Oleh: Boni Jehadin
Redaktur VoxNtt.com
Adakah yang masih belum mengenal Kabupaten Manggarai Barat (Mabar)? Saya percaya semua orang mengenalnya, saya percaya juga, jika publik menduga Mabar adalah salah satu Kabupaten terkaya di Indonesia terutama di NTT.
Mengapa demikian? Mabar adalah salah satu Kabupaten yang mempunyai sejuta potensi terutama sektor Pariwisata yang telah go internasional.
Tentu bukan sesuatu yang mengagetkan Anda jika berkunjung ke Labuan Bajo selalu berpapasan dengan bule setiap saat.
Kedatangan turis dalam persepektif ekonomi pariwisata tentu menambah income ke kas daerah atau APBD. Dapat dikatakan, bule datang dan membawa uang untuk Kabupaten Mabar.
Selain bule, bisnis pariwisata di Mabar juga bergeliat maju seperti perhotelan, restoran, hiburan, dan traveling yang kini berkembang biak di sana.
Tak salah jika menempatkan Labuan Bajo sebagai kota Pariwisata. Pariwisata sebagai leading sector di bumi varanus komodo itu. Saya kira, sebentar lagi dia akan meneyerupai Bali. Sebab, kita memang selalu berjalan ke depan.
Mencermati perkembangan tersebut, tentu Anda akan berkesimpulan, rakyat Mabar telah mendapat taraf hidup layak dan sejahtera. Tidak ada persoalan ekonomi dan masalah kesejahteraan di sana, apalagi kalau sampai pada memposisikan Mabar sebagai kabupaten termiskin dari sejumlah kabupaten di Indonesia atau di NTT.
Mengapa? Pariwisata sebagai leading sector pasti menjadi multiple effect, dia akan memberi dampak terhadap sector lainnya di Mabar.
Karena itu, petani sayur pasti hidup, petani sawah, kebun buah pasti hidup, petani ternak juga sama. Sebab, perhotelan, restoran dan bisnis kuliner lainnya membutuhkan barang-barang yang dihasilkan oleh petani-petani tersebut.
Asumsinya, pariwisata akan menyebabkan pendidikan baik, kesehatan baik dan infrastruktur yang baik.
Namun fakta di Mabar berkata lain, di balik punggung bule dan wajah para pejabat yang anggun, di sana berjejer sederet persoalan seperti kualitas pendidikan, kesehatan yang memprihatinkan dan kemiskinan. Kejadian di SDN Nanga Boleng adalah salah satu petunjuk yang dapat menarasikan persoalan di Kabupaten ini.
Boleng Tanpa Negara
Pembaca yang budiman, saya ingin mengajak kita untuk secara seksama meninggalkan dulu topik pariwisata dan fokus pada diskursus tentang realitas Pendidikan di Mabar. Pendidikan ini tentu skopnya sangat lebar dan berpotensi membias.
Karena itu, saya ingin mengajak kita untuk fokuskan perhatian ke SDN Nanga Boleng, Desa Tanjung Boleng, Kecamatan Boleng.
Dengan melihat SDN Nanga Boleng Anda akan menemukan segerombolan peristiwa seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan ketertinggalan.
Selain itu, di sana Anda akan temukan sebuah gambar yang terpampang tentang persoalan besar, yakni matinya nurani dari pada pemerintah, terutama pemerintah Kabupaten Mabar.
Tanggal 6 November 2017 yang lalu atau kira-kira 3 (tiga) minggu yang lalu terjadi sebuah peristiwa naas di Boleng. Hujan lebat berserta angin menghantam bangunan Sekolah Dasar Negeri (SDN) Nanga Boleng.
Akibatnya, bangunan yang bersumber dari mayoritas bahannya bambu dan lantai beralaskan tanah itu ambruk. Sejumlah fasilitas seperti meja, papan tulis, dan kursi pun patah tak berbentuk.
Pilu. Itulah suasana hati seluruh civitas SDN Nanga Boleng dan masyarakat di desa itu ketika memandang bangunan sekolah yang dibangun seadanya di tahun 2011 tersbut rubuh. Tidak main-main, bangunan itu rata dengan tanah.
Para guru, siswa/i kebingungan bagaiamana melanjutkan perjuangan mereka, perjuangan memanusiakan manusia, perjuangan mencerdaskan bangsa guna mencapai negara yang berkesejahteraan umum sebagaimana tujuan negara ini hadir.
Dalam kondisi demikian, mereka membutuhkan kehadiran negara. Negara yang diwakilkan oleh pemerintah kabupaten Mabar. Namun naas, harapan mereka tak kunjung tercapai hingga hari ini. Pemkab Mabar tak juga datang ke sana.
Mereka tak merasakan kehadiran negara di tengah-tengah mereka. Boleng bak masyarakat tanpa negara. Hal ini terkonfirmasi lewat Pak Hasan, seorang guru di SDN itu.
Saya membayangkan senyum sumringah setiap pagi, semangat menggelora menggemakan lagu Indonesia Raya dan pelafalan teks Proklamasi serta dentuman pekikan Pancasila setiap apel di hari Senin sebelum tanggal 6 November kemarin, kini tak terdengar lagi.
Boleng, Lukisan Rupa Sang Pemimpin
Sebagian besar Pembaca mungkin tak pernah ke Boleng, Boleng adalah salah satu kecamatan yang kaya potensi terutama di sektor pertanian. Boleng mempunyai area persawahan terbesar kedua di Mabar setelah Lembor.
Meski letaknya tak jauh dari pusat Ibu kota Kabupaten Mabar, namun waktu tempuh menjadi sangat jauh karena akses yang serba ribet. Jalannya sejak dulu dalam keadaan rusak parah baik yang menuju ke Labuan Bajo maupun yang menuju ke Kabupaten Manggarai, termasuk jalan Lando Noa yang sekarang jadi terkenal karena kasus korupsi berjemaah itu.
Tak hanya jalan, di sana juga kekurangan air bersih, termasuk irigasi. Soal irigasi, ini menjadi penyebab jumlah panen sawah di Terang/Boleng terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Listrik pun belum masuk, signal HP dan Internet juga kadang-kadang melarikan diri dari sana. Padahal sesungguhnya kalau melihat potensi yang ada di Boleng, maka sudah pasti Boleng harus menjadi satu perioritas pembangunan di Mabar.
Pertanyaannya, mengapa Boleng yang hebat potensi, tak jauh dari pusaran kota itu menjadi begitu ribet?
Menurut saya, jawabannya karena pemimpinnya miskin gagasan dan miskin nurani untuk melihat penderitaan rakyat Boleng. Boleng adalah wajah Indonesia di zaman penjajahan.
Dia sesungguhnya kaya, tetapi karena dia berada di bawah sistem kekuasaan yang tuna-nurani, kekuasaan dalam konteks otonomi daerah tidak mampu mengeluarkan daerah itu dari jeratan kemiskinan.
Pemimpin yang sedang berkuasa saatnya menunjukan kepedulian itu. Jangan sampai di balik kuasa sang Penguasa justru melahirkan aneka persolan yang menindas rakyat Boleng.
Akhirnya Aristoles pernah menitipkan pesan bahwa semua manusia itu dilahirkan sebagai political animal, manusia sebagai binatang yang berpolitik. Setiap saat dia harus berasosiasi, berinteraksi dan bergantung dengan manusia lain. Tetapi apabila kita tidak peduli dengan sesama, maka kita lebih jahat dari binatang yang sesungghnya.
Terima kasih kepada Lintas Komunitas Kupang, Mahasiswa Solidaritas Peduli Boleng, Yogyakarta dan Pemuda Labuan Bajo yang telah menunjukan kepedulian terhadap realitas di Boleng. Sesungguhnya kepedulian anda adalah sikap negara semestinya.