Oleh: Yohanes Jehadur*
Sejarah bangsa dan Negara Indonesia kronologisnya sudah sangat panjang.
Panjangnya sejarah tersebut dapat dilihat dengan peradaban sejarah yang sudah dilalui bangsa dan negara ini.
Sejarah peradaban bangsa tidak terlepas dari dari peran eksistensial pemuda.
Sejarah telah mencatat dalam perkembangan lahirnya bangsa Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan, masa kemerdekaan bahkan pasca kemerdekaan itu sendiri tidak terlepas dari peranan pemuda. Hal itu sudah menjadi postulat republik ini.
Jika kita mencermati literatur sejarah, disana kita akan menemukan keterserakan perjuangan kaum muda dalam mendobrak perubahan.
Mahasiswa sebagai pioner muda yang selalu berada dalam garda terdepan untuk melihat dan menindaklanjuti berbagai persoalan sosial kemasyarakatan.
Sumpah pemuda menjadi salah satu prestasi hebat yang diukir oleh mahasiswa.
Tempo itu mahasiswa berhasil menjadi “bintang lapangan” untuk menegaskan cita-cita berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa.
Prestasi ini menjadi tolak ukur bahwasannya mahasiswa tetap menjadi kunci utama (prime key) untuk menonggak akan perubahan bersama.
Selain itu, eksistensi mahasiswa patut diacungi jempol.
Kiprah sebagai mahasiswa yang dibina dalam lingkungan akademis menjadi acuan agar mahasiswa berani keluar dari kurungan yang meninabobokan pergerakannya untuk melawan situasi yang menindas akan maju dan beradabnya sebuah peradaban.
Mahasiswa pada hakikatnya sebagai motor pencerahan yang sesuai dengan predikat dalam dirinya sebagai agent of change, agent of social control, agent of intellectual dan saya tambahkan satu, agent of pressure.
Sudah sejak lama karya kesuksesan seperti yang disebutkan diatas diperbincangkan. Karya pemuda Indonesia tidak cukup sampai di situ. Harus berlanjut.
Dalam konteks Indonesia hari ini, bentuk-bentuk perjuangan pemuda tidak lagi meneteskan darah seperti 1928 sebagai mana perjuangan pemuda mengikrakan sumpah pemuda, bentuk-bentuk perjuangan pemuda adalah bagaimana upaya mengisi kemerdekaan dengan pahatan-pahatan sejarah baru.
Mengukir banyak prestasi hebat. Selain itu, dalam kehidupan berbangsa benegara yang tidak saat ini pertisipasi kaum muda memang dibutuhkan dalam dengan harapan memunculkan pandangan segar kepemudaannya guna mengkritisi berbagi ketidakadilan kehidupan bersama dan menyuarakan bonum comune.
Pada intinya pemuda harus out of the box. Tetapi, miris dan ironis untuk konteks kekinian terkadang mahasiswa memilih acuh tak acuh dengan situasi sosial bangsa ini. Hai mahasiswa begitu banyak ketidakadilan bangsa ini.
Korupsi mengggurita, radikalisme bertumbuh subur, kapitalisme beranak-anak, penegakan hokum yang hanya menjaring laba-laba kecil, dan masih banyak lagi fakta ketidakadilan bangsa ini.
Mahasiswa lebih memilih untuk berdiam diri dibalik jas almamaternya, memilih bergaul dengan modul perkuliahannya, memilih menjadi mitra sejatinya dosen serta memilih bernaung dari megahnya tembok kampus.
Situasi sosial idealnya menjadi ruang keluh dan kesah mahasiswa. Selain itu, mahasiswa justru memilih untuk tercebur pada dunia pragmatis dengan menghalalkan budaya hedonis, konsumeris, dan materialis.
Mirisnya lagi, realitas yang ini makin mengarahkan mahasiswa pada kepentingan sesaat.
Mahasiswa lebih memilih apatis dibandingkan dengan menghabiskan waktu dengan melaksankan berbagai hal, bahkan untuk konteks sumpah pemuda, sekadar mengingat sejarah perjuangan pemuda
Lantas, mungkinkah perjuangan mahasiswa sudah dininabobokan oleh faktor internal ataupun eksternal? Saya berdoa semoga saja pemuda kita tidak seperti pertanyaan bodoh ini.
Kenyataan pelik yang memomokkan semakin melegitimasikan bahwasannya siapa lagi yang perlu kita harapkan untuk berjuang mewujudkan kebaikan bersama, manakala mahasiswa yang menjadi “benteng terakhir” memilih untuk berdiam diri dalam baju pragmatis.
Idealnya mahasiswa tidak seperti “menara gading” yang menjaga wibawanya dan mengafirmasi sejarah perjuangan pemuda dengan tidak memaknai kembali.
Alhasil, jika kita merasa terketuk dengan berbagai manuver yang mendiskreditkan eksistensi kita, maka perlahan-lahan timbul kesadaran untuk keluar dari “kotak persoalan” dengan mendalami melalui pembangunan pemahaman kita dalam konteks multipersoalan kebangsaan.
Titik ini harus dilahirkan dari dalam diri melalui permenungan akan eksistensi diri yang mungkin kita terlalu lama berbajukan pragmatis.
Berani keluar dari situasi yang mematikan menjadi tuntutan dan tantangan bagi mahasiswa kekinian, mengingat banyak tawaran yang mengarahkan mahasiswa pada situasi keapatisan.
Oleh karena itu, saatnya mahasiswa keluar dari keadaan yang telah mencagarkan dirinya, keadaan yang telah mematikan eksistensinya sebagai spektrum perubahan sosial kemasraykatan.
Mahasiswa harus berani menunjukan taringnya bahwasannya spirit perjuangannya tetap ada.
Akhirnya, sebagai pemuda mari kita memaknai sumpah pemuda dan berdoa semoga karya kesuksesan pemuda 1928 tetap terparti dalam pemuda 1928 bertelapak 2017.
Selamat hari sumpah pemuda!
Penulis adalah Ketua Senat Mahasiswa STKIP St Paulus Ruteng