Maumere, Vox NTT– Bila mendengar kata Hepang, orang-orang di Maumere akan teringat dengan kampung yang terletak di pintu masuk Kecamatan Lela. Daerah ini juga sering diingat karena dilalui jalan lintas Maumere-Ende.
Namun ternyata ada kampung lain juga bernama Hepang di pesisir selatan Sikka yakni di Desa Nen Bura, Kecamatan Doreng.
Saat ini, Hepang di Desa Nen Bura telah menjelma menjadi sebuah dusun yang didiami hampir 200 kepala keluarga. Mayoritas masyarakat bermata pencaharian sebagai petani. Beberapa diantara mereka adalah guru, ASN dan perangkat desa.
Sejak dua bulan belakangan, masyarakat di sana bergotong-royong membangun sebuah gua. Gua yang terletak di ujung kampung tersebut direncanakan akan menjadi tempat pentahtaan Patung Bunda Maria.
Semuanya dilakukan dengan swadaya dan menjadi momentum untuk menyatukan warga setempat. Di balik perubahan itu ada kisah ‘Nahar Bekor‘ yang menginspirasi orang-orang kecil di tempat itu.
Nahar Bekor
‘Nahar Bekor’ adalah nama sebuah tempat di Hepang yang diyakini sebagai tempat ditemukannya sebuah patung perempuan seukuran 20 cm berbahan perak.
‘Nahar’ secara etimologis berarti tiang kayu tempat diletakkan sesajian dalam ritual adat di kebun. ‘Bekor’ berarti muncul atau terbit.
Tana Pu’an (tuan tanah) setempat, Robertus Mitan mengatakan di masa lampau, jauh sebelum kedatangan misionaris Portugis, masyarakat setempat menemukan patung perempuan yang sedang menggendong seorang bayi dengan satu tangan dan bola dunia dengan tangan yang lain.
Patung tersebut muncul sehari setelah para leluhur setempat melakukan ‘plapa pukang’. Plapa pukang biasanya dilakukan sebelum musim tanam untuk memberi makan leluhur dan alam seraya meminta berkah agar bertani dengan baik.
“Ini adalah budaya kami, kekuatan kami yang kami yakini turun-temurun sesuai dengan penuturan leluhur kami,” ujarnya beberapa waktu lalu di kediamannya di Hepang, Desa Nen Bura, Kecamatan Doreng.
Patung tersebut diyakini memiliki kekuatan yang bisa digunakan untuk kebaikan masyarakat setempat bila dibutuhkan. Salah satunya untuk meminta hujan.
“Kalau musim tanam dan tidak turun hujan leluhur kami biasanya menggunakan kelapa untuk memandikan patung tersebut dengan air kelapa di mata air. Dengan sendirinya akan segera turun hujan,” terang Robertus.
Selanjutnya patung tersebut berpindah-pindah dari tangan ke tangan mengikuti perubahan pimpinan kampung. Menurut cerita, patung tersebut sempat terbakar tiga kali. Bahkan pernah pula dirampok orang namun kembali ditemukan di tempat semula.
Pada akhirnya patung perempuan dengan kekuatan magis tersebut hilang untuk selamanya. Meski demikian masyarakat di sana meyakini patung itu sebagai ibu Maria, ibunda Yesus Kristus dalam ajaran Kristen.
Rindu Berujung Persatuan
“Kami rindu kami punya ibu dan kami telah menemukannya kembali,” ujar Robertus Mitan.
Bagai gayung bersambut, kerinduan Robertus Mitan dan para tetua lainnya tersebut berusaha diwujudkan oleh sekelompok anak muda.
Simpikaris Duna, salah satu tokoh pemuda setempat menghimpun anak-anak muda untuk mengembalikan Nahar Bekor. Caranya bukan dengan menemukan patung yang sama melainkan mencarikan penggantinya.
“Atas bantuan pihak lain dan swadaya kami akhirnya kami bisa beli patung Bunda Maria,” terang pria yang biasa disapa Simpi tersebut.
Saat ini mereka sedang membangun gua untuk dijadikan tempat pentahtaan Patung Maria. Semuanya dilakukan secara bersama-sama dengan memanfaatkan potensi yang ada di sekitar baik itu material maupun tenaga kerja.
Mewakili rekan-rekannya Simpi berharap gua tersebut nantinya menjadi tempat berkunjung dan berdo’a bagi siapa pun yang membutuhkan.
“Sejarah ini adalah kekuatan kami yang menyatukan kami,” tandas Simpi.
Pantauan dan informasi yang diperoleh VoxNtt.com dari warga lainnya terungkap ‘Nahar Bekor’ telah menyatukan kembali masyarakat setempat. Tidak hanya bekerja bersama, mereka juga berdo’a bersama setiap malam. Selesai do’a warga biasanya mendiskusikan problem dan persoalan yang ada atau dialami.
Gua tersebut sedianya akan segera selesai dikerjakan. Ada harapan gua tersebut diberkati dan dijadikan taman do’a bagi semua umat Katolik di wilayah sekitar.
Penulis: Are de Peskim
Editor: Irvan K