Syair untuk Bangsaku
Terurai kering di atas tanah lapang
Terhampar jeritan dalam cinta tak terurai
Barisan nada-nada indah kian semarak
Dari syair-syair yang tak terungkap
Bangsaku yang lusuh
Merintih dalam dinginnya malam
Terlentang di atas daratan yang karam
Tak terurus oleh semua nada yang menyapa
Aku si penyair lusuh
Terbuang dari tanahku yang kucintai
Meratap di tengah rintihan malam
Tergeletak di atas tumpukan sampah bangsaku
Menetes rindu untuk bangsaku
Agar dia kembali dalam cinta seutuhnya
Penfui, 20 September 2017
Sang Diktator
Sang diktator kembali menabur
Bencana pada rakyat negeri ditabur
Segerombolan derita dituai
Dari kerja sang penakluk abu
Kemelaratan adalah santapan
Kemiskinan adalah tuaian
Kebodohan adalah investasi
Dari kepiawaian sang diktator
Bencana seakan akrab menyapa
Banjir bandang seolah minuman jiwa
Gempa bumi ditaburi abu vulkanik adalah santapan
Dari kebaikan sang diktator
Jeritan kaum pinggiran
Adalah syair untuk memperkaya diri
Koyakan longsor hati pembantu rumah tangga
Adalah kecongkakan pemilik harta
Sang diktator kembali menabu
Genderang kekuasaan kembali melaju
Syair kesengsaraan kembali didengungkan
Hamparan kematian kembali derai
Malang negeriku
Derita tanahku
Keindahanmu adalah lukisan wajah derita
Keelokanmu adalah tetesan air mata darah
Sang diktator kembali
Melakonkan drama untuk anak negeri
Mencari sasar pada “tiang” yang tak mampu berujar
Selain bisu meyaksikan aksi sang “pelaku” menamparnya dalam hening
Semua terhanyut dalam tanya
Mengapa derita negeriku terus disobek dan dicabik dalam kekejaman sang diktator?
Oebufu, 17 November 2017
Pejamkan mata!
Janganlah berkedip!
Tenangkan dirimu
Pasrahkan seluruh nyawamu
Pada getaran kuasa yang kumiliki
Kau harus diam!
Tanpa suara adalah milikmu
Aku penguasa atas hidup
Nafasmu ada dalam genggamanku
Perih dan pedih adalah rintihanmu
Senyum dan tawamu milikku
Kau berduka aku bersuka
Darahmu mengalir dalam gempalan tanganku
Tak bersuara! Diam!
Adalah seonnggok keselamatan bagi hidupmu
Senyum dan tawa adalah kematian atas hidupmu
Maka,
Pejamkanlah matamu!
Untuk semua kebusukan yang menimpamu
Tataplah dalam batinmu!
Hidupmu hanya ada pada sekeping logam berharga
Yang mesti kau taburkan untuk inginku
Merdeka, 05 Oktober 2017
Catatan Redaksi
Oleh:Hengky Ola Sura
Redaksi Seni Budaya Voxntt.com
Tiga puisi dari Riady Jeharum edisi pekan ini adalah puisi yang hadir dengan nada sesal, geram sekaligus harap. Dari puisi Syair untuk Bangsaku tampak eksplorasi kedalamannya memang belum tampak memenuhi kriteria sebuah puisi yang hadir dengan suasana tergeletak lusuh seperti yang dibahasakan oleh Riady.
Toh puisi ini hadir dengan satu intensi yang mengajak semuanya untuk berada pada suasana persatuan. Diksi cinta yang seutuhnya dari baris terakhir puisi Syair untuk Bangsaku bisa jadi gambaran kerinduan akan hidup kebhinekaan yang cinta damai.
Pada puisi Sang Diktator, Riady hadir dengan bahasan suasana seputar kenyataan terhadap tokoh tertentu yang dimiliki bangsa dan negara ini. Tokoh yang seharusnya jadi pejuang untuk segala jerit rakyat malah terjerat dalam praktik yang tak menunjukan jati diri sebagai seorang pejuang suara rakyat.
Puisi ini seharusnya jadi puisi yang menarik juga mendalam makna tersurat dan tersiratnya, sayangnya hadir dengan perbandingan yang kurang padu. Dengan tambahan semisal bencana gempa, banjir bandang muntahan abu vulkanik saya kira kurang padu dilekatkan pada puisi dengan judul Sang Diktator.
Selanjutnya pada puisi Pejamkan Mata, Riadi seolah menakik harap pada laku Sang Diktator untuk bertobat. Mata batin harus jadi juga serupa suluh untuk sadar bahwa segala laku yang dipraktikan dengan tidak beradab harus senantiasa pulang pada kesadaran untuk berubah. Untuk berbenah.
Puisi ini jika intensinya memang untuk sebuah jalan pertobatan atau pembaharuan maka baris terakhir dengan deret kata yang mesti kau taurkan untuk inginku, kata inginku saya kira bisa diganti dengan kebutuhanku. Hal ini merujuk pada soal apa yang dikehendaki rakyat adalah soal-soal mendasar yang berkenaan dengan kebutuhan rakyat.
Terlepas dari semuanya puisi-puisi Riady kali ini adalah suara tentang situasi kegalauan dari praktik hidup para tokoh bangsa dan negara ini. Suara-suara dalam puisinya Riady saya kira adalah suara harapan yang mendambakan sosok negarawan yang pejuang dan bukannya politisi yang bertindak sewenang-wenang.