Oleh: Apry Fernandez
Mahasiswa Semester IV STFK Ledalero
Dari tiga persoalan (Korupsi, Terorisme dan HAM) yang diangkat dalam debat Capres dan Cawapres babak pertama, penulis tertarik untuk menanggapi dengan serius persoalan seputar HAM di Indonesia.
Salah satu hal yang menarik adalah pelanggaran HAM masa silam yang terjadi pada tahun 1965-1966.
Dalam debat itu, persoalan klasik ini diangkat kembali sebagai salah satu misi kubu petahana Jokowi-Ma’ruf jika terpilih lagi dalam periode pemerintahan berikutnya.
Kehadiran misi ini dalam rancangan program kerja pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, tentunya mengharuskan publik untuk sejenak menoleh ke belakang, untuk mengamati dan mengevaluasi kinerja Jokowi-Kalla dalam mengatasi persoalan HAM di Indonesia.
Oleh karena itu, satu pertanyaan penting yang muncul ke permukaan adalah: Apakah Jokowi sungguh-sungguh menanggapi dengan serius persoalan-persoalan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia?
Realitas Penegakan HAM Masa Jokowi-Kalla
Secara empiris, ada begitu banyak persoalan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dari tahun ke tahun. Persoalan-persoalan tersebut dapat diurutkan mulai dari tindakan pelanggaran HAM yang terjadi antara sesama rakyat kecil, antara aparat negara dan rakyat kecil, sampai pada tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh suatu kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas.
Persoalan-persoalan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia (khususnya masa pemerintahan Jokowi-Kalla) ini diambil penulis dari laporan Human Rights Watch, sebuah organisasi nirlaba (non-pemerintah) yang berbasis di Amerika Serikat, yang melakukan penelitian dan pembelaan dalam masalah-masalah pelanggaran hak asasi manusia.
Berdasarkan laporan tahunan hasil penelitian Human Rights Watch sepanjang 2018 yang dikeluarkan pada Januari 2019, terdapat beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dan bahkan belum diselesaikan atau dipertanggungjawabkan dengan baik oleh pihak pemerintah atau aparat penegak hukum yang ada (world report 2019: Indonesia, Human Rights Watch).
Pertama, penindasan terhadap kelompok-kelompok minoritas agama dan gender yang menunjukkan perilaku intoleran dalam beragama. Pihak berwenang terus-menerus menangkapi, mengadili, serta memenjarakan orang dengan dasar Pasal Penistaan Agama.
Selain itu, sejumlah pengadilan Indonesia memvonis enam orang dengan hukuman penjara selama satu hingga lima tahun dengan dasar pasal karet penodaan agama yang terkenal berbahaya. Salah satunya adalah warga Tionghoa Indonesia beragama Buddha di Tanjung Balai, Sumatera Utara, yang dihukum penjara selama 18 bulan karena mengeluhkan bunyi pelantang di Masjid dekat rumahnya.
Hal tragis lainnya, pada 26 Maret, Mahkamah Agung menolak Peninjauan Kembali yang diajukan mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama terhadap putusan “penodaan agama”. Yang terakhir, pada 19 Mei, kelompok-kelompok Islamis militan menyerang serta merusak delapan rumah warga Ahmadiyah di Pulau Lombok, memaksa 24 orang dari tujuh keluarga untuk berlindung di kantor kepolisian Lombok Timur.
Kedua, persoalan tentang kebebasan berpendapat dan berserikat. Pada September 2018, Pemerintah Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh melarang pasangan yang bukan suami istri duduk semeja di restoran.
Larangan itu merupakan bagian dari Perda Syariah yang juga melarang restoran dan sejenisnya untuk melayani pelanggan perempuan di atas pukul 9 malam atau memperkerjakan orang-orang LGBT sebagai pelayan.
Ketiga, persoalan tentang hak-hak perempuan dan anak perempuan. Kepolisian Nasional dan Tentara Nasional Indonesia melanjutkan pemberlakuan “tes keperawanan” yang semena-mena, tak ilmiah, dan diskriminatif terhadap para pelamar perempuan, mengabaikan tekanan publik yang berlimpah untuk menghentikan praktik tersebut.
Selain itu, pada bulan April, Jokowi mengumumkan bahwa ia sedang merancang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang akan melarang perkawinan anak.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengizinkan remaja perempuan berumur 16 tahun dan laki-laki berumur 19 tahun menikah dengan izin orang tua. Sekitar 14% anak perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 15 tahun. Rencana Jokowi tersebut dilontarkan tanpa keterangan yang jelas waktu penerapannya.
Keempat, Papua dan Papua Barat. Wabah campak di Kabupaten Asmat diperkirakan membunuh 100 anak Papua pada bulan Januari 2018, menggarisbawahi pengabaian kebutuhan kesehatan dasar masyarakat pribumi Papua oleh pemerintah Indonesia.
Selain itu, pasukan-pasukan keamanan diperkirakan bertanggungjawab atas 95 kematian dalam 69 insiden dalam rentang 2010-2018, yang mana 39 di antaranya berkaitan dengan aktivitas-aktivitas politik damai seperti demonstrasi atau pengibaran bendera Papua Merdeka.
Tak seorang pun aparat diputuskan bersalah atas kematian-kematian itu dalam pengadilan sipil dan hanya sejumlah kecil kasus berakhir dengan hukuman-hukuman disipliner atau pengadilan militer.
Kelima, persoalan tentang orientasi seksual dan identitas gender. Pada Januari 2018, polisi dan polisi syariah di Aceh menahan 12 perempuan transgender dan menelanjangi mereka.
Keenam, persoalan seputar pemerintahan Jokowi yang juga terang-terangan putar haluan dari komitmennya untuk menyediakan akuntabilitas perihal pembunuhan massal 1965-1966.
Ketujuh, persoalan-persoalan seputar hak-hak anak (pekerjaan berbahaya bagi anak-anak berusia di bawah 18 tahun), hak-hak disabilitas (pemasungan orang-orang dengan diabilitas psikososial yang mendapat kekerasan fisik dan seksual, penanganan tanpa persetujuan, pengekangan dan pengucilan paksa), dan pembunuhan-pembunuhan di luar hukum oleh aparat kepolisian. Tindakan-tindakan pembunuhan tersebut hingga saat ini belum dipertanggungjawabkan dengan baik oleh aparat kepolisian.
Rekonsiliasi ’65, Mungkinkah?
Setelah melihat dan mengetahui fakta-fakta pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia sepanjang 2018 atau lebih tepatnya pada masa pemerintahan Jokowi, pertanyaan lanjutan yang keluar dari benak penulis adalah: apakah rekonsiliasi ’65 itu mungkin?
Berdasarkan fakta-fakta yang tertera di atas, penulis berpikir bahwa selama masa pemerintahannya, Jokowi kurang serius menanggapi dan mengatasi persoalan-persoalan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.
Persoalan-persoalan pelanggaran HAM yang terjadi dibiarkan begitu saja tanpa adanya sikap peduli dan tegas dalam menangani setiap kasus yang terjadi.
Pemerintah terkesan acuh tak acuh terhadap persoalan-persoalan yang ada dan malah hanya memberikan dukungan-dukungan retoris semata yang tidak memberi pengaruh yang besar.
Dukungan-dukungan retoris ini secara nyata disampaikan Jokowi dalam Pidato Kenegaraan pada 16 Agustus 2018, yang meminta rakyat Indonesia mempraktikkan toleransi beragama.
Presiden Jokowi dinilai gagal dalam menerjemahkan dukungan retoris terhadap HAM itu menjadi kebijakan-kebijakan signifikan selama periode pertama jabatannya (lih. HRW world report 2019).
Kinerja Jokowi-JK ini dinilai semakin gagal ketika upaya penyelesaian persoalan pelanggaran berat HAM masa lalu (1965-1966) yang terus didengungkan tidak terealisasi sama sekali.
Memang, patut diakui bahwa ada begitu banyak prestasi dan perubahan positf-konstruktif yang telah dicapai oleh Jokowi semasa pemerintahannya.
Segala prestasi dan perubahan positif-konstruktif yang dicapai itu telah membawa dan mengangkat nama Indonesia di tingkat dunia internasional.
Namun, apalah artinya perkembangan ekonomi yang semakin baik, perubahan dan kemajuan infrastruktur yang memadai, perombakan sistem yang cacat dan yang bertendensi destruktif, serta segala capaian lainnya, apabila perlindungan dan penegakan terhadap hak-hak asasi manusia tidak menjadi bagian dari fokus utama perhatian pemerintah.
Padahal hak asasi manusia merupakan konsep etis yang mesti menjadi tujuan segala kebijakan dan keputusan pemerintah. Hak-hak asasi manusia pada tempat pertama bukan merupakan hak yang dimiliki seseorang dalam hubungan dengan sesama warga, tapi lebih dalam hubungan dengan institusi politik seperti negara. Hak-hak asasi manusia mengatur secara normatif tindakan negara terhadap warganya (Otto Gusti: 2014, 119).
Oleh karena itu, segala tindakan pelanggaran HAM yang ada, apalagi yang disebabkan oleh negara (baik sistem maupun undang-undangnya) merupakan sesuatu yang tidak menggambarkan hakikat dan tujuan keberadaan negara yang sesungguhnya.
Nihilnya tanggapan Jokowi terhadap persoalan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dan ketidakpeduliannya terhadap persoalan pelanggaran berat HAM masa lalu, membuat penulis berkesimpulan bahwa Jokowi sesungguhnya tidak memiliki ketertarikan terhadap masalah HAM yang terjadi di Indonesia.
Persoalan-persoalan pelanggaran HAM dibiarkan berserakan begitu saja, sambil terus memakan korban yang banyak. Upaya rekonsiliasi pembantaian massal 1965-1966 yang terus didengungkan tidak akan pernah membuahkan hasil.
Pesimisme penulis ini dibangun atas sebuah pertanyaan substansial, bagaimana ia menyelesaikan persoalan pelanggaran berat HAM masa lalu, ketika persoalan-persoalan pelanggaran HAM yang kecil dan berserakan terjadi di tengah-tengah masyarakat dibiarkan begitu saja?
Rekonsiliasi ’65 tak lebih hanyalah sebuah propaganda politik di tangan Jokowi untuk menarik optimisme publik pada periode pemerintahan berikutnya.