Oleh:Grace Gracella
Tokoh yang satu ini namanya Philips Manafe. Bermodalkan seekor kuda, ia tahun 1970 berhasil mengenalkan Golkar hingga ke pelosok pulau Rote. Ketika itu, ia menjabat Camat Rote Tengah, menggantikan Erens Amalo.
Philips bergabung di Golkar setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan sebagai perwira cadangan di Malang pada tahun 1971. Dalam pelatihan itu, semua alumni APDN diidentifikasi, mana yang akan jadi camat, mana yang akan jadi mentri polisi. Nama-nama mereka kemudian dicatat. Dari Nusa Tenggara Timur semuanya jadi camat, salah satunya adalah Philips. Dua minggu pelatihan, semata-mata mereka dididik untuk menjadi kader Golkar tingkat nasional. “Di situ para Jenderal mulai mendoktrin kami tentang Golkar, bahwa Golkar harus menang, harus menang, harus menang,” kisah Philips. Sejak saat itulah Philips mengenal Golkar dan mulai bertugas penuh di Golkar. Secara administrasi, Philips mengaku, sudah mengenal Golkar dari tahun 1966/1967. Saat itu masih berstatus Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar.
Militansi Tanpa Uang
Golkar di zaman itu, jauh berbeda dengan Golkar sekarang. Di zaman itu, uang tidak sebanyak sekarang. Maka partai tua ini pun tidak mempunyai anggaran khusus bagi pengurusnya untuk membiayai sosialisasi. Seluruh kader benar-benar bekerja bermodalkan militansi yang kuat.
“Dalam proses sosialisasi Golkar saat itu tidak ada dukungan sama sekali dari provinsi maupun pusat. Kami berjalan dengan tidak menggunakan uang sama sekali. Saat itu kami belum mengenal namanya uang jalan. Kami sebagai camat pun, jika ingin ke Kupang di jemput di Rote menggunakan motor. Saat itu, pemerintah belum menetapkan peraturan mengenai uang jalan. Apalagi dari Golkar tidak ada sama sekali, tidak pernah memberikan uang satu sen pun,” ujar Philips. Uang, bukan hambatan bagi Philips untuk terus mengembangkan sayap perjuangan Partai Beringin itu di Nusa Lontar. Nyali serta semangat yang tinggi adalah modal utama seorang Philips dan kawan-kawan. Masuk keluar desa-desa, menaklukan jalan bebatuan hanya dengan berjalan kaki. “Untuk pergi ke desa – desa kami lebih sering berjalan kaki. Di sebagian kawasan lain, kami bepergian dengan kuda,” kenang dia.
Gong Pemilu 1971 mulai ditabuh. Golkar harus menang. Maka Philips harus segera kembali mengelilingi desa-desa. Saat itu, dia sudah mulai difasilitasi partai, uang mulai dikasih. Demi menjangkau seluruh desa, uang itu dipakai Philips untuk beli kuda. Transportasi handal pada era itu. “Mulai adanya pemilu 1971, kami mendapatkan dana transportasi dan digunakan untuk membeli kuda,” katanya.
Tak lama berselang, camat-camat di Rote difasilitasi motor. Menurut Philips, saat itu jumlah motor di Kabupaten Rote Ndao hanya 6 (enam) buah. Walaupun zaman Soekarno berkuasa sudah ada satu mobil di sana, dan segera hilang saat Soekarno tak lagi berkuasa. “Mendekati Pemilu, kami mendapat sepeda motor (tahun 1971). Jadi, di Rote baru 6 sepeda motor, yaitu sepeda motor yang diberikan untuk camat,” katanya. Meski begitu – lanjut Philips – kuda tetap diandalkan karena belum semua kampung di Rote bisa dijangkau dengan sepeda motor.
Dijelaskan Philips, saat proses pembentukan Golkar di kabupaten – kabupaten, pulau Rote masih berstatus sebagai wilayah pemerintahan pembantu bupati Rote. Philips ketika itu, baru saja menyelesaikan studi dari APDN dan pelatihan Perwira Cadangan di Malang. ”Saat proses pembentukan Golkar di Rote, saya belum menjabat sebagai camat. Saya bekerja di kantor pembantu Bupati sebagai Sekertaris, Ande Suki sebagai Ketua Sekber Golkar. Dalam beberapa bulan saja saya ditunjuk menjadi Camat. Posisi sekertaris digantikan oleh Yapi Manafe, yang kemudian menjadi anggota dewan,” kisahnya.
Pada saat itu, di tingkat kecamatan, secara otomatis yang menjadi ketua adalah Camat. Belum ada pembentukan organisasi Komisariat Desa (Komdes) dan Komisariat Cabang (Komcab). Pemilu 1971 terkesan begitu mendadak. Perintahnya, Golkar harus menang. Padahal, lembaga – lembaga di tingkat kecamatan dan desa sama sekali belum terbentuk. Pembentukan lembaga di kabupaten hanya sampai pada wilayah pemerintahan pembantu bupati. Pemilu sudah selesai, Golkar meraup kemenangan 80 persen di Rote. Kisah pemilihan di Rote ketika itu meninggalkan cerita menarik. Konon semua yang menjadi pemilih adalah laki – laki. Perempuan belum dibolehkan. Setelah pemilu tahun 1971 barulah perempuan menggunakan hak pilihnya.
Kemenangan 80 persen itu, memantapkan langkah Golkar untuk mengorganisasikan diri guna menghadapi Pemilu berikut, tahun 1977. Pada tahun 1973/1974 akhirnya Komdes (Komisaris Desa), Komcam (Komisaris Kecamatan) mulai dibentuk. Namun, pembentukannya melalui penunjukkan. Kaderisasi pun mulai berjalan, saat itu diberi nama Karperdes (Kader Penggerak Teritorial Desa). Dalam Kaderisasi ini, masyarakat dikumpulkan dan diberikan penjelasan mengenai Golkar. Setelah dianggap tahu, masyarakat diminta menandatangani surat pernyataan menjadi anggota Golkar dan dianggap menjadi kader. Satu kader diberi target 10 pemilih. Hasil dari karperdes ini, Golkar kembali mengungguli Pemilu tahun 1977.
Tumbuh Besar
Golkar, demikian Philips, ibarat pohon yang sudah tumbuh besar. Usianya sudah 54 tahun. Ada cabang – cabang akar tunjang yang menggantung turun hingga menembus karang. Pertumbuhan itu semakin mengokohkan batang pohon utama, beringin. “Jadi, walaupun pohon utama sudah relatif tua, tetapi batang pohon tetap tegak karena ditopang oleh akar penunjangnya,” kata Philips dengan yakin.
Di daerah – daerah, menurut Philips, Golkar tetap kuat. Kendati demikian, selama 10 tahun terakhir ini, Golkar di pusat kian lemah. Sementara di NTT, Golkar sejak pemilu 1971 hingga pemilu 2014 masih terus meraih kemenangan. Kata dia, tantangan yang dihadapi Golkar setidaknya hingga Desember 2018 adalah kepemimpinan bupati di kabupaten-kabupaten, yang sebagian besar bukan kader Golkar. “Kondisi ini bisa berimbas menurunnya elektabilitas Golkar di NTT. Golkar harus kerja keras agar kembali memenangi pemilu yang berlangsung April 2019,” harapnya.
Kaderisasi Lemah
Philips mengingatkan, dalam berpolitik Golkar tidak boleh menciptakan permusuhan. Kehadiran partai lain mesti dilihat sebagai mitra bukan lawan apa lagi musuh. Dia menegaskan, kekuatan utama partai dalam merawat eksistensinya adalah kaderisasi. Saat ini, Philips menilai kelemahan Golkar justru terletak di situ, kaderisasi. Padahal kata Philips, Golkar dulu mempunyai sistem kaderisasi yang sangat bagus, bahkan ia mengklaim semua sistem kaderisasi partai yang ada sekarang itu diadopsi dari sistem yang dibangun Golkar.
Namun kata Philips itu semua adalah cerita kebanggaan Golkar masa lalu, Golkar sekarang menurut dia harus kembali. Satu-satunya cara yang harus ditempuh adalah sistem kaderisasinya harus kuat dan matang. Kaderisasi ini juga kata dia, akan menjadikan kader Golkar berintegritas. “Intinya adalah kaderisasi. Kalau tidak ada pengkaderan yang baik, maka apapun yang dibicarakan akan percuma. Kerinduan terbesar saya dalam kubu Golkar adalah kader – kader Golkar jangan menjadi penipu, harus benar – benar memiliki integritas sebagai pemimpin dan pengurus Golkar,” harap Philips.***
Penulis adalah Sekretaris Tim Penulis “Jejak Karya Golkar NTT”
Baca: Maria Agustina Noach: Saatnya Golkar Perjuangkan Nasib Perempuan