Oleh: Bonefasius Jehadin*
Beberapa waktu lalu, masyarakat NTT khususnya publik Manggarai dihebohkan oleh postingan foto di media sosial yang kemudian menjadi viral setelah difollow-up lewat berbagai pemberitaan media lokal di NTT.
Adalah Muhamad Jahidin, pria asal Golo Mori, Kabupaten Manggarai Barat terekam kamera memakai topi songke saat mengikuti aksi protes dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI non-aktif, Basuki Tjahaja Purnama pada 14 Oktober 2016 lalu di Jakarta.
Topi yang konon biasa dikenakan orang Manggarai hanya dalam upacara adat, atau urusan tertentu yang dianggap bermartabat ini, kemudian ramai diperbincangkan netizen bahkan tak ayal atas aksinya tersebut Jahidin mendapat hinaan, makian bahkan ancaman.
Entah mengapa, reaksi netizen tersebut sepertinya berlebihan dan terkesan irrasional atas pemakaian topi yang kini mulai dipakai semua orang Manggarai maupun luar Manggarai dalam berbagai urusan tanpa kenal usia, derajat atau kelas sosial.
Saat ini, topi bermotif songke tersebut juga dapat dipakai kemana saja, kapan saja, tanpa melihat konteks maupun acara tertentu.
Tak ada cacian, makian atau ancaman atas pemakaian topi songke yang kini populer setelah dipromosikan secara terus menerus seiring semangat pariwisata di NTT.
Karena makin poluler, lelaki Manggarai dewasa ini sepertinya memiliki kebanggaan tersendiri ketika berdiri di depan umum sambil mengenakan topi tersebut, apa lagi jika momentum itu terjadi di luar Manggarai. Bukan main bangganya.
Saya pun sebagai orang Manggarai biasa menggunakan topi tersebut saat acara mahasiswa Manggarai di Kupang, saat santai di rumah, saat jalan-jalan ke mall, bahkan beberapa teman saya biasa menggunakan topi ini pada setiap kali aksi demonstrasi semisal aksi mahasiswa Manggarai menolak Privatisasi Pantai Pede di Labuan Bajo, aksi tolak tambang, dan berbagai aksi mahasiswa lainnya.
Kembali ke topi Jahidin, dugaan penistaan terhadap agama kaum muslim ini memang kemudian memantik demonstrasi secara besar – besaran. Sebagai umat muslim yang ‘merasa’ kitab sucinya dihina, Jahidin pun ikut bersolider.
Ia bergabung dalam aksi demonstrasi bersama FPI dan perkumpulan umat muslim lainnya pada tanggal 14 oktober lalu di Jakarta.
Foto Jahidin bergabung dalam aksi dengan topi songke di kepalanya pun jadi berita yang menyita publik di NTT khususnya Manggarai.
Sontak reaksi netizen menganggap Jahidin melecehkan adat dan budaya orang Manggarai walaupun dia sendiri adalah orang Manggarai dan merasa berhak menggunakan symbol ke-Manggaraian-nya.
Tak sedikit pula orang Manggarai yang menuding Jahidin sebagai antek FPI yang siap mengibarkan bendera organisasi Islam yang radikal itu di bumi Nuca Lale (sebutan untuk manggarai) walaupun ia berkali-kali mengelak disebut FPI. Sungguh malang nasib Jahidin.
Semakin heboh lagi, tatkala seorang camat Komodo, Abdullah Nur melontarkan pernyataan yang berisi kecaman terhadap Jahidin atas ulahnya mengenakan topi itu.
Selain Abdullah, tokoh lain yang melontarkan kecaman terhadapnya adalah Hans Rumat, seorang anggota DPRD NTT dari dapil Manggarai.
Atas reaksi tersebut, terselip pertanyaan dalam benak saya, sebegitu sadisnya kah aksi Jahidin memakai topi songke itu? Atau mungkin reaksi yang luar biasa itu dipacu oleh faktor lain? Sebelum pertanyaan ini terjawab ada beberapa persitiwa lain yang bagi saya cukup menarik disimak paska aksi Jahidin.
Bentuk Diskriminasi?
Selang beberapa waktu setelah kasus “Topi Jahidin”, muncul tokoh lain mengenakan topi songke seperti Ruhut Sitompul dalam acara live Indonesia Lawyers Club@tv one yang tampil sebagai juru bicara (jubir) team pemenangan Ahok-Djarot dalam Pemilukada DKI Jakarta pada Februari 2017 mendatang.
Sama seperti Ruhut, sabtu 26/11/2016 Ahok dan Djarot sendiri juga dikenakan topi songke oleh orang Manggarai saat deklarasi dukungan rakyat NTT di Jakarta.
Tak cuma dikenakan topi songke, Ahok pun disambut tarian caci yang juga adalah tarian kebesaran orang Manggarai yang konon biasa digelar saat acara penti atau musim panen tiba.
Namun anehnya, seperti yang saya pantau di media sosial, Ruhut dan Ahok malah disanjung-sanjung bahkan dielu-elukan orang Manggarai layaknya raja.
Ironi lain terjadi pada waktu parade kebhinekaan di Jakarta beberapa waktu lalu. Pada aksi itu saya temukan ada orang Manggarai yang juga memakai topi songke namun tak ada protes apalagi makian dari netizen.
Lalu apa bedanya Si Jahidin Putra asli Manggarai Barat saat mengenakan simbol kebesarannya dengan si Ruhut putra asli Sumatra dan si Ahok putra asli Bangka Belitung itu?
Hemat saya jika pertanyaannya siapa yang lebih layak? Tak dapat dipungkiri bahwa Jahidin-lah yang lebih pantas memakai topi tersebut karena dia orang asli Manggarai dibandingkan Si Ruhut dan Ahok yang notabene bukan orang Manggarai.
Saya tidak sedang membela Jahidin, namun rasa kemanusiaan saya sedikit tersabik atas reaksi netizen yang terkesan sangat diskriminatif dan tak adil terhadap seorang Jahidin.
Saya akhirnya bersepekulasi, jangan-jangan orang Manggarai memarahi Jahidin hanya karena ia berada dalam barisan aksi, menuntut agar Ahok diadili, di tengah rakyat Manggarai lagi ‘jatuh cinta’ pada Ahok.
Saya menduga bahwa kewarasan kita untuk melihat kasus ini secara jernih sebenarnya sudah tercoreng oleh ‘ilusi perseptual’ dimana effek Ahok telah begitu kuat mempengaruhi mindset netizen NTT khususnya dari Manggarai.
Saking kuatnya pengaruh itu, membuat mereka menjadi irrasional dan bekomentar tanpa berpikir panjang.
Sedih rasanya ketika putra asal Manggarai Barat ini bahkan diancam jangan pulang ke Manggarai gara-gara memakai topi songke saat demo.
Kalau masalahnya seperti itu maka sesungguhnya reaksi netizen yang begitu meluap-luap, sesungguhnya bukan karena Jahidin memakai topi songke tetapi karena ia memakai topi tersebut saat melakukan aksi protes terhadap Ahok yang terlanjur dicintai netizen NTT dan Manggarai khususnya.
Jika karena perbedaan pilihan, kita mencabut identitas Jahidin dari ke-Manggaraian-nya, sungguh tragisnya kita orang Manggarai.
Bukankah perbedaan pilihan adalah lumrah di alam demokrasi? Bukankah menyampaikan pendapat dalam bentuk demonstrasi direstui konstitusi kita?
Jika alasannya seperti itu maka dapat ditarik kesimpulan bahwa reaksi tersebut adalah reaksi politis ketimbang menggugat penyalahgunaan pemakaian topi Jahidin.
Maka layak disimpulkan pula bahwa reaksi netizen NTT khususnya Manggarai atas polemik “Topi Jahidin” sesungguhnya konyol dan irrasional.
Untuk “kita” jangan memaknai kebhinekaan yang sempit. Sebaliknya mari kita memaknai kebhinekaan yang hidup dalam tindakan dan tutur kata kita.***
Foto Feature: Facebook
Penulis adalah pemuda Manggarai asal Ndoso, Manggarai Barat, saat ini berdomisili di Kota Kupang, ibu kota Provinsi NTT.