Oleh: Yohanes Mau
Warga Belu Utara, Pemerhati Masalah Sosial, Tinggal di Biara St. Konradus Ende
Masalah yang paling hangat dan gencar terjadi di provinsi NTT saat ini adalah perdagangan manusia. Dalam media-media cetak dan elektronik selalu saja mengisahkan tentang kejahatan human trafficking. Manusia diperjualbelihkan seperti barang dagangan. Inilah masalah klasik yang melanda provinsi NTT tecinta ini. NTT darurat perdagangan manusia. Dalam media cetak dan online beberapa waktu terakhir ini, Polda NTT berhasil meringkus 13 pelaku perdagangan orang yang beroperasi di desa-desa di NTT (FP, 2/09/2016).
Kejahatan tentang perdagangan manusia ini dalam UU No. 21 Tahun 2007 secara jelas menyatakan bahwa perdagangan manusia bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, serta melanggar hak dasar yaitu hak hidup yang layak atau Hak Asasi manusia (HAM) dan menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara. Di samping itu, human trafficking juga melanggar norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Dari UU No.21 ini jelas, bahwa maraknya kasus human trafficking di Indonesia menunjukkan adanya bahaya kemanusiaan yang serius. Nilai-nilai kemanusiaan para pekerja direndahkan oleh nafsu uang. Sejak perekrutan para tenaga kerja bukan lagi sebagai pribadi. Dalam kasus TKI ilegal pribadi para pekerja seolah-olah dibendakan, mereka direkrut, diangkut, ditabung, dikirim, dipindahkan, dijual, dan seterusnya. Manusia diperlakukan sebagai komoditas perdagangan lintas pulau, negara, bahkan benua. (Bdk, Kopong, Membumikan Pancasila, 2015, 113). Sungguh tragis dan menyedihkan.
Lantas muncul pertanyaan; Mengapa sampai terjadi perdagangan manusia? Perdagangan manusia dikarenakan oleh beberapa faktor berikut.
Pertama, pemerintah Indonesia khususnya pemerintah NTT tidak mampu menciptakan lapangan kerja bagi warganya sendiri. Dari tahun ke tahun angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk makin meningkat sedangkan lapangan kerja terbatas. Ini sebagai faktor penyebab banyaknya anak bangsa menjadi penganggur. Upaya dari pemerintah tidak ada untuk mengatasi persoalan ini maka jalan terakhir yang dipilih oleh rakyat kecil adalah menjadi pekerja di negara lain. Pekerja di negara lain untuk mencari susu dan madu (mengais rejeki).
Namun harapan ini tak tercapai. Yang ada hanyalah penyiksaan, dan penindasan, pemerkosaan, serta menjadikan mereka sebagai pelaku seks komersial (PSK) alias pelayan para lelaki hidung belang.
Kedua, Pemerintah Indonesia tidak memiliki profesionalisme dalam memanage sumber daya manusia dan sumber daya alam kaya- raya yang membentang dari wilayah Sabang sampai Merauke secara optimal.
Jadi perdagangan manusia terjadi akibat kedua masalah klasik ini. Ketakberdayaan pemerintah ini yang patut disesalkan karena sudah mengalami kepincangan dalam kepribadian untuk membangun daerah dan negara tapi masih saja punya optimis untuk tampil sebagai pemimpin daerah dalam negeri. Ini adalah bentuk sandiwara yang tak perlu terjadi.
Ketika saya merenung-renung nasib tentang para TKI yang menjadi korban kejahatan perdagangan ini malam tidur pun tidak nyenyak. Pikiran ini selalu saja menerawang jauh melampauhi batas kerlap-kerlip cahaya bintang malam. Namun mau bilang apa lagi nasib anak-anak bangsa dan provinsi sudah demikian. Yang ada hanyalah penyesalan karena nasib telah jadi bubur akibat korban perdagangan manusia. Mereka telah mengalami dunia hitam. Menjadi tumbal dari ketakberdayaan pemerintahnya sendiri.
Menghadapi persoalan klasik ini, berikut beberapa tawaran solusinya:
Pertama, Bagi warga masyarakat Indonesia, khususnya warga NTT hendaknya kita kembali ke kampung. Menjadikan kampung sebagai lumbung susu dan madu atau tempat mengais rejeki sehari-hari sehingga tidak perlu merantau ke tanah orang dan pada akhirnya menjadi korban dari perdagangan manusia. Saatnya kita mengubah lahan-lahan kritis dan tidak produktip menjadi penyedia bahan pangan produktip bagi masyarakat.
Kedua, Pemerintah harus memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia secara efektif dan efisien melalui latihan-latihan ketrampilan yang berdaya guna agar warga kita tidak perlu merantau ke luar negeri.
Sebenarnya hidup kita ini tidaklah terlalu sulit untuk dihidupi. Hanya butuh bagaimana kekereativan kita untuk menciptakan lapangan kerja di kampung halaman sendiri. Kita punya lahan dan tanaman yang produktip namun yang dibutuhkan adalah cara yang profesional dari kita untuk mengolah dan merawatnya menjadi lahan produktip.
Manusia mempunyai martabat luhur dan mulia melampauhi ciptaan lainnya. Kalau sadar akan keistimewaan potensi yang Tuhan berikan ini tidak perlu terlalu cepat dipengaruhi oleh situasi apa pun yang menghipnotis dan menggiurkan. Kita tahu bahwa martabat manusia tidak bisa diukur dengan sejumlah rupiah yang sedang momok dalam dunia post modernisasi Indonesia saat ini.
Masyarakat NTT dan Indonesia, mari kita perangi bersama kejahatan perdagangan manusia berawal dari diri sendiri, lingkungan sekitar, kampung halaman tempat kita berpijak. Lebih baik kita mengalami hujan emas di negeri sendiri daripada mengalami hujan batu di negeri orang. Sang bijak berujar, “Di mana ada kemauan di situ pasti ada jalan”.