Oleh Ferdi Jehalut
Mahasiswa STFK Ledalero, anggota KMK Ledalero
Hari-hari ini kita menyaksikan betapa carut-marutnya wajah politik kita. Kita menyaksikan korupsi berjemaah para wakil rakyat dan pejabat pemerintahan.
Namun di sisi lain, Mahkamah Agung membatalkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 7 huruf g Peraturan KPU No 20 Tahun 2018 tentang larangan mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual menjadi calon legislatif dalam Pemilu Legislatif 2019.
Selain itu, kita menyaksikan tidak transparannya Bawaslu dalam mengusut dugaan mahar politik yang dilakukan oleh Cawapres Sandiaga Uno kepada Partai Amanaat Nasional dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Kita juga menyaksikan bayang-bayang politisiasi agama menyongsong pemilu 2019. Kita juga menyaksikan pejabat pemerintahan terlibat dalam menyegel rumah ibadah di kota Jambi.
Deretan persoalan di atas mengantar kita pada pertanyaan, benarkah politik itu suatu yang luhur dan suci? Ataukah kenyataan di atas membenarkan asumsi bahwa politik itu memang kotor, brutal, penuh dusta dan muslihat?
Tulisan ini tidak berpretensi menjawab pertanyaan di atas dengan suatu afirmasi tunggal bahwa yang pertama benar dan yang kedua salah atau sebaliknya. Sebab pada dasarnya politik sudah selalu demikian. Ia senantiasa diwarnai oposisi biner – baik-buruk.
Hal itu beralasan, karena politik tidak muncul dalam ruang hampa yang di dalamnya manusia tidak ada. Politik selalu terjadi di antara manusia.
Di ruang inilah pertaruangan-pertarungan wacana itu terjadi. Bahkan, bukan hanya pertarungan wacana, melainkan juga pertarungan kepentingan. Selain itu, karena manusialah yang berpolitik dan bahwa benturan antara voluntary (apa yang dikehendaki) dan involuntary (apa yang tidak dikehendaki) di dalam diri manusia selalu terjadi, maka politik tidak pernah terlepas dari narasi-narasi kejahatan dan konflik.
Sebab, sebagaimana Paul Recoeur, benturan antara voluntary dan involuntary yang selalu terjadi dalam diri manusia itulah yang melahirkan konflik, dosa, dan kejahatan.
Lantas, pendekatan apa yang cocok untuk mendekati dan memahami politik?
Di sini, saya menawarkan dua paradigma untuk mendekati dan memahami politik secara proporsional. Dua pendekatan itu adalah pendekatan ideal dan pendekatan realisme.
Sekurang-kurangnya melalui pemberian tempat yang berimbang kepada dua pendekatan atau paradigma ini, kita terhindar dari sikap acuh tak acuh atau indiferen terhadap politik hanya karena tak tahan melihat keboborokan dan kedurjanaan dalam politik dan sebaliknya terhindar dari keyakinan akan nihilisme, egoisme etis, dan relativisme dengan konsekuensi bahwa pertarungan-pertarungan terbuka yang bebas kendali dalam politik dibiarkan begitu saja karena ada anggapan bahwa politik mesti dilepaskan dari segala macam penilaian dan spekulasi moral, etis, dan religius.
Paradigma ganda Politik
Istilah “paradigma” pertama kali dipopulerkan oleh Thomas S. Khun dalam karya termasyhurnya The Structure of Scientific Revolution (1962).
Paradigma menurut Khun adalah suatu model baku yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat ilmiah yang menjadi pegangan dalam menilai, memahami, merumuskan, memecahkan dan mengatasi persoalan yang ada.
Karena zaman selalu berubah dan persoalan yang dihadapi oleh manusia juga semakin kompleks, maka tuntutan untuk menemukan cara baru dalam menilai, memahami, merumuskan, memecahkan, dan mengatasi persoalan yang ada juga begitu mendesak.
Maka, menurut Khun, kemungkinan akan terjadinya pergeseran paradigma (paradigm shift) adalah suatu keniscayaan. Itu berarti paradigma bukanlah suatu yang kaku, beku, dan anti-perubahan. Ia fleksibel, cair, dan terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan baru.
Pandangan tentang paradigma selanjutnya dikembangkan oleh para sosiolog seperti Robert Fridrichs dalam karyanya Sociology of Sociology (1970) dan George Ritzer dalam karyanya Sociology: A Multiple Paradigm Science.
Dalam karyanya itu, Ritzer membedakan tiga jenis paradigma dalam sosiologi, yakni paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial (bdk. Bernard Raho, 2007; 2014).
Kalau kita menelusuri kembali sejarah filsafat politik, politik sebenarnya juga mempunyai paradigma ganda yang bisa dijadikan pisau analisis untuk menilai, memahami, merumuskan, dan memecahkan persoalan politik. Plato misalnya, menggunakan pendekatan yang sangat ideal dalam memahami politik. Hal itu tercermin dalam karyanya Republik.
Sebaliknya, Niccolo Machiavelli justru menekankan realisme politik. Hal ini sangat jelas dalam dua karyanya yakni Sang Penguasa dan Diskursus.
Dalam buku IV Republik misalnya, Plato mengatakan bahwa pemimpin haruslah seorang “filsuf-raja”. Ia adalah orang yang sudah matang secara intelektual karena telah melewati beberapa tahapan dan proses pendidikan.
Selain itu, kompetensi sosialnya juga sudah diuji melalui latihan pengabdian masyarakat atau pelayanan umum selama lima belas tahun, sebelum pada usia lima puluh tahun ia menjadi pemimpin. Dengan itu, sang filsuf-raja benar-benar kompeten untuk memimpin.
Pemimpin semacam ini menurut Plato tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Ia tahu bahwa kedudukannya sebagai pemimpin tidak untuk kebahagiaanya sendiri, tetapi untuk kebahagiaan seluruh lapisan masyarakat.
“Sebab tujuan negara didirikan adalah bukan untuk kebahagiaan yang tidak merata dan kelompok masyarakat mana pun, melainkan untuk kebahagiaan yang paling besar dari seluruh lapisan masyarakat.”
Menurutnya, dalam negara yang diatur dengan pandangan untuk kebaikan seluruh anak negeri, sangatlah mungkin kita menemukan keadilan. Sebaliknya, di dalam negara yang diatur dengan semberono kemungkinan besar kita mendapat ketidakadilan.
Pandangan Plato di atas sangat menunjukkan bahwa ia adalah seorang idealis sejati. Politik dipahaminya dengan sangat ideal. Maka, dengan mengacu pada kerangka pemikiran Plato itu, saya memberikan catatan singkat terkait persoalan-persoalan yang disentil pada awal tulisan ini.
Pertama, persoalan-persoalan pelik akan muncul kalau negara dipimpin oleh orang-orang yang tidak punya kompetensi untuk memimpin. Mereka tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Mereka lebih banyak mengurus kebahagiaan pribadi dari pada kebahagiaan seluruh anggota masyarakat.
Kedua, ketika orang bodoh memimpin, ketidakadilan pasti merajalela. Di sini kita melihat, hakim-hakim mengambil keputusan berdasarkan interese pribadinya; legislator menyusun undang-undang demi kepentingan diri, kelompok, dan partainya; bupati atau gubenur atau presiden mengambil kebijakan yang mementingkan para pemilik modal yang menyokongnya.
Common good benar-benar absen dari pertimbangan mereka. Aristoteles dalam hal ini benar, “Sebagian besar orang adalah hakim yang buruk ketika kepentingan mereka dilibatkan”.
Thrasymachus juga benar, “Apa yang kita sebut sebagai keadilan tidak lain adalah kepentingan pribadi. Para penguasa menciptakan hukum demi kepentingan dan tujuan pribadi. Keadilan dengan demikian tidak lain sebagai ekspresi kehendak mereka yang kuat.”
Dalam konteks pemilu yang akan datang, idealisme Plato mestinya juga menjadi rambu-rambu kritis bagi kita dalam memilih pemimpin. Plato mengingatkan kita bahwa kita tidak boleh memilih pemimpin yang bodoh dan tidak punya kompetensi untuk memimpin. Pemimpin yang korup juga jangan dipilih; sekalipun Mahkamah Agung tetap meloloskan mereka untuk menjadi caleg.
Maka, cara terbaik untuk menghukum mereka adalah jangan memilih mereka dalam pemilihan umum.
Dari sudut pandang realisme Machiavelli, politik dipahami secara otonom. Machiavelli bertolak dari data antropologis manusia yang cenderung jahat.
“Manusia tidak baik dan tidak jahat, tetapi cenderung jahat,” begitulah kata Machiavelli.
Paradigma inilah yang mendorong dia untuk memembabtis politik dengan doktrin “aforisma”, tujuan menghalalkan segala cara.
Maka bagi Machiavelli, persoalan politisasi agama dan mahar politik secara moral tidak perlu dipersoalkan terlalu jauh. Sebab politik mesti dibebaskan dari segala macam pertimbangan etis dan moral. Yang paling penting ialah tujuan bisa tercapai, yakni meraih kursi kekuasaan. Pertanyaannya, benarkah harus demikian?
Dari dua paradigma di atas, muncul pertanyaan. Apakah orang yang menekankan moralitas dalam politik dianggap tidak realistis? Sebaliknya, apakah orang yang menekankan realisme politik dianggap sebagai anti-moralitas, anti-idealisme?
Di sini, saya hendak mengambil jalan tengah dari dua paradigma di atas. Hemat saya, politik tanpa moralitas sama dengan lalulitas tanpa rambu-rambu. Moralitas mengontrol naluri alamiah manusia yang “cenderung jahat”, sehingga ia tidak membahayakan kehidupan bersama. Sebab pada dasarnya, politik adalah strategi untuk mengatur kehidupan bersama yang membahagiakan semua orang yang terlibat di dalamnya.
Politik tanpa idealisme juga ibarat perahu yang berlayar tanpa arah. Kita butuh idealisme yang menjadi tujuan perjuangan bersama.
Dengan demikian, hemat saya orang yang menekankan moralitas dalam politik tidak serta merta dipandang sebagai tidak realistis. Penekanan pada moralitas dalam politik justru menunjukkan bahwa kita realistis dengan kecenderungan buruk yang selalu ada dalam diri manusia yang mengancam tantanan hidup bersama. Kita butuh rambu-rambu.
Dengan demikian, pertanyaan kedua juga dengan sendirinya terjawab. Orang yang menekankan realisme politik tidak perlu menjadi anti-moralitas dan anti-idealisme. Sebab politik bukan urusan privat, melainkan selalu terkait dengan urusan bersama, yakni seni mengatur dan menemukan strategi untuk membangun kehidupan bersama yang baik.