(1)
Suatu hari, ia melihat pada papan reklame, ada potret raksasa sepasang mata paling biru di dunia. Ia teringat kepada cerita pendek karyaMarques berjudul The Eye Of A Blue Dog, segera dan seketika. Ia tahu mata itu tak ada hubungannya dengan cerita pendek meski mengandung kata yang sama ; biru. Otaknya hanya terlampau lekas menghubungkan hal – hal acak yang memiliki kesamaan. Sesedikit apapun itu. Mata dari seekor anjing yang berwarna biru. Mata biru.
Ia juga tahu bahwa sepasang mata itu adalah mata lelaki. Tanpa maskara, tanpa warna-warni di kelopak, tanpa berontak yang sembunyi tetap pada jiwa. Serupa mata malaikat pada lukisan masa renaissans yang pernah ia lihat di majalah seni. Mata patuh.
Sebuah pertanyaan membikin ia penasaran ; mata itu mata siapa ? Untuk menghabisi rasa penasaran, ia berdiri di depan papan reklame selama tiga puluh tujuh menit. Matanya, yang berpupil hitam membosankan, meneliti setiap milimeter papan reklame. Mencari petunjuk. Barangkali ada inisial nama si pemilik mata biru. Atau, inisial fotografer yang mengambil fotonya. Atau, catatan kecil tentang produk apa yang ia tawarkan. Mungkin juga pesan moral. Apa saja selain sepasang mata paling biru yang tak berkedip. Atau, mungkin ia menunggu kapan mata itu berkedip. Apa atau siapa yang ditunggunya tak lagi pasti. Selepas menit ke-tiga puluh tujuh, segala yang ia cari tak juga ditemukan.
Pada menit ke tiga puluh delapan, ia memutuskan akan bertanya kepada Sang Ibu. Meski ia menduga ibunya tak pernah sekalipun memperhatikan kalau di tengah kota ada papan reklame yang menunjuk sepasang mata biru saja, ia tetap bertanya. Bisa jadi Ibu memiliki dugaan yang jitu soal siapa pemilik mata biru.
“Pasti bukan mata orang kita. Saya yakin, semua orang di kota ini punya bola mata berwarna hitam gagak sejak seratus tahun lalu. Kita tidak pernah berubah.”
Suara Sang Ibu terdengar seperti pemudi tanggung pada hari pertamanya bekerja sebagai tukang parkir di kota. Kota yang selalu Ibu istilahkan sebagai kota kita. Tukang parkir bukan pekerjaan terhormat. Ia sejajar pedagang pasar, satpam dan anggota pasukan kuning. Kasta terendah dari semua pekerjaan yang ada. Karenanya Si Pemudi telah kehilangan seluruh kepercayaan diri sebelum berteriak. Ia kerahkan seluruh kekuatan suaranya untuk mengusir canggung. Suaranya ketika berteriak terdengar meyakinkan. Gagah, berani dan jantan. Tapi, suara itu tak cukup baik untuk menipu telinga sensitif, jenis telinga yang ia punya yang mudah saja membedakan dusta dari nyata. Seorang karibnya yang berprofesi sebagai tukang parkir, bahkan sampai selesai tahun pertamanya bekerja, masih berteriak memberi aba-aba dalam nada yang sama.
“Tapi kita pernah dijajah. Bisa saja…. Penjajah kawin dengan yang dijajah ? ”
“Orang kita tidak mungkin fotonya ditaruh di papan reklame seperti itu. Itu tempat untuk orang lain dengan mata yang warnanya berbeda. Orang kita tidak ada yang matanya menarik. Kau tahu kan ? ”
Ya. Tapi yang ia ketahui bukan cuma soalan yang dikatakan Ibu dan diulang-ulang selama tujuh hari berturut-turut setiap Sang Ibu ingat bahwa puterinya pernah mengajukan pertanyaan konyol. Ia juga tahu bahwa pengetahuan dan kebenaran adalah dua hal berbeda. Lagipula, ibunya pernah berkotbah bahwa keinginan paling purba manusia hanyalah bertahan hidup, tanpa pernah membaca berita di koran tentang salah satu tetangganya yang minum seratus pil kina untuk mengakhiri hidup.
“Lupakan saja. ”
Suara Sang Ibu terdengar seperti titah. Celakanya, ia bukan jenis robot patuh. Ia anak. Sudah kodratnya jadi pemberontak agar berpisah jalan dengan Sang Ibu kelak.
Ia jelajahi petunjuk di mesin pencari di internet dengan kata kunci : mata paling biru. Pada laman peramban muncul beberapa pilihan foto, artikel dan berita. Sekali klik menghantarkannya pada ribuan foto mata berwarna biru. Mata milik si ini dan si itu, tapi bukan mata yang ada pada papan reklame. Setelah halaman ke-lima, ia menyerah meskipun tak habis akal. Jika mesin pencari tak mampu membantu, maka ia akan menggunakan kemampuannya sendiri.
(2)
Orang pertama yang mengajarinya cara menggunakan kamera adalah seorang pastor Jerman bernama Johannes. Usianya sepuluh waktu itu. Usia Si Pastor sekitar tujuh puluh. Setiap pekan di hari Sabtu, tepat pada jam satu siang, ia dan Si Pastor biasa berpapasan di depan Kantor Pos. Si Pastor mengendarai sepeda tua lengkap dengan bel yang berbunyi kring…kring… Sepeda dan Si Pastor sama-sama terlihat kuno, hingga sulit baginya menerka siapa yang lebih dulu ada di dunia. Si Pastor atau sepedanya. Atau keduanya lahir pada tahun yang sama ? Yang seorang keluar dari rahim ibu dan yang lain dibikin di sebuah pabrik. Ia selalu ingin bertanya, tapi tak punya keberanian yang berlebihan seperti anak-anak lain yang bahkan gemar mencolek sepeda Si Pastur karena gemas akan bentuknya yang kurus dan aneh lucu. Ia hanya akan menatap si Pastor dan sepeda tuanya dari jauh. Kadang, dari balik punggung ayahnya, tukang pos yang gemar membaca berita politik. Sering dari kolong sebuah tinggi meja tempat rekan kerja ayahnya menyortir surat.
Sekali waktu, Si Pastor ingin difoto bersama tiga tukang pos, termasuk ayahnya. Para tukang pos telah membantu Si Pastor tetap terhubung dengan kerabatnya di Jerman. Si Pastor ingin agar wajah dan nama mereka juga bisa dikenali kerabatnya. Tak ada yang bisa dimintai tolong untuk memotret, maka ayahnya, tukang pos yang gemar membaca berita politik, memintanya keluar dari kolong meja dengan iming-iming uang jajan seribu rupiah.
Kamera analog milik si pastor berbentuk persegi. Pas digenggam tangannya Ia mesti mengintip lewat sebuah lubang kecil untuk memastikan ke-empat obyek foto ada di dalam frame. Lantas, menjepret dengan telunjuknya yang gemetar sebanyak empat kali setelah menghitung satu…dua… tiga dengan suara yang menyimpan ketakutan. Ia juga difoto tiga kali dalam pose yang sama ; tangan kanan ditaruh dipinggang, bibir tersenyum dan mata dipaksa untuk tidak berkedip saat tertimpa blitz. Dua pekan kemudian, ia memandangi fotonya sendiri, seukuran kartu pos. Ia nampak wajar.
Dua belas tahun kemudian, tanpa pernah dikira-kira, dirinya mengelilingi kota untuk memotret wajah orang-orang. Proyek pribadi itu ia beri judul ; mencari sepasang mata biru. Tak ada yang membayarnya berkeliling. Tak jarang ada yang menolak dipotret meski banyak juga yang meminta dipotret berkali-kali. Sembilan hari mengelilingi kota, lima ratus tujuh belas wajah lelaki telah ia potret. Tak satupun dari mereka punya mata biru pada papan reklame. Kembali ia putus asa, dan kesal kepada dirinya sendiri karena ia lekas putus asa.
“Putus asa bisa jadi adalah cara jiwamu mengatakan kalau kau harus mencoba cara lain. Cara yang itu tidak berhasil. Kau cari apa sebenarnya ?” Ayahnya bertanya sambil membaca berita politik. Ia telah pensiun sebagai tukang pos, namun masih tetap membaca koran. Setiap hari Jumat di awal bulan Si Ayah juga masih sering mengirim surat untuk karibnya yang bermukim di Ibu kota propinsi. Meski jaman telah berubah dan orang semakin jarang bertukar kabar lewat tulisan tangan, Si Ayah tetap memelihara kebiasaan. Suratnya berbalas sebulan sekali. Sepuluh halaman. Kadang-kadang lima belas. Korupsi, proyek mangkrak dan tingkah kurang ajar anak-anak jaman sekarang adalah sebagian dari cerita yang sering dibacakan Si Ayah keras-keras.
Dipikir-pikirnya juga anjuran Si Ayah. Tak buruk. Beruntung, meski mudah putus asa ia bukan seseorang yang lekas kehilangan akal. Diputuskannya untuk berdoa saja, sambil mengirim pesan pertemanan ke beribu-ribu pria yang memiliki mata biru ; orang-orang yamg tidak ia kenali, yang sembrono saja membagikan alamat surat elektroniknya di media sosial.
(3)
Aku dengar, sudah dua belas tahun lamanya perempuan itu tidak melakukan apa-apa ; ia tidak pergi bekerja, tidak mandi dan jarang keluar rumah. Kadang ia bicara sendiri, kadang terdengar suaranya menangis seperti meraung, kadang ia berdiri di depan pintu rumahnya seperti menunggu seseorang atau sesuatu.
Orang-orang bilang ia gila. Kukira, ia hanya sedang menunggu seseorang atau sesuatu yang tidak pernah benar-benar ada. Kadang-kadang ia berteriak,
“Biru!”
Telunjuk kanannya tengadah ke langit. Matanya sembab. Dan setelahnya ia tertawa keras sekali. Orang-orang membiarkannya begitu saja, kadang menertawakannya, tak jarang mengusirnya pergi.
(2017)
Cerpen Dengan Kisah Yang Rumit
Oleh Hengky Ola Sura
Redaksi Seni Budaya Voxntt.com
Membaca cerpen Afe W berjudul Biru pembaca dihadapkan pada situasi penuh tanya. Kenapa sih bisa jadi begitu? Alurnya runut tapi kisahannya kok seperti melantur saja. Bisa jadi ini beberapa pertanyaan yang lahir dari pemikiran pembaca. Maka yang senantiasa tinggal ketika tanpa mendalami maksud tersembunyi dari kisah tentang mata biru adalah sebuah keterasingan yang makin tak karuan.
Satu hal yang unik dari cerpen ini adalah bahwa kehadirannya yang selalu penuh tanya akhirnya tetap jadi pertanyaan sampai usai. Cerpen tipikal ini adalah cerpen abstrak yang butuh pembacaan berlapis untuk mereka-reka keseluruhan isinya. Kisah tentang tukang pos, tentang pastor, tentang ibu dan anaknya yang senantiasa terlibat perdebatan soal mata biru adalah serupa petualangan-petualangan penuh liku seperti hendak membongkar satu jalinan terpilin dari kisah yang boleh kita sebut sebagai sejarah.
Merunut dari struktur cerpen yang memuat orientasi, komplikasi, evaluasi, resolusi, dan koda maka isi keseluruhan cerpen ini tampak beberapa struktur cerpen seperti evaluasi, resolusi dan juga koda tampak tak nyata atau tak nampak dalam cerpen ini.
Biru dalam karya Afe W kali ini saya kira ikut memperkaya khasanah bercerita bagi semua yang ikut menulis cerpen untuk paham bahwa cerpen tak harus hadir dengan satu runtutan yang telalu penuh dengan romansa. Biru karya Afe W adalah sebuah afirmasi bahwa sejarah dengan jalinanan yang terpilin adalah seumpama usaha membongkar pemikiran atau pemahaman yang terlalu lurus. Kisah pemudi yang kemudian dituduh gila oleh orang-orang sekitar adalah kisah dimana kita mungkin pernah gagal paham dengan orang atau juga susana di sekitar kita. Pencarian pemudi yang hendak menemukan sosok mata biru adalah juga serupa sebuah pemberontakan terhadap ketimpangan-ketimpangan sosial yang hadir karena pengaruh reklame. Ya, Biru bisa saja demikian. Lebih dari semuanya biru bisa jadi simbol dari warna pengharapan yang senantiasa ditunggui sang pemudi untuk pengharapan-penghrapan hiddup selanjutnya.