Oleh: Andre Jasmin
Dalam dunia pendidikan tercatat tiga komponen penting yang sangat berpengaruh yakni orang tua sebagai lembaga keluarga, masyarakat mewakili lingkungan dan sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Idealnya, proses pendidikan akan berjalan secara integral jika ada kerja sama antara keluarga, masyarakat dan sekolah sebagai media transfer of knowledge and valuebagi siswa.
Disfungsi peran antara ketiga lembaga ini adalah salah satu alasan mengapa menteri pendidikan dan kebudayaan Muhadjir Effendy menggelontorkan ide full day school yang akhir-akhir ini menuai kontroversi. Salah satu alasan menurut Pak menteri adalah agar anak tidak sendiri ketika orang tua masih bekerja. Namun sayangnya, kebijakan ini tidak dikaji secara dalam. Bapak menteri rupanya terlalu ceroboh mencanangkan ide ini tanpa melihat diferensiasi pendidikan di Indonesia. Walaupun sebatas wacana, kebijakan ini dinilai sangat ‘mengeksploitasi’ energi guru dan siswa dalam proses pendidikan.
Bayangkan saja jika setiap hari seorang guru dan siswa harus beraktivitas (otak dan fisik) selama kurang lebih 11 jam di sekolah. Semestinya kebijakan ini tidak harus dengan mekanisme full day school. Spirit pendidikan berbasis gotong royong antara sekolah, orang tua dan lingkungan dapat dicanangkan program khusus yang saya namai “Hari Gotong Rotong Pendidikan”.
Kegiatan ini dapat dilaksanakan sekali dalam sebulan dimana sekolah, keluarga dan masyarakat berkerja sama membentuk karakter anak. Selain membantu memudahkan internalisasi nilai dan pengetahuan, hari gotong royong pendidikan juga menegaskan karakter utama pendidikan Indonesia yang berbasis gotong royong. Spirit gotong royong adalah kebalikan dari sistem pendidikan yang selama ini cenderung individualistik dengan persaingan yang tidak fair. Siswa dipaksa untuk bersaing di tengah keberagaman kondisi ekonomi, gizi, aksesibilitas, infrastruktur dan sarana pendidikan.
Sadar atau tidak, tanggungjawab pendidikan juga masih menjadi tanggungjawab utama keluarga. Hal ini sangat terlihat dalam persaingan menyekolahkan anak dimana porsi tanggungjawab lebih membebankan keluarga mulai dari aspek pembiayaan, pendidikan informal maupun pembentukan integritas siswa (intelektual, emosional dan spiritual) ketimbang spirit kolektivitas dalam mendidik anak.
Demikianpun dengan berbagai kepincangan anak seperti dalam kasus kenakalan remaja, orang tua lebih banyak mendapat sorotan ketimbang lingkungan dan sekolah. Pada titik ini, sesungguhnya roh pendidikan kita semakin melenceng dari spirit gotong royong. Padahal, tanggungjawab mendidik anak juga menjadi perhatian lingkungan (masyarakat) dan sekolah.
Gotong Royong Pendidikan
Kembali ke hari pendidikan gotong royong, sekolah, keluarga dan masyarakat selama hari itu akan terlibat aktif dalam berbagai kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah. Di sekolah, kegiatan belajar mengajar (KBM) hanya berlangsung dari pukul 07.00-12.00. Proses (KBM) berlangsung seperti biasa. Bedanya, pada hari ini, waktu KBM hanya sampai pukul 12.00 atau selama 5 jam. Setelah jam sekolah usai, siswa kemudian kembali ke tengah keluarga untuk makan siang bersama sampai dengan pukul 14.00. Setelah itu, orang tua bersama anak, menuju kegiatan selanjutnya yang diberi nama sekolah kemasyarakatan. Kegiatan ini dimulai pukul 14.30-17.30.
Semua keluarga bisa mengikuti berbagai kegiatan sosial yang tentunya sudah dirancang bersama dalam sidang komite bulanan. Tentunya bisa dirancang dalam berbagai bentuk sesuai kebutuhan dan kesepakatan bersama. Kegiatan bersama dalam lingkungan ini bisa dilakukan dalam bentuk bakti sosial seperti membersihkan sekolah secara bersama-sama, membersihkan kantor desa/lurah, mengunjungi panti asuhan, dan aneka kegiatan lain yang melibatkan pihak sekolah, siswa, orang tua dan masyarakat.
Selain bakti sosial, sekolah kemasyarakatan ini juga bisa dalam bentuk upgrade pengetahuan dalam bentuk seminar, work shop ataupun training seputar pendidikan keluarga dan peran masyarakat dalam proses pendidikan. Bisa juga dikemas dalam bentuk pentas seni dan kemampuan siswa yang ditonton langsung oleh orang tua dan masyarakat di lingkungan sekolahnya.
Prinsipnya, berbagai kegiatan bersama ini tidak boleh monoton tetapi dikemas dalam berbagai bentuk pada setiap hari gotong royong pendidikan. Penghargaan Dalam kegiatan ini, Kementriaan Pendidikan dan Kebudayaan bisa menjalin kerja sama dengan pemerintah kabupaten melalui dinas pendidikan dan kebudayaan setempat serta bekerja sama dengan pemerintah desa. Di sini keterlibatan pemerintah tidak hanya mendukung dari segi pembiayaan, tetapi juga memberikan penghargaan dalam berbagai kategori kepada sekolah, orang tua, siswa dan kelompok masyarakat dalam lingkungan sekolah bersangkutan.
Penghargaan ini dilakukan dalam rangka mendorong partisipasi ketiga komponen ini sebagai unsur yang paling berperan dalam pendidikan berbasis gotong royong. Selain itu kemitraan tri sentra pendidikan dapat diperkuat dengan azas gotong royong, kesamaan kedudukan, saling percaya, saling menghormati dan rela berkorban.
Saya optimis, jika hari pendidikan gotong royong dapat dilakukan setiap bulan dari Kementriaan Pendidikan dan Kebudayaan, niscaya ekosistem pendidikan di Indonesia akan menumbuhkan karakter dan budaya prestasi peserta didik. Melalui kegiatan ini beban dan tanggungjawab pendidikan tidak hanya menjadi beban sekolah dan keluarga, tetapi juga tanggungjawab sosial lingkungan dimana sekolah itu berada. Keberhasilan program ini juga harus dapat terukur dan dirasakan manfaatnya oleh siswa, guru, orang tua dan masyarakat melalui beberapa indikator pencapaian. Dengan hari gotong royong pendidikan, kemitraan antara satuan pendidikan dengan keluarga dan masyarakat dapat diperkuat dalam merespons maraknya aksi kekerasan dan perilaku menyimpang lainnya.