Oleh: Adrian Naur
Alumnus STFK Ledalero, Tinggal di Maumere
Sebuah pernyataan kontroversial menyeruak dari mulut Viktor Laiskodat, Gubernur NTT. Di hadapan khayalak, dia mengatakan hanya manusia cerdas yang masuk surga. Viktor Laiskodat menyebut tidak ada orang bodoh dan miskin yang masuk surga.
Ketika Viktor Laiskodat sedang berwacana seperti itu, masyarakat NTT masih dalam situasi gamang setelah pelbagai berita media cetak dan online membeberkan kematian TKI asal NTT. Ditambah sederet kasus korupsi, kemiskinan, kematian ibu dan anak, stunting, kasus HIV/AIDS dan rendahnya mutu pendidikan yang masih saja menghantam kehidupan masyarakat NTT.
Kita membayangkan kehidupan orang NTT sebagai keironisan karena ditindih tirani ‘kekuasaan’ dan berbagai patologi sosial yang cukup kronis.
Di tengah carut-marut situasi sosial masyarakat itu, layakkah seorang pemimpin atau public figure mengeluarkan pernyataan “hanya manusia cerdas yang masuk surga”?
Pernyataan ini sekali lagi menggambarkan kegamangan Viktor Laiskodat. Kegamangan terhadap situasi “darurat” kemiskinan dan kebodohan masyarakat NTT saat ini. Tidak salah. Sebagai seorang pemimpin, ia berhak mengutarakan pikiran serta unek-unek hati.
Hanya, Gubernur NTT terlampau cepat menarik kesimpulan. Ada dua penilaian yang bisa ditarik dari pernyataan Viktor Laiskodat.
Pertama, seorang pemimpin politik adalah seorang yang didefinisikan oleh sebuah panggung. Panggung Viktor Laiskodat adalah kepemimpinan. Ia menyampaikan pernyataan itu dalam kapasitas seorang pemimpin. Ketika ia bersikap, tertawa, atau menyampaikan pidato dalam intonasi kelakar ataupun formal, semua menghadap ke publik.
Dalam ruang publik masyarakat dapat menafsir dan memberi penilaian atas kapabilitas dan elektabilitas seorang pemimpin. Tidak dilarang apalagi dibatasi. Termasuk menafsir pernyataan “hanya orang cerdas yang masuk surga”, yang bisa beramplifikasi dalam pandangan masyarakat.
Kedua, bahaya “politik penampilan”, the politics of persona, hubungan antara wajah dan penampilan pribadi yang ditampilkan ke muka umum dan wajah realitas. Masyarakat NTT sering memakai kata “tegas” untuk menggambarkan gaya kepemimpinan Viktor Laiskodat.
Dalam penilaian masyarakat NTT “tegas” mengandung penilaian moral. Namun, pernyataan-pernyataan yang ditelorkan pemimpin NTT ini kerapkali mengundang tidak sedikit reaksi masyarakat. Kita ambil contoh diksi “bodoh”, “cerdas”, tidak tepat dipakai bagi realitas masyarakat yang nyatanya sedang berjuang dari waktu ke waktu melawan kebodohan dan kemiskinan.
Tentu kita masih ingat reaksi keras masyarakat NTT saat menteri pendidikan menyebut siswa NTT bodoh beberapa waktu lalu. Reaksi justru lahir dari rasa ketidakadilan pembangunan negara dimana berimplikasi pada keterpurukan pendidikan NTT.
Demikian juga dengan kata “surga”. Iming-iming surga tidak perlu disampaikan dan dikaitkan keadaan masyarakat yang masih terbelakang. Kalau soal layak atau tidak layak, hemat saya, mestinya para koruptor yang disinggung. Karena ditinjau dari konteks sosial-politik dan sosial-budaya, justru mereka yang membuat masyarakat semakin menderita.
Mereka (Baca: Koruptor) yang memberangus hak-hak sosial dasar masyarakat NTT. Dosa sosial-politik yang paling nyata bukan pada masyarakat tapi koruptor yang merampas hak mereka.
NTT Darurat Korupsi
Kalau sudah bodoh dan miskin, kata Viktor, tentu akan memberatkan diri sendiri, memberatkan lingkungannya, memberatkan keluarganya, memberatkan negaranya, dan memberatkan Tuhan. (ibid)
Pertanyaan kita, sudah sejauh mana kinerja Viktor Laiskodat terhadap para koruptor yang mengurat-akar? Mengapa bukan mereka yang disebut Viktor Laiskodat orang “bodoh” dan “cerdas” yang layak masuk “surga”? Salah siapa lantaran masyarakat masih tergolong miskin dan bodoh? Atau model “surga” apa yang dimaksud Viktor Laiskodat?
Sampai di sini gaya kepemimpinan Viktor layak disinggung. Max Weber menyebut tiga model kepemimpinan. Pertama, pemimpin tradisional. Kedua, pemimpin rasional absah. Ketiga, pemimpin karismatik.
Ketiga model kepemimpinan itu memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Yang dapat dipakai dalam konteks keindonesiaan adalah model kepemimpinan rasional absah.
Tipe kepimpinan rasional absah dipilih oleh masyarakat dalam pesta demokrasi. Namun, dalam pengambilan keputusan dan kebijakan tipe seperti rasional absah cenderung diskriminatif, sehingga seorang dalam menggunakan perannya sebagai seorang individu berpotensi melakukan dominasi dan menundukkan.
Dalam konteks kepemimpinan di NTT, Viktor tidak perlu mengeluarkan statement “bodoh” dan “pintar”. Di tengah situasi yang sedang carut-marut, setiap pernyataan politis pemimpin punya sarat makna dan berdaya memengaruhi keberlangsungan kehidupan sosial.
Tipe kepemimpinan rasional absah memang banyak dipakai oleh pemimpin-pemimpin di Indonesia. Kepemimpinan seperti itu, dalam pandang Max Weber, mengedepankan sikap demokratis.
Dengan demikian, jika ingin terlihat demokratis mestinya yang disampaikan Viktor Laiskodat pada mimbar resmi pada saat itu adalah posisi tawar terhadap, misalnya, restrukturisasi kepemimpinan di NTT, lalu dana yang dipakai untuk menangani kemiskinan dan kebodohan, dan program unggulan apa yang ditawarkan menanggulangi kemiskinan dan kobodohan.
Sebab, jika dirunut akar ketimpangan sosial, politik, budaya yang berimbas ke agama, adalah restruktrusasi kepemimpinan yang gagal. Terbukti, NTT masih digolongkan miskin dan daerah terkorup terparah di Indonesia.
Lalu, kalau “surga” yang dimaksud Viktor Laiskodat adalah kesejahateraan bersama, kebahagiaan, kemakmuran, bagaimana Viktor Lasikodat melukiskan “surga” yang digerus para koruptor?
Ini yang perlu dikritik, karena keadaan dan pola pikir yang sudah terlampau beredar di masyarakat, bahwa yang menikmati kesejahteraan, kebahagiaan, kemakmuran, hanya orang-orang berduit dan koruptor.
Hemat saya, semua masyarakat NTT masuk ke dalam “surga” kesejahteraan, kemakmuran, dan kedamaian itu jika para koruptor yang bercokol dan bersembunyi di balik jubah kekuasaan dibasmi habis oleh Viktor.
Sudah saatnya NTT keluar dari kubangan KKN. Tidak perlu menunggu waktu lama bagi koruptor yang terindikasi korupsi, apalagi berjemaah, sebab penyakit akut di NTT adalah korupsi. Pertanyaannya, sanggupkah Viktor Lasikodat menerobos jeruji “surga” koruptor itu?