Oleh: Ben Senang Galus
Salah satu ciri bangsa maju adalah budaya membaca masyarakatnya tinggi. Mereka umumnya rajin membaca. Bagi mereka membaca merupakan bagian dari hidup dan buku sebagai kebutuhan pokok. Oleh karena itu produk buku cukup tinggi dan terus meningkat dari waktu ke waktu baik kualitas, kuantitas maupun jenis dan macamnya bacaanya.
Tingginya minat baca masyarakat di suatu negara, erat hubungannya dengan tingkat pendidikan di negara tersebut. Artinya, jika pendidikan suatu negara baik, budaya baca di negara tersebut tinggi pula, dan seterusnya bisa mengukur tingkat ketinggian “moral” dan derajat pengetahuan negara bersangkutan.
Sebagai contoh, pada tahun lima puluhan, USA terkalahkan oleh Uni Soviet dalam perlombaan menaklukkan “ruang angkasa”. Ternyata Rusia terlebih dahulu berhasil mengirimkan orangnya ke luar angkasa dari pada USA.
Dengan kekalahan tersebut, USA melalui Presiden Kennedy menyatakan USA harus bisa mendaratkan orangnya di bulan serta menancapkan benderanya sebelum tahun 1970.
Usaha yang dilakukan oleh Preiden Kennedy, pertama-tama adalah dengan kampanye membaca di setiap sekolah, serta mendukung perpustakaan sekolah dengan memberikan fasilitas belajar, buku, audio-visual, dan tentu saja dengan tenaga guru dan pustakawan yang terdidik secara profesional.
Terbukti, setahun sebelum tahun penentuan, yaitu tahun 1969 USA berhasil mendaratkan Neil Amstrong di bulan. Inilah sebuah fakta, bahwa USA mengejar ketertinggalannya dengan membaca.
Bagaimana dengan negara kita? Indonesia, tergolong negara minat baca masih sangat rendah. Isue tentang rendahnya minat baca anak-anak kita terus bergulir.
Sebagai bukti rendahnya minat baca anak-anak di negeri ini kita dapat menyimak laporan Bank Dunia dan Studi International Association for the Evaluation of Education Achicievement di Asia Timur (2017), menyebutkan bahwa tingkat membaca anak-anak yang terendah dipegang oleh negara Indonesia dengan skor 51,7.
Angka tersebut ternyata di bawah Filipina (skor 52,6), Thailand (skor 65,1), Singapura (skor 74,0), dan Hongkong (skor 75,5). Bukan itu saja, kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanya 30 persen. Demikian pula kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah hanya 30 persen.
Data dokumen UNDP dalam Human Report 2017, bahwa angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4 persen, dan negara-negara maju seperti Australia, Jepang, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat sudah mencapai 99 persen.
Membaca mempengaruhi hidup kita dalam banyak aspek, seperti: cultural, sosial, ekonomi, dan demokrasi. Dalam bidang ekonomi misalnya, keterampilan membaca memberikan suatu sumbangan pokok untuk keberhasilan ekonomis.
Perubahan-perubahan industri raksasa menanamkan modal besar dalam melatih staf untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi terutama keterampilan membaca. Teknologi baru menuntut banyak kemampuan yang terkait dengan melek huruf. Kekurangan kemampuan seperti itu merupakan hambatan yang serius terhadap kemajuan.
Demikian pula dalam bidang demokrasi. Dalam masyarakat yang demokratis, dengan suatu pertukaran bebas informasi, media cetak merupakan suatu unsur pokok di dalam kapasitas kritis seorang individu. Ia adalah medium paling efektif untuk menjamin bahwa pandangan kaum pluralis menjadi lazim di masyarakat tersebut. Demokrasi tergantung pada rakyat yang memperoleh informasi secara memadai.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kebiasaan membaca anak-anak kita selama ini belum tumbuh menjadi budaya. Apalagi dijadikan suatu kebutuhan pokok sehari-hari. Suatu hal yang masih langka dan butuh perjuangan serta kesabaran. Karena itu, munculnya sinyalemen rendahnya minat baca anak-anak, bukanlah sesuatu hal yang berlebihan, dan memang itulah kenyataannya.
Namun demikian gejala tersebut tidak bisa dipisahkan dengan jumlah terbitan atau buku. Di Indonesia ratio perbandingan dengan jumlah penduduk masih rendah, yakni baru 35 judul buku bagi satu juta penduduk. Sedangkan untuk surat kabar di Indonesia, satu surat kabar, masih dibaca oleh sekitar 15 orang. Angka yang ideal yang ditoleransikan PBB adalah 10 orang untuk satu koran.
Bila isu rendahnya minat baca anak-anak kita disebabkan faktor daya beli yang rendah, seharusnya faktor ini dapat ditutupi dengan keberadaan perpustakaan. Tetapi kenyataannya, kehadiran perpustakaan kurang memancing masyarakat untuk bergairah membaca.
Apalagi saat ini dengan munculnya media online, minat membaca tambah rendah. Hasil penelitian PBB 2017, dari 62 negara yang diteliti mengenai minat membaca, Indonesia menempati urutan ke 61. Tragis bukan!!??
Selain itu, faktor yang dapat diperkirakan sebagai penghambat minat baca anak-anak kita, adalah pertama, dalam beberapa taraf kemampuan masyarakat berbahasa Indonesia masih dipermasalahkan.
Data BPS 2017 diperoleh data dari jumlah penduduk 261 juta terdapat 25 persen buta huruf, dan 39 persen tidak memahami bahasa Indonesia. Kedua, tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah dapat mempengaruhi daya beli atau prioritas kebutuhan. Pada kelompok masyarakat ini buku belum merupakan kebutuhan pokok.
Ketiga, lingkungan keluarga, misalnya keteladanan orangtua dan pemanfaatan waktu senggang belum memberi dampak terhadap minat baca sejak masa anak-anak. Sejauh mana orangtua memberi teladan dalam hal minat baca.
Keempat, beberapa arus hiburan melalui media elektronik, dalam taraf tertentu merupakan persaingan keras terhadap rendahnya minat baca anak-anak.
Kelima, kurangnya tindakan hukum yang tegas meskipun sudah ada undang-undang hak cipta terhadap pembajakan buku yang merajalela dapat memberi akibat secara tidak langsung terhadap minat baca anak-anak.
Persoalan Membaca
Persoalan membaca yang selalu mengemuka, adalah bagaimana cara menimbulkan minat baca.
Sebenarnya jawaban dari hal ini sangatlah sederhana, yaitu terletak pada tingkat ingin tahu yang tinggi.
Untuk meningkatkan rasa ingin tahu, maka harus dihadapakan kepada persoalan yang membuat penasaran dan segera ingin mengetahuinya. Meledaknya buku Harry Potter di seluruh dunia, misalnya bukan karena buku itu bagus dan menarik.
Karena penilaian bagus atau menarik akan diketahui setelah membacanya. Buku itu dibaca karena tingkat penasaran dan keingintahuan anak-anak tentang kelanjutan petualangan Harry Potter.
Rasa ingin tahu kelanjutan petualangan Harry Potter, akan “memaksa” untuk membaca buku selanjutnya.
Dari sikap ingin tahu itu timbullah sikap konsentrasi membaca dan tingkat fokus bacaan yang baik.
Dengan demikian, terjawablah persoalan bagaimana menimbulkan minat baca dan bagaimana cara membaca yang baik.
Minat dan obyek bacaan tentu saja akan berubah sesuai perkembangan usia. Pada orang dewasa yang tingkat ingin tahunya sangat tinggi, otomatis bahan bacaannya juga akan tinggi.
Namun persoalan pokok di sini adalah bagaimana agar keingintahuan anak-anak melalui bahan bacaan bisa terpupuk sehingga ketika dewasa jadi terbiasa dengan membaca.
Menurut hemat saya cekokan buku-buku petualang, cerita dongeng atau kisah-kisah yang membangkitkan imajinasi dan keingintahuan pada diri anak harus dimulai sejak dini. Tugas orang tua adalah bagaimana membuat lingkungan rumah penuh dengan bahan bacaan.
Di samping itu, pemerintah bertugas bagaimana menyediakan bahan bacaan yang murah. Dengan timbulnya minat baca yang tinggi dan didorong dengan tersedianya bahan bacaan yang bermutu dan murah, adalah gerbang pengetahuan yang dapat mengantarkan kepada kehidupan masyarakat yang lebih baik atau lebih mencerahkan. Individu atau masyarakat yang mencerahkan adalah individu pembelajar atau meminjam istilah Andrian Harefa (2003) inilah yang dikatakan sebagai “manusia pembelajar”.
Manusia pembelajar dalam mencari pengetahuan dan makna hidup, bukan lagi menggantungkan diri kepada lembaga atau institusi pendidikan. Tetapi kehidupan yang dilalui dan realitas kehidupan yang dihadapinya merupakan pengalaman yang mengajarkan serta mampu mendewasakan. Inilah yang dikatakan oleh para ahli pendidikan dengan belajar di “sekolah kehidupan”.
Mengingat tantangan masa depan begitu berat, dan perkembangan iptek makin maju dengan cepat dan menuntut SDM yang berkualitas, maka dengan membaca kita dapat menyerap informasi sebanyak-banyaknya, yang pada akhirnya bisa membentuk manusia cerdas, kritis.
Memang banyak kendala yang dihadapi, tapi kalau tidak dimulai, minat baca hanya dibibir saja. Kita perlu membangun tekat yang kuat dan memahami bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa harus dengan tindakan. Untuk menciptakan masyarakat belajar sepanjang hayat, melalui masyarakat membaca, harus ada gerakan dan keterpaduan dari semua unsur terkait.
Kalau meminjam pepatah dalam bahasa Inggris yang berbunyi You are what you eat, kita dapat mengubahnya menjadi You are what you read. Membaca, awal kehidupan yang lebih baik, demikian pula dengan membaca kita berada, eksistensi kita semakin kuat dan mengada, Lego Ergo Sum ( Saya membaca maka saya ada).
*Ben Senang Galus, pengajar di “Jogja Writing School”, penulis buku, tingggal di Yogyakarta