aku tak sudi tetapi aku berkehendak baik memintamu menjadi sahabat yang setia.”
Saat itulah aku dilemparkan ke tengah laut dan sebuah gelombang besar menjemputku. Menggulung aku dalam dekapan yang kian kuat. Aku dibawa ke tengah laut. Hilang. Gelap. Tak Ada cahaya.
Aku bisa merasakan ada hal yang aneh. Tubuhku terasa mulai remuk. Seperti ular piton yang meremukkan mangsanya dengan melilit tubuh mangsanya, tulang-tulangku terasa mulai terlepas.
Aku coba meyakinkan diri bahwa ini hanya mimpi buruk saja, sesudah bangun dari tidur aku akan mendapati diriku seperti sedia kala. Tulang leherku dipatahkan, tulang belakangku dilumatnya, tubuhku dilunakkan dengan lendir laut yang asin.
Aku merasa suaraku terlepas dari diriku dan kata-kataku tenggelam entah ke mana. Perlahan aku hancur berkeping-keping dan hilang.
*
Ada cahaya. Ada suara. Ada kehidupan. Suara-suara itu kukenal. Itu penduduk kampung garam. Aku tanpa kaki, tanpa tangan, tak punya wajah, tak punya tubuh, aku hanya cairan pada petak garamku. Aku- laut.
Ayah dengan hening menatapku, aku coba memberi salam dengan riakku, tetapi ia diam saja. Mendung di matanya mulai basah. Uban di kepalanya makin menjadi-jadi. Keriput pada wajah makin kentara. Tubuhnya makin susut.
Baju yang ia pakai terasa mendera seperti memikul beban berat pada pundaknya. Ia menunduk pada wadah menyentuhku dengan penuh cinta. Butiran air matanya jatuh membasahiku.
Serentak seluruh warga meratapiku. Aku yang adalah laut pun berduka. Deraian air mata membasahiku, seperti dulu saat aku kehilangan ibu, semua orang meratapiku dengan penuh iba. Aku kian basah.
Aku mendengar suara mereka, aku mengerti ucapan mereka. Lama kelamaan aku merasa diri begitu asing. Perlahan-lahan aku mulai tak mengerti apa yang mereka ucapkan. Aku tak mengerti bahasa yang mereka pakai.
Aku gelisah. Aku gagu. Aku hilang dari dunia mereka yang disekat bahasa yang tak kujangkau. Perlahan-lahan aku hilang dari pandangan mereka saat mentari terik memanggangku dengan sempurna.
Perlahan-lahan aku hilang dari hadapan mereka. Aku teperangkap dalam kegelapan yang tak pernah kualami.
“Galat…..” Suara itu muncul dalam keheningan seperti kandil yang bercahaya dari pojok rumah yang gelap. Aku mengenal suara itu. Suara itu terasa menggapai diriku, menarikku dalam dekapannya, mengikatku dengan kekuatan penuh, dan memintaku agar aku menjadi lebih kuat. “Ingat asam kuat dan basa kuat tidak akan terurai sekalipun di dalam air,” itu suara Rina.
“Engkau memilih menjadi laut dan aku memilih menjadi pasir yang menantimu pada petak yang sudah kita buat. Ini rumah yang kita bangun tanpa harus menanti jutaan rupiah terkucur dari kantong ayahmu.”
Aku merasa hidup lagi. Aku begitu gembira mendengar suara itu. Aku begitu bersuka cita dalam hati yang bergelora dan mengidungkan lagu yang engkau tak paham. Kami sudah punya bahasa sendiri yang agak aneh.
“Galat tanpa aku, kau tidak mungkin menjadi garam. Aku mengerti teori-teori kimiawi. Dan aku memilih menjadi pasir sebab aku menyiapkan nyawa untukmu. Dua nyawa yang bersatu menjadi satu nyawa.”
Dua nyawa melekat menjadi satu nyawa, terikat oleh tangan yang kini kukenal. Tangan yang keluar dari hati yang bening mengikatku dengan air mata ayah dan para penduduk. Deraian air mata mereka merajutku dan Rina.
Merekat kian kuat sehingga sekalipun berada di tempat lain kami tak akan terurai. Air mata mereka adalah cinta yang berderai yang mengalir dari hati yang tulus mengantarku dengan lambaian tangan.
Sukacita ini mengajak kami menari dengan sungguh-sungguh di bawah terik mentari hingga terkoyak seluruh busana dan yang tertinggal adalah tarian. Kami bukan lagi dua melainkan satu.
Dipindahan dari wadah yang satu ke wadah yang lain. Diguyur sekali lagi hingga mendapat tetes-tetes terakhir yang tak akan gugur. Di atas wadah yang sederhana kami dipanggang, seperti tukang besi menempah besi pada bara menyala.
Tak ada keyakinan lain selain penyerahan diri yang total. Membiarkan diri diubah menjadi kristal-kristal cerah. Lama terasa ada yang berubah. Tubuh mengeras dan menjadi kaku. Galat dibaptis dengan nama baru Garam.
Bulan madu kami habiskan untuk beziarah di meja makan ayah, sampai meja para pejabat dusun. Hati bening dan mata tulus yang bisa melihat birunya laut pada putihnya kristal tubuh kami. “
“Sobatku kini aku tahu bahwa engkau setia mendengarkan aku. Kalau kau sudi, hari ini kami ingin berdebur di batinmu, saat kau kecap garam dari makananmu.”
Catatan Redaksi
Oleh: Hekngky Ola Sura
Redaktur Seni dan Sastra VoxNtt.com
Membaca Pada Petak Garam karya Bill H kita dihadapkan pada satu rasa takjub. Bill sang cerpenis mengajak semua yang ikut membaca untuk merentang juang sikap dan kepekaan sosial terhadap kondisi di sekitar kita.
Ini salah satu mahakarya anak NTT yang sengaja saya tampilkan kepada pembaca bahwa selalu ada yang patut untuk kita muliakan dari para petani garam.
Kisah tentang Galat adalah luahan yang menyanyat hati tentang sosok seorang anak yang menyaksikan secara terus-menerus kepelikan hidup yang ditipu para cukong.
Dan nasib para petani garam adalah selalu saja dengan setia menerima apa yang cukup untuk hidup dan juga iuran sekolah anak-anak mereka. Hidup adalah soal cukup pas untuk makan minum dan uang sekolah.
Selebihnya adalah kepasrahan pada yang terjadi dengan nasib. Sebagai teks Pada Petak Garam adalah sebuah mozaik kehidupan yang tidak asal ditulis. Artinya selalu ada konteks, termasuk konteks sosial-politik yang menentukan keberadaan teks.
Setiap karya sastra saya kira selalu mengatakan sesuatu yang lain ketimbang sesuatu itu sendiri. Kisah tentang petani garam yang diangkat Bill menghadirkan tokoh semacam Galat untuk tujuan mengatakan sesuatu yang lain itu.
Yang menukik dari cerpen ini adalah Galat sebaga tokoh cerita yang bercerita. Pada Petak Garam sesungguhnya adalah sbuah totalitas. Ia tidak sekadar reproduksi realitas tapi mengajak semua yang hidup dalam cerita juga kita pembaca untuk membangun sikap dan kepekaan sosial yang lebih intens.
Cerpen ini mengajak semuanya untuk tidak memandang rendah status sosial. Barangkali inilah sekilas nilai yang dapat kita petik untuk ziarah lakonan kehidupan kita.