Oleh: Har Yansen
Alumnus STFK LEDALERO, Tinggal di Seminari San Dominggo Hokeng
Pembangunan, dalam lintasan sejarah kehidupan manusia, selalu hadir dalam dua wajah yang berbeda. Di satu sisi ia mengantarkan manusia dalam sebuah suasana kehidupan yang maju, sejahtera, dan menyenangkan, tetapi di sisi lain ia seperti “monster” yang melibas habis siapapun yang ada di depannya tanpa mengenal ampun.
Terhadap sisi positifnya, hampir semua kita tidak berbeda pendapat bahwa pembangunan harus terus berlangsung. Namun ketika diperhadapkan pada dampak negatifnya, masyarakat mulai terpecah dalam pandangan yang saling berlawanan.
Ada pihak yang berpandangan pembangunan harus tetap dilaksanakan dengan argumentasi: pembangunan memiliki dampak ekonomi jangka panjang yang sangat menguntungkan masyarakat dan pemerintah, seperti bertambahnya pemasukan melalui pajak, terbukanya lapangan pekerjaan, dan hadirnya potensi usaha baru bagi masyarakat.
Akan tetapi muncul hipotesis lain bahwa pembangunan yang dijalankan tersebut seringkali mengabaikan nilai kemanusiaan dan ketidakpedulian terhadap martabat manusia dan kondisi lingkungan sekitar.
Kehendak baik untuk memajukan kehidupan bersama lewat aktivitas pembangunan seringkali berakhir pada dominasi, pencaplokkan sumber daya, marginalisasi, subordinasi, dan kekerasan dalam berbagai bentuk.
Dalam skala nasional ataupun lokal kita di NTT, ideologisasi pembangunan atas nama kesejahteraan acapkali mengarah pada perubahan relasi kekuasaan yang selama ini menentukan siapa yang berhak atas sumber-sumber daya, bagaimana pengelolaan dan pendistribusiannya, siapa yang menerima manfaat dari pengelolaan tersebut, bahkan juga menentukan seperti apa kesejahteraan yang ingin diwujudkan.
Pada praktiknya, penentuan terhadap hal-hal tersebut tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah daerah sebagai institusi yang secara formal memiliki kewenangan untuk mengelola urusan publik. Tetapi sebaliknya ada pertarungan kepentingan yang senantiasa berlangsung dalam arena pengelolaan pembangunan daerah.
Belakangan ini kita dihebohkan oleh penangkapan para pejabat publik aktif maupun nonaktif oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebut saja mantan Menteri Sosial Idrus Marham yang disinyalir menggelapkan uang negara dalam proyek pembangunan PLTU di Provinsi Riau.
Selain itu juga, ada penangkapan oleh KPK terhadap 41 dari 45 anggota DPRD Malang yang menerima suap dari walikota nonaktif Mohammad Anton untuk menggolkan penetapan rancangan peraturan daerah kota Malang tentang perubahan anggaran dan belanja daerah tahun anggaran 2015. Masing-masing anggota DPRD disinyalir menerima suap 12.5 juta hingga 50 juta rupiah. (Kompas.com)
Sedangkan pada tataran lokal tentu masih segar dalam ingatan kita sejumlah kasus yang mengitari kebijakan pembangunan daerah selama ini. Atas nama optimalisasi kas daerah serta peningkatan pembangunan, para kepala daerah (Gubernur, Walikota, Bupati) di NTT mempermudah izinan bagi para investor untuk berinvestasi di daerah kita.
Seperti diwartakan oleh media massa lokal selama ini misalnya, pemerintah kita berlomba-lomba membangun tugu, patung dan ornamen lainnya untuk mengenang peristiwa historis tertentu ataupun atas nama keindahan kota, atau pembangunan Waduk di Kabupaten Nagekeo yang disinyalir mengabaikan hak asasi masyarakat setempat.
Kasus terakhir yang menghebohkan publik ialah soal penolakan warga Labuan Bajo terhadap pembangunan rest area oleh dua PT dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK), tempat Kadal Raksasa Varanus Komodoensis itu tinggal dan berkembang biak.
Secara faktual realitas seperti ini paling tidak membenarkan asumsi banyak kalangan mengenai ciri ideologis pembangunan.
Watak ideologisasi pembangunan tersebut tercermin dalam model pembangunan yang tidak memanusiawikan peradaban.
Pembangunan justru hadir sebagai suatu bentuk kegiatan, dalam mana masyarakat tidak lagi mengalami kebebasan, bahkan mengancam martabat manusia dan lingkungan tempat tinggalnya.
Pertanyaannya, mengapa pembangunan yang cenderung mengabaikan aspek kemanusiaan dan lingkungan terus saja terjadi di Indonesia pada umumnya dan di NTT khususnya, padahal penolakan terhadap pola pembangunan semacam itu sudah menjadi perhatian dunia dan sudah berlangsung sejak dahulu kala?
Politik Bohirkrasi
Di Indonesia kita biasa mengenal istilah bohir yang berarti pemilik modal. Dalam bahasa aslinya Belanda “bouwheer” berarti kontraktor, berasal dari kata “bouwen” (membangun) dan heer (Tuan).
Dalam bahasa Indonesia, khususnya percakapan politik sehari-hari, istilah bohir merujuk pada pemberi modal politik. Bohir adalah rentenir politik yang memberikan dana politik yang akan berlaga dalam pemilihan kepala daerah.
Begitu vitalnya peran bohir, banyak orang yang percaya bohir adalah penentu keberhasilan seorang kandidat dalam pilkada. Orang yang tidak punya bohir maka bisa dipastikan akan kalah dan mengalami kesulitan dalam pilkada.
Jika seorang kandidat bisa menang dalam pilkada tanpa bohir, maka hal itu bisa dianggap sebagai mukjizat.
Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa praktik demokrasi yang dijalankan di Indonesia saat ini adalah bohirkrasi. Pemegang saham terbesar dalam pilkada bukanlah rakyat (demos) melainkan para bohir. Rakyat hanya dianggap sebagai pelengkap saja dalam pesta lima tahunan itu. Karena itu tidaklah berlebihan kalau kita ganti pesta rakyat itu menjadi pesta para bohir.
Dampak langsung dari praktik bohirkrasi adalah munculnya pemimpin-pemimpin yang kurang pandai bekerja atau kurang memenuhi ekspetasi publik. Alhasil banyak kebijakan pembangunan yang digelontorkan oleh pemimpin- pemimpin jebolan para bohirkrasi itu hanya untuk kepentingan mereka sendiri, dan bukan lagi untuk kemashlatan rakyatnya.
Praktik bohirkrasi, antara penguasa dan pengusaha telah membaptis dinamika politik kita menjadi medan politik do ut des, politik balas budi, yang hanya mementingkan kejahatan sistemik-korporat.
Justru pada tempat inilah konsep seputar pembangunan untuk membawa pertumbuhan dan transformasi bagi masyarakat menuai kontroversi. Sebab dalam kenyataan pembangunan tidak membawa manfaat secara merata bagi semua orang.
Pembangunan direduksi hanya sebagai medan terjadinya hegemoni kekuasaan politik dan pasar yang alih-alih mendatangkan kesejahteraan, tetapi dalam kenyataan justru menghasilkan kemiskinan sistemik, kehancuran ekologis dan kekerasan.
Pembangunan seperti itu, sambil menciptakan orang-orang kaya dan berkuasa (borjuis dalam istilah Marx), juga menciptakan kelompok marginal dan yang dimiskinkan (proletar dalam istilah Marx).
Kelompok yang terakhir ini menjadi kumpulan manusia tanpa akses pada sumber daya dan alat-alat produksi dan menjadi buruh atau pekerja pada bisnis-bisnis pariwisata, pertanian, atau tambang yang dikuasai oleh para bohir.
Etos Perlawanan
Bertolak dari realitas di atas, pertanyaan kita ialah apakah masih ada harapan untuk dapat keluar dari dominasi massal dan patologi sosial politik bohirkrasi ini? Masih.
Harapan satu-satunya adalah masyarakat sipil yang mempunyai hati dan pikiran untuk memperjuangkan hak-hak dasar warga negara. Terkait dengan hal ini, penulis mengapresiasi beberapa kelompok dan elemen masyarakat yang selama ini sangat peka dan kritis serta terlibat langsung dalam masalah hukum, sosial, dan kemanusiaan.
Sebut saja Forum Masyarakat Penyelamat dan Peduli Pariwisata (FORMAPP) di Labuan Bajo yang terus berjuang dan bergerak melawan kebijakan penguasa setempat yang dinilai sarat kolusi dan nepotisme.
Selain itu, ada juga komunitas Baku Peduli Labuan Bajo yang bergerak di bidang riset dan kebudayaan lokal, tetapi mempunyai etos dan semangat yang tinggi dalam memperjuangkan hak-hak dan aspirasi masyarakat kecil di Labuan Bajo.
Dukungan elemen-elemen kritis tersebut telah menjadi pendorong utama dalam upaya melawan praktik politik bohirkrasi di tingkat lokal.
Sesungguhnya kehadiran kelompok-kelompok dan elemen-elemen kritis seperti ini di ranah lokal akan dapat mentransformasikan kultur pembangunan berkeadilan sosial. Hanya saja seruan perlawanan itu tentu perlu diorganisir secara baik agar menjadi sebuah sistem perlawanan.
Tanpa organisasi gerakan, perlawanan cenderung musiman dan tidak bertahan lama.
Inilah esensi demokrasi yang sesungguhnya, yakni ketika kita berani bersuara dan memiliki akses atas berbagai sumber daya, serta dapat mengelola sumber-sumber daya tersebut untuk membawanya ke taraf hidup yang lebih baik, termasuk di dalamnya menikmati kue pembangunan dari pemerintah.
Demokrasi yang sehat membutuhkan ruang publik yang diisi dengan masyarakat sipil yang kuat dan aktif mengontrol penyelenggaraan kekuasaan.
Kekuasaan tanpa kontrol dari masyarakat sipil kritis akan bermuara pada kesewenang-wenangan, seperti pernah diawasi Lord Acton dalam adagiumnya “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutly”.
Masyarakat sipil yang kritis dan giat dalam deliberasi publik sulit dijinakkan dan akan dijauhkan dari segala bentuk manipulasi massa politik para bohir.