Oleh: Pius Rengka
Satu tahun sudah waktu dihitung telah berlalu. Walikota Kupang, Jefry Riwu Kore dan Herman Man, memimpin ini kota. Tetapi, ziarah kepemimpinan dua tokoh ini, tak jauh dari sembilu kritik. Saban hari keduanya dirajam kritik.
Bahkan, lebih dari itu, mereka dihina dan diolok-olok. Puncak hujatan itu hanya punya satu frasa yang pas bahwa dua pemimpin ini, lemah nian.
Di mana saja, ketika satu dua orang berkumpul, di sana pun gosip meruak. Dan, cibir remeh temeh. Walikota Kupang dinilai sangat lemah, tak sanggup memimpin kota ini.
Memang, sungguh mati. Tak diketahui pasti. Siapa gerangan para perajam krikil kritik itu, yang datang dari segala arah. Para tukang olok itu, berujar, Walikota Jefry Riwu Kore, pemimpin sangat lemah, mengecewakan. Bahkan ada yang tega nian mengatakan, Jefry bodoh, tanpa punya orientasi apa-apa.
Tudingan pun begitu juga, sama saja. Jefry Riwu Kore itu, dituding tak sanggup bertindak apa pun pada pegawai yang melakukan persekusi atas Wakil Walikota. Gosip pun kian meruak menjalar bak api tersiram bensin.
Konon, dua preman pegawai kota itu dikenal khalayak, sebagai pegawai berotak lemah untuk tidak disebut dungu. Tapi, tak mengapa toh waktu terus mengalir, dua mahluk preman liar ini tetap nyaman di ketiak Walikota, kata gosip itu.
Bahkan gosip liar itu menyebutkan, dua preman pegawai negeri yang menyerang dokter Herman itu justru kini mengatur-ngatur langkah Walikota Jefry Riwu Kore. Diketahui juga, kata gosip itu, dua pegawai ini, manusia bodoh yang masih tersisa di muka bumi.
Begitulah serial kritik dan gosip itu datang bagai badai atas ladang wajah politik kepemimpinan Walikota Jefry Riwu Kore. Badai gosip dan kritik itu begitu padat dan kenyal sehingga nyaris tak lagi dapat dibedakan. Mana kritik, mana gosip. Campur aduk sedemikian rupa di panggung publik, sampai-sampai para jurnalis asal menulis apa saja yang muncul di media sosial yang tersedia.
Di panggung media sosial, nama Jefry berhimpitan dengan aneka peristiwa politik di level nasional. Tatkala tarung serang gosip Pilpres kian mengencang, tegangan konflik politik di kota pun kian mengeras. Anggota dewan kota tak segera setuju anggaran untuk memperindah taman kota.
Namun, di tengah gelombang kritik, hujatan sarkastik dan gosip keji yang berlari liar di panggung politik Kota Kupang, Walikota Dr. Jefry Riwu Kore, tetap berjalan gontai tak sekali pun menyahut kasar. Dia diam saja. Dan, diam-diam dia terus bergerak menurut apa yang dibayangkannya sebagai hal terbaik untuk pembangunan kota.
Kadang, sesekali tampak dalam siaran langsung, Jefry Riwu Kore sedang berinteraksi dengan rakyat yang dikunjunginya. Kali lain, ada siaran langsung dia memungut sampah di tepi jalan ketika hujan menyiram ini kota dengan badai sampah mengalir ke tempat rendah.
Ketika Walikota bertindak tandas jelas dan tegas melakukan sirkulasi birokrasi di kota mulai dari para Lurah dan kepala desa, tampaknya, para juru gosip dan kritik, redup sejenak.
Namun, energi kritik mulai bangkit lagi ketika Walikota melakukan tindakan tanpa tedeng aling-aling atas lokasi prostitusi Karang Dempel di kawasan Tenau Kupang. Para juru kritik bangkit lagi. Ada narasi politik baru yang harus diisi tuntas. Perihal Karang Dempel dan kisah di sekitarnya, dibidik dari aneka arah.
Antara lain disebutkan, penutupan Karang Dempel, merupakan tindak tidak populer yang naif, dan tidak luas cakrawala. Walikota tidak memperhitungkan implikasi sosial dan ekses ekonomi atas keputusannya itu. Tetapi, toh Walikota Jefry tak sedikit pun berubah sikap.
Dia tenang dan jalan terus lalu terus berlanjut, hingga kini KD, sungguh-sungguh ditutup. Ke manakah para penghuni yang sudah mulai manja dengan bisnis kenikmatan itu? Ke manakah gerangan mereka pergi mengais rejeki dari modal dagang tubuh itu? Hingga tulisan ini dibuat, belum dapat dipastikan ke arah mana mereka berubah arah.
Penutupan Karang Dempel, jelas menimbulkan turbulensi sosial. Tak ketinggalan aktivis gereja pun ikut bersuara. Singkat kisah, tindakan penutupan Karang Dempel dinilai tindakan tanpa perikehidupan sosial kemanusiaan.
Lampu Jalan
Jefry Riwu Kore, dapat disebut pemimpin yang gemar berenang di arus. Dia diam-diam tak banyak omong, tak banyak pidato. Dia, pada satu malam, tiba-tiba meluncurkan 500 titik lampu dari Straat A hingga Lasiana, dan beberapa lampu hias yang merias kota ini.
Didahului sedikit seremonial seperlunya di sebuah kantor Kecamatan, tak jauh dari kantor Walikota, Jefry Riwu Kore didampingi Wakil Walikota dr. Herman Man dan Ibu Hilda Manafe, mengumumkan peluncuran lampu jalan dan lampu hias.
Malam, tatkala launching lampu hias dan lampu jalan di Kota Kupang, para juru kritik dan tukang gosip, mungkin saja hadir di tengah peristiwa itu. Tetapi cahaya lampu yang memberi rona baru Kota Kupang, perlahan berubah, seolah-olah kota yang tadinya berwajah seperti seorang nenek tua rentah bangun tidur berubah perlahan menjadi gadis molek genit yang mulai tahu cara berdandan. Kota pun mulai bercahaya.
Rakyat Kota yang tahu akan peristiwa itu datang ke situ, lalu mulai beraksi dan bergaya dengan smartphone foto diri sambil memberi simbol victory. Menang.
Satu di antaranya yang ditanya, apakah yang dipikirkannya pertama kali tatkala melihat lampu kota menyala? Dengan enteng ibu setengah baya itu berkata, Pak Jefry kerja diam-diam, tetapi mulai berhasil.
“Orang boleh saja kritik keras kepada Pak Jefry, karena mereka tak tahu apa-apa. Sebaiknya kita lihat hasil kerjanya saja,” ujarnya sambil menyiram senyum nan tulus.
Dia menambahkan, meski Pak Jefry terus dihujat, tetapi Beliau jalan terus. Kita warga kota mendukung.