Editorial, Vox NTT– Aksi spontan Hanifan yang memeluk Jokowi dan Prabowo usai meraih medali emas cabang pencak silat Asian Games, Rabu (29/8/2018), berhasil meretas ketegangan antara kedua calon presiden yang sedang bertarung ini.
Rangkulan Hanifan seperti mencairkan kembali gairah kebekuan politik yang selama ini membatu dalam fragmentasi kepentingan.
Balutan Merah Putih seperti mengisyaratkan kepada dunia bahwa sekeras apapun perbedaan kepentingan itu, ‘Kami bangsa Indonesia tetap bersatu di bawah Merah Putih’.
Hanifan berhasil. Dia tidak hanya membanggakan dunia pencak silat Indonesia, tetapi juga menghantarkan pesan kematangan demokrasi Indonesia ke mata dunia bahwa dalam politik kami berkompetisi, tetapi dalam Indonesia kami bersaudara.
BACA JUGA: Jokowi-Prabowo Dalam Balutan Merah Putih
Yang lebih membanggakan sebenarnya spirit nasionalisme Hanifan yang merupakan representasi generasi muda Indonesia.
”Saya hanya ingin, melalui pencak silat, bangsa ini bersatu,” ucap Hanifan.
Generasi seumuran Hanifan (19) dikenal dengan kelekatannya dengan dunia komunikasi modern, media sosial, dan beragam teknologi digital.
Bagi mereka, dunia berada dalam gawai yang selalu mereka gunakan. Menggenggam dawai bagi generasi milenial dan generasi Z adalah menggenggam dunia.
Di sisi lain, generasi ini sering dikenal dengan stigma negatif. Mereka disebut kurang peka terhadap persoalan sosial-politik, individualis, materialistik dan lekat dengan budaya pop yang berwatak hedonis.
Vitamin Nasionalisme
Indonesia di era kebebasan demokrasi ini memang membutuhkan vitamin penguat nasionalisme.
Musuh bersama yang bernama kolonialisme itu sudah berlalu. Karena menderita dan ditindas, makanya dulu kita bersatu membangun kekuatan.
Siprit kemanusiaan adalah roh persatuan yang kemudian membangkitakan nasionalisme Indonesia.
“Nasionalismeku adalah kemanusiaan” begitulah kata Bung Karno menyederhanakan corak Nasionalisme Indonesia.
Perasaan senasib dan sepenanggungan ini kemudian menjadi vitamin perjuangan yang terus digelorakan para pejuang zaman kemerdekaan. Alhasil, dari Sabang sampai Merauke seluruh rakyat bersatu dengan slogan ‘Merdeka atau Mati’.
Atas dasar kemanusiaan yang sama, para founding fathers/mother bangsa ini menanggalkan sekat agama, suku, ras dan golongan demi terwujudnya Indonesia Merdeka.
Di era sekarang, rasanya spirit itu telah tergerus zaman. Kaum muda hanya mampu mengenang sejarah dalam ingatan, namun tidak merasakannya dalam sanubari terdalam.
Fenomena penggerusan nilai nasionalisme bertambah parah ketika para elit politik sibuk memperkaya diri dengan korupsi. Eksploitasi SARA demi mendapat kekuasaan menjadi wacana publik yang menjalar sampai ke anak-anak TK.
Gejala ini tentu tidak bisa dibiarkan. Kita butuh vitamin-vitamin Nasionalisme yang kontekstual di zaman ini.
Projek Nasionalisme harus hadir dalam bentuk kekinian. Bila perlu harus menyentuh ruang daring yang digandrungi anak muda zaman now.
Proyek itu tidak boleh sebatas narasi, tetapi harus dalam aksi nyata yang gampang dicerna. Pelukan hangat Jokowi, Hanifan dan Prabowo adalah keteledanan yang harus diikuti pendukung kedua kubu.
Olahraga pencak silat yang dimenangkan Hanifan Yudani Kusumah berhasil menjadi salah satu pembangkit spirit nasionalisme bagi anak muda zaman now.
Aksi Hanifan telah memberi efek kuat yang mempengaruhi pikiran dan perasaan anak muda. Ada aksi dan ada narasi yang diviralkan ke ruang daring.
Hanafi tidak sendiri. Di pelosok perbatasan RI-Timor Leste pada 17 Agustus 2018 lalu, aksi heroik si Joni juga menjadi vitamin pembangkit nasionalisme.
Saat tali bendera tersangkut, bocah berumur 13 tahun ini nekat memanjat tiang setinggi 9 meter, walau angin menerpanya ke kiri dan ke kanan.
Sempat terhenti di tengah tiang, namun demi Merah Putih tetap berkibar, siswa SMP Negeri Silawan, kecamatan Tasifeto Timur, kabupaten Belu, provinsi NTT ini terus nekat ke puncak.
Dia akhirnya berhasil membawa kembali tali bendera yang tersangkut itu.
Baik Hanifan maupun Joni, keduanya adalah representasi anak muda zaman now. Hanifan mewakili generasi milenial, Joni mewakili generasi Z era 2000-an. Hanifan mewakili anak Jawa, Joni mewakili daerah pelosok di pinggir batas Indonesia.
Kedua anak muda ini berhasil menyadarkan kita terutama ‘elit tua’ yang terbiasa rakus dengan kekuasaan. Elit yang sekian lama gagal memberi teladan bagi generasi bangsa. Elit yang lantang mencitrakan dirinya nasionalis namun gagap dalam tindakan.
Spirit Joni dan Hanifan perlu diviralkan terus. Mereka baru dua, namun bisa menggetarkan dunia.
Andai saja ada 10 pemuda nasionalis yang juga konsisten betindak demikian, bukankah kita mampu mengubah dunia?**
Penulis: Irvan K