Oleh: Yohanes Kopong Tuan MSF
Misionaris asal Indonesia; tinggal di Manila, Filipina
DI MANAPUN, persoalan tanah pada akhirnya melahirkan konflik horizontal. Pada saat yang bersamaan, konflik itu kemudian dimanfaatkan oleh kelompok atau orang tertentu yang memiliki uang dan kekuasaan untuk berpihak pada kelompok yang bisa “dibeli”. Dengan cara itu, masyarakat akhirnya terbelah. Konflik horisontal pun semakin meruncing.
Tidak jarang persoalan tanah pada gilirannya tidak hanya mengganggu keamanan warga namun juga memakan korban jiwa di antara pihak-pihak yang sedang berkonflik. Kita tentu belum lupa akan persoalan tanah yang terjadi di wilayah Manggarai beberapa tahun silam.
Beberapa hari terakhir ini, sekitar Selasa, 17 Oktober 2018, persoalan tanah di wilayah suku Paumere, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, kembali mencuat.
Warga yang telah menjaga dan mengolah tanah itu sudah ratusan tahun, kini harus berhadapan dengan kekuatan TNI yang mengklaim bahwa tanah yang sudah berpenghuni berupa rumah warga, kebun dan kuburan keluarga adalah milik TNI AD dengan ditandai pemasangan papan yang bertuliskan, “Tanah ini milik TNI AD, dilarang masuk”. Selain papan larangan, di lahan sengketa juga tertancap tiang bendera merah putih.
Tanah ulayat (tanah suku)
Tanah ulayat adalah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), no.5 tahun 1960 mengakui adanya Hak Ulayat tanah ulayat yang disertai dengan dua (2) syarat yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya.
Berdasarkan pasal 3 UUPA; hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Dengan demikian, tanah ulayat tidak dapat dialihkan menjadi hak milik apabila tanah ulayat tersebut menurut kenyataannya masih ada, misalnya dibuktikan dengan adanya masyarakat hukum adat bersangkutan atau kepala adat bersangkutan (hukumonline.com-Mutiara Putri Artha, SH.,M.Kn).
Dari penjelasan di atas maka, perjuangan masyarakat suku Paumere mempertahankan hak ulayat mereka atas tanah ulayat adalah sah dan dijamin oleh hukum.
Alasan telah dijualbelikan kepada pihak TNI berdasarkan UUPA di atas jelas merupakan tindakan menyalahi Undang-undang. Karena eksistensi masyarakat adat masih ada dan juga memiliki kepala adat.
Menurut informasi yang bisa dipercaya, tanah yang sedang dipertahankan dan diperjuangkan oleh masyarakat adat Paumere adalah tanah ulayat atau tanah suku yang merupakan kepemilikan adat suku Paumere.
Persoalan tanah ulayat ini sudah terjadi sejak tahun 1974, di mana ada oknum dari salah satu suku yang mengklaim bahwa tanah yang sedang digarap bersama itu adalah tanah milik suku mereka.
Namun persoalan tanah yang terjadi sejak tahun 1974 bukan pada tanah yang sedang diperebutkan oleh masyarakat dan TNI sekarang.
Persoalan tanah yang terjadi itu sebenarnya berada pada posisi wilayah barat, yang karena persoalan itu tidak kunjung selesai, tanah ulayat yang berada di wilayah bagian timur justru kemudian dipersoalkan dan diklaim oleh pihak TNI sebagai tanah hibah dari salah satu oknum suku.
Masyarakat suku Paumere yang tidak tahu-menahu soal proses hibah dan siapa yang melakukan hibah dengan TNI kemudian melakukan protes dan tetap mempertahankan hak mereka atas tanah ulayat suku Paumere. Berbagai usaha dilakukan seperti demonstrasi terus dilakukan untuk mempertahankan hak ulayat atas tanah tersebut.
Usaha melalui jalur hukumpun ditempuh oleh masyarakat suku Paumere sejak tahun 2007. Usaha ini berakhir dengan amar putusan pihak Mahkamah Agung dengan Nomor : 113 PK/pdt/2013 yang memenangkan pihak masyarakat adat suku Paumere dan menolak kasasi dari oknum atas nama Musa Degu, dkk. Musa dan kawan-kawan adalah pihak yang mengaku memberikan hibah atau menjualbelikan tanah suku tersebut.
Putusan Mahkamah Agung berkekuatan hukum tetap. Meski kemudian ditengarai bahwa tanah yang sudah dimenangkan oleh masyarakat suku Paumere kembali diklaim oleh TNI sebagai tanah hibah atau dijual oleh Indra Hasan ke pihak TNI, tidak serta merta menegaskan bahwa tanah itu kemudian menjadi milik pihak TNI. Alasannya, prosedur jual-beli atau hibah atas tanah tersebut tidak diketahui oleh masing-masing kepala suku yang tergabung dalam suku Paumere.
Masyarakat adat suku Paumere tidak mengenal siapa Indra Hasan dan apa perannya di balik semua kegaduhan ini. Yang masyarakat yakini adalah tanah itu tetap milik mereka dengan tetap berpegang pada amar putusan Mahkamah Agung.
Situasi Mencekam
Selasa, 17 Oktober 2018, masyarakat suku Paumere kembali turun ke jalan, melakukan aksi pemblokiran jalan karena pihak TNI terus memaksa untuk masuk dan menguasai wilayah tanah ulayat suku Paumere.
Aksi protes masyarakat suku Paumere dilakukan karena pihak TNI secara sadar dan sengaja memasang papan yang bertuliskan tanah ini milik TNI, dilarang masuk serta pemasangan tiang bendera merah putih.
Menonton video aksi massa yang memblokir jalan masuk ke tanah ulayat suku Paumere, hati dan batin ikut menangis.
TNI yang merasa memiliki tanah tersebut (meski dugaan saya mereka secara sadar telah dibohongi Indra Hasan maupun Musa Gedu dkk) terus berusaha menghalau para ibu agar mobil yang katanya ditumpangi pejabat TNI bisa memasuki tanah suku Paumere.
Barisan depan aksi massa adalah para ibu dan di bagian belakang para bapak. Para orang tua rela berteriak; silahkan tembak kami ketika pihak TNI melakukan tembakan peringatan beberapa kali untuk menakuti warga.
Para ibu yang tak mau beranjak dari tempat duduk mereka ditarik secara paksa oleh oknum TNI. Pihak TNI sepertinya mengalami kematian nurani bahwa yang dihadapinya adalah kaum ibu yang juga ibunya sendiri.
Teriakan histeris para ibu dan bapak pun menggema: ‘Silahkan tembak kami, kami tidak takut seakan tak mampu meluluhkan hati aparat TNI yang sedang beringas’.
Bahkan para ibu yang didukung para bapak mengancam untuk telanjang di depan aparat TNI. Namun usaha itu tidak juga membuat aparat TNI melunak untuk mencari jalan terbaik tanpa menimbulkan ketakutan pada warga dan anak-anak.
TNI yang adalah aparat penjaga keamanan, justru pada aksi ini memperlihatkan bahwa mereka bukan penjaga keamanan namun pencipta kekacauan dan ketakutan pada warga dengan senjata yang mereka miliki.
Untuk TNI
Atas tindak represif TNI terhadap masyarakat suku Paumere yang memiliki kekuatan hukum atas tanah ulayat, penulis mengutuk tindakan represif tersebut sekaligus meminta Panglima TNI untuk memanggil oknum TNI yang melakukan tindakan represif.
Penulis juga meminta Pangdam Udayana bahkan Panglima TNI untuk melakukan dialog dan jalan damai bersama masyarakat suku Paumere.
Di samping itu pihak TNI, seharusnya tetap menghargai keputusan Mahkamah Agung, meski kemudian tanah itu entah dihibahkan atau dijual oleh oknum Indra Hasan dengan proses yang tidak sah. Pihak TNI seharusnya memanggil saudara Indra Hasan dan memperkarakan dia.
Hingga kini, masyarakat Paumere butuh dialog dan penyelesaian masalah berlandaskan prinsip kemanusiaan. TNI harus menyadari bahwa masyarakat Paumere bukan musuh negara yang harus dibasmi dengan cara represi apalagi kekerasan.
Mereka hanyalah masyarakat sipil yang tidak punya senjata, yang membutuhkan perlindungan negara, termasuk perlindungan TNI. Semoga!