Oleh : Edi Hardum
Wartawan dan advokat, tinggal di Jakarta
Sudah lama masyarakat Indonesia mencium bau tidak sedap atas peradilan Indonesia. Ibarat bau kentut, baunya tercium namun tidak tahu pasti siapa yang mengeluarkan angin busuk itu.
Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan (OTT) hakim dan panitera pengganti Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Wahyu Widya Nurfitri dan Tuti Atika karena terlibat kasus dugaan suap terkait penanganan perkara perdata yang ditangani PN Tangerang, sepertinya masyarakat tidak heran. Pasalnya, bau “kentut” di PN Tangerang seperti PN lainnya di Indonesia memang ada sejak lama.
Bau tidak sedap peradilan Indonesia terkonfirmasi oleh survey Indikator tahun 2016 yang mencatat tingkat kepecayaan masyarakat terhadap peradilan hanya 57,9%.
Rendahnya kepercayaan masyarakat ini lebih disebabkan sikap dan tindakan hakim yang terlihat dalam memutus perkara, yang merusak rasa keadilan masyarakat dan kepastian hukum. Akibatnya “bau busuk” tetap menyengat dunia peradilan Indonesia, yang tentu merusak ventilasi udara Tanah Air.
Sampai tahun 2016, jumlah hakim di Indonesia 7.989 orang, dan terbukti nakal alias terjerat hukum sebanyak 0,237% (Adies Kadir 2018:3). Hakim-hakim yang termasuk dalam hakim nakal ini, sebenarnya karena sial saja, apes. Sebenarnya masih banyak oknum hakim yang nakal yang belum terjerat hukum.
Salah satu Pengadilan Negeri (PN) yang ramai menjadi topik diskusi bahkan sebagian masyarakat menyebutnya “bau busuk” adalah PN Bajawa, Nusa Tenggara Timur (NTT).
PN Bajawa ramai diperbincangkan setelah Ketua PN Bajawa, Saut Erwin Hartono A Munthe, pada 30 Januari 2018 mengeluarkan penetapan bahwa perkara sengketa lahan Gedung DPRD Nagekeo, NTT tidak bisa dieksekusi dengan alasan di atas lahan sengketa ada aset negara berupa gedung DRPD Nagekeo.
Saut dalam penetapannya, mengutip Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 50 huruf d yang berbunyi,”Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap (d) barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah”.
Jangankan orang yang mendalami ilmu hukum, orang yang tidak pernah belajar ilmu hukum saja, merasa heran dengan penetapan yang dikeluarkan Saut. Pasalnya, Gedung DPRD Nagekeo yang dikatakan Saut sebagai aset negara, belum menjadi aset negara.
Gedung tersebut dibangun belakangan setelah sengketa lahan seluas 1,5 hektare itu dimulai. Sampai saat ini gedung tersebut masih mangkrak pembangunannya dan oleh karena jelas belum diresmikan sebagai gedung DPRD Nagekeo.
Menurut Remi Konradus, pemilik lahan gedung tersebut, ia mengajukan gugatan ke PN Bajawa April 2008, karena tanahnya dikuasai tanpa hak oleh pemerintah Kabupaten Nagekeo. Selanjutnya, Pemkab Nagekeo membangun gedung itu sekitar Agustus 2008.
“Saya protes sejak awal. Kok alasannya aset negara ? Aneh !” ujar Konradus.
Tindakan Saut ini memang menimbulkan tanya besar bagi masyarakat, terutama orang belajar ilmu hukum. Adalah tidak salah kalau masyarakat menduga Saut mengeluarkan keputusan seperti itu karena ada sesuatu dari pihak yang berkepentingan.
Memang namanya dugaan belum tentu benar! Pakar ilmu hukum pidana dari Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, Petrus Bala Pattyona, menilai, penetapan Saut tersebut di atas sungguh tidak beralasan secara hukum bahkan Saut telah melakukan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan). Penetapan itu merendahkan martabat hakim dan wibawa hukum.
Karena itulah, Remi Konradus melalui kuasa hukumnya, Toding Manggasa, pada pertengahan Februari lalu, melaporkan Saut ke Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Pengawas Mahkamah Agung (MA) dan MA.
Toding berharap KY segera memeriksa Saut dan segera menyatakan ketetapannya itu salah secara hukum. Kepada Badan Pengawas MA dan MA, Toding meminta agar segera memanggil Saut Erwin Hartono A Munthe dan segera menganulir ketetapannya yang salah itu.
“Ia telah menyalahgunakan wewenangnya sebagai Ketua Pengadilan. Ketetapannya sungguh tidak memberi kepastian hukum, merusak kepastian hukum dan sungguh tidak bermanfaat secara hukum,” kata Toding.
Gedung DPRD Nagekeo dibangun di atas lahan sengketa. Penggugat adalah Remi Konradus yang bertindak atas nama pemegang hak ulayat Suku Lape, Nagekeo. Tergugat atau termohon adalah Efraim Fao sebagai tergugat I, Bupati Nagekeo, Elias Djo sebagai tergugat II, dan DPRD Nagekeo sebagai tergugat III.
Di atas lahan seluas 1,5 ha itu sudah dibangun gedung DPRD senilai Rp 10,3 miliar. Perkara sudah melewati semua jenjang pengadilan dan semua dimenangkan penggugat (Remi). Upaya hukum peninjauan kembali (PK) dari para tergugat ditolak MA.
Karena merasa tidak ada jalan lain lagi dalam jalur hukum, tergugat meminta jalan damai dengan menitipkan uang konsinyasi di PN Bajawa sebesar Rp 2,5 miliar, namun PN Bajawa menolak permohonan tergugat.
Sang pemilik lahan, Remi Konradus telah memakan biaya, tenaga dan waktu memperjuangkan hak miliknya, tanah seluas 1,5 ha. Namun, dengan mudahnya Ketua PN Bajawa mengatakan, perkara itu tidak bisa dieksekusi. Tidakkah ini menyakitkan masyarakat, terutama Remi Konradus ?
Penetapan Ketua Bajawa tersebut, sungguh menambah rasa sakit hati masyarakat Indonesia umum akan tindakan hakim-hakim Indonesia. “Bau busuk” dunia peradilan tetap merebak.
Banyak oknum hakim bermain perkara jelas bertentangan dengan enam prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia (Jimly Asshiddiqie 2012: 316). Enam prinsip itu adalah, pertama, independensi. Independensi hakim merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum.
Kedua, ketidakberpihakan, yang merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Ketiga, integritas hakim, yang merupakan sikap batin hakim yang mencerminkan kebutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya.
Keempat, kepantasan dan kesopanan. Kepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan kesusilaan antarpribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya.
Kelima, kesetaraan, yang merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain atas perbedaan agama, suku, rasa, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan, kondisi fisik, status sosial ekonomi, umur, pandangan politik ataupun alasan-alasan lain yang serupa.
Keenam, kecakapan dan kesaksamaan, merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya. Kecapakan tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas.***