Kupang, Vox NTT- Belakangan ini, referendum sementara bergulir di Nusa Tenggara Timur untuk menggalang kesepakatan Presiden Jokowi bisa menjabat selama tiga periode. Wacana itu santer digulirkan oleh Staf Khusus Gubernur NTT, Pius Rengka.
Dilansir dari Beritasatu.com, Pius menuturkan pihaknya melihat kesan di rakyat lapisan bawah masih menginginkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melanjutkan kepemimpinan nasional.
Masalahnya, konstitusi menyebut masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal hanya dua periode.
Mikael Rajamuda Bataona, Akademisi dari Unwira Kupang, Rabu (05/05/2021) siang, menanggapi wacana tersebut.
Pertama, kata Mikael, Jokowi sendiri sudah menegaskan bahwa, yang mewacanakan agar dirinya mempunyai masa jabatan tiga periode adalah orang yang ingin menampar mukanya juga menjerumuskannya.
“Ada yang ngomong Presiden dipilih 3 periode, itu ada 3. Ingin menampar muka saya, ingin cari muka, padahal saya punya muka. Ketiga ingin menjerumuskan. Itu saja, sudah saya sampaikan,” ucap Jokowi, sebagaimana ditiru Mikael.
Menurut Mikael, dari ucapan Jokowi tersebut menunjukkan bahwa meski kekuasaan sangat menggoda dan membuat banyak orang rela menderita demi meraihnya, tetapi tidak bagi mantan Wali Kota Solo itu.
“Rupanya Jokowi paham bahwa banyak orang yang juga sedang bermain trik demi meraih kekuasaan atau mendekat ke pusat kekuasaan, coba menjerumuskannya,” ujarnya.
Kedua, lanjut dia, wacana ini digulirkan dari NTT. Jika dibaca secara politis, ini sebagai bagian dari manuver dan intrik untuk coba menarik perhatian Jakarta dan Jokowi.
“Saya kira sah-sah saja. Karena praksis politik berurusan dengan manuver politik semacam itu,” tegasnya.
Meski begitu, menurut Mikael, penolakan Jokowi harus dipahami dalam konteks kultur orang Jawa. Jika dipaksakan, justru bisa menjadi bumerang. Sebab, Jokowi akan merasa dijerumuskan oleh mereka yang kembali menggelorakan wacana ini, apalagi sampai ke level referendum.
“Menyebut referendum sebagai model atau perwujudan dari demokrasi deliberatif adalah keliru dan gagal paham,” tegasnya.
Demokrasi deliberatif sendiri, sambung Mikael, mengenal dua hal yaitu demokrasi perwakilan plus vitalisasi ruang publik. Di mana, dalam perwujudan demokrasi deliberatif, referendum bukanlah jalan atau tools untuk mewujudkan ideal demokrasi yang deliberatif.
“Pertama harus dipahami dulu bahwa demokrasi yang deliberatif itu sebuah diskursus praktis,” pungkas Mikael.
Ia mengatakan, sebagai diskursus praktis dalam negara hukum modern yang rakyatnya sudah sangat kompleks dan terdiferensiasi dengan begitu banyak kepentingan, ideologi dan selera, yang dibutuhkan adalah bagaimana memberi ruang diskursus kepada mereka semua terhadap setiap isu, tanpa paksaan atau dominasi sepihak.
Ia pun mempertanyakan apakah referendum itu kehendak rakyat NTT ataukah dipaksakan secara sepihak oleh elit kekuasaan untuk tujuan politik tertentu? Apakah ide referendum itu sudah didiskursuskan secara diskursif di ruang-ruang publik tanpa paksaan dan akhirnya rakyat memutuskan harus ada referendum?
Jika langsung pada ide referendum maka menurut Mikael, hal itu bukan lagi demokrasi deliberatif, tetapi memalsukan volunte generale atau kehendak umum rakyat untuk tujuan politik jangka pendek pihak-pihak tertentu.
Sebab, demokrasi deliberatif itu sendiri menghendaki adanya prosedur-prosedur komunikasi yaitu melalui formasi-formasi opini dan aspirasi-aspirasi politis yang dilakukan secara prosedural.
Ia menegaskan, proseduralisme dalam demokrasi deliberatif itu wajib dan hakiki. Tanpa itu maka hasilnya tidak akan pernah menjadi konsensus yang demokratis.
“Jadi, jangan sampai ide ini menjadi mainan politik yang justru kontraproduktif terhadap nama baik Jokowi,” pungkas Mikael.
Dikatakan, bisa saja publik membacanya sebagai sebuah kepentingan politik yang ideologis dan berlumuran kepentingan kelompok elit. Karena harus diingat bahwa opini-opini mayoritas juga tidak selalu identik dengan opini yang benar.
“Bisa saja opini itu dipaksakan dan dimanipulasi dari atas oleh elit kepada masyarakat tanpa mereka dilibatkan dalam ruang-ruang publik untuk mendiskusikan opini tersebut,” katanya.
Ketiga, menurut Mikael, ide referendum masa jabatan Presiden adalah ide partikular kelompok penggagasnya. Ide ini tidak boleh serta merta diuniversalisasikan sebagai ide seluruh rakyat NTT. Karena ide ini tidak punya basis legitimasi.
“Meskipun disebutkan ada basis legalitasnya dalam UUD. Legitimasi dan legalitas itu berbeda. Meski sesuatu itu legal, belum tentu punya legitimasi,” jelas Mikael.
Dalam kasus ini, lanjut dia, yang dibutuhkan adalah legitimasinya. Rakyat NTT tidak bisa langsung diberi pilihan untuk referendum tanpa mereka pernah dilibatkan dalam diskursus yang rasional di ruang-ruang publik, baik ruang publik fisik maupun virtual untuk memberi persetujuan.
Alasan mengapa harus ada referendum juga harus jelas. Dan agar jelas, diskursus publik melalui proseduralisme komunikasi yang fair dan rasional untuk menguji ide referendum tersebut secara publik adalah wajib.
Tanpa hal tersebut, maka ide ini bisa saja dicap ideologis dan berlumuran kepentingan kekuasaan kelompok elit.
Pandangan Mikael hampir sama dengan Pengamat sosial politik asal Undana Lasarus Jehamat.
Meski referendum tidak dilarang, namun menurut Lasarus, Jokowi sudah tegas mengatakan isu tiga periode itu sama dengan menampar muka sendiri.
“Dan saya yakin Jokowi berkomitmen, kalau teman-teman mau, buat petisi untuk mengamandemen UUD 1945. Kita tidak bisa keluar dari bingkai itu hanya dengan referendum,” ujarnya.
Wacana itu bergulir di NTT yang jumlah pemilih dan masyarakatnya sedikit dipandang Lasarus sebagai pertarungan kelompok.
“Bukan soal jumlah. Ini pertarungan antara kepentingan satu dua kelompok dengan konsistensi penerapan aturan (masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden),” katanya.
Lasarus juga meragukan bahwa wacana referendum itu digulirkan mengatasnamakan kepentingan rakyat banyak.
“Saya tidak yakin. Itu kelompok dan bukan rakyat keseluruhan,” tutupnya.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba