*Tedy Ndarung
Wetaku
Sepenuhnya tenda di samping rumah kemarin
telah kupadatsesakan sekotah tentang masa lalu
masa tatkala sederhana yang tak pernah pergi sampai pada puisi ini
Banyak dongeng sebenarnya untuk kuulas
terkhusus ketika Tedy kecil belum bermukim di lembah Sekolah Dasar
jua Wetaku duduk di kelas empat SD
warasku merekam jelas jejak-jejak waktu yang hampir runtuh sampai saat ini
teristimewa kulit kusut ende yang tampak jelas setiap tetes keringatnya
menyelesaikan dalam diam sebilang perkara hama di kebun kita
Pun takan kulupa
kala kita duduk di atas batu era megalitikum tepat di tengah petak-petak
kudirikan pondok darurat ketika angin dan hujan sekompi memulang debu
menunggu pipit singgah dan langsung lekas
masihkah wetaku ingat
tentang waluh buah letih ende sebagai sayur andalan
ketika pipit terbang jauh dan perut kita kosong?
masihkah ingat juga periuk tanah liat yang tampak udik?
Wetaku…
semenjak masa itu pergi dan weta harus duduk di bangku SMP
Tedy kecil dijarat waktu yang lebih mencintai kaku
Ayah sibuk bekerja, membiayai sekolahmu dan kakak kita
ende terus menyulam waktu di ladang
***
Tibalah saatnya Tedy kecil bermukim
di bukit Sekolah Menengah Pertama
Sejak saat itu
sajak-sajak tentang batu di tengah petak, pondok darurat,
burung pipit, waluh, periuk udik
tidak dijejaki lagi
bagaimana kabar mereka kini?
kita sudah sembunyi jutaan mil dari mereka karena kita muda-tua di tungku buku
kuharap mereka bersisa utuh dalam ingatan walau jasad sudah tinggal debu
wetaku
Sepenuhnya tenda di samping rumah kemarin
telah kupadatsesakan sekotah tentang masa lalu
bukan gegap gempitanya pesta pernikahanmu
Banyak dongeng sebenarnya untuk kuulas (…)
Maumere, 17 November 2016
Catatan:
Ende itu bahasa manggarai yang artinya Ibu
‘Weta’ juga yang artinya saudari
2016
Tatapan di Tenda Bisu
Bening matamu kau sodorkan
tepat di ranting kering ujung lirikmu terbaring
Mataku juga tiada segan mencekam
pada lekuk bibirmu
lidah mataku menanam asmara
Matamu dan mataku beradu fisik
segenap merebah di atas kayu yang hampir lapuk
Menguji mata
hati siapa cepat menyerah
sampai jantung berkecambah cinta
sekejap lirik
embun melepuh
di ujung daun
memulang salju
yang lama di lekuk alis
Maumere, 19-11-2016
Desember dan Kampungku
1
Judulnya Desember dan kampungku
itu sepasang cemburu yang menarik rinduku segera ke sana
menikmati jalinan kasih yang mengalir di antara keduanya
menatap bersama mentari yang baru beringsut
bersama riak cahayanya yang semakin kerucut di celah-celah gunung yang mengepung kampung kita
menikam hati manusia yang semakin mahir menghitung detik
berharap tangan sang Ilahi ikut mengejanya agar bintang penuntun orang majus dari timur itu (Gaspar, Melkior dan Baltasar) segera tiba di atas langit kampung yang tak sedekah mencintai kabut yang tebal
25 Desember juga lebih tak sabar menyapa fajar yang sunyinya menyimpan khusyuk di hati
2
Judulnya Desember dan kampungku
itu adalah sepasang cemburu yang menarik rinduku segera ke sana
menikmati sengatnya mentari di antara hujan-hujan yang tak lama menjadi reda
menyisakan asap yang menyembul setinggi rumah tua adat
kata-kata Desember dan kampung menjengkal jarak dengan rinduku, ternyata jauh
namun bau tanah sehabis hujan dan ceritanya kepada debu yang belum usai
semakin tajam membangunkan makhluk mati sampai kidung kehidupan membentang diri di atas cakrawala
3
Debu-debu di tepi jalan yang lama tak disapa “Saudara” menjadi milik puisi
dan puisi ini bukan milikku tetapi diriku seutuhnya
jadi Desember dan kampung yang jauh dalam rindu
sangat dekat dalam pelukan puisi dan semakin rapat lagi menjadi satu dalam diriku
semuanya tiada jarak yang menganga dalam dada
itu semua hanya kata-kata yang larut dalam imajinasi rindu
4
Baca lagi judulnya
Desember dan kampungku
mengisahkan suka dalam penantian yang hening
menunggu keselamtan dalam kesederhanaan
menanti bayi mungil yang dilampin apik oleh sulur-sulur kemuliaan
5
Ada baiknya di tengah kampung ini kita dirikan tunggku api untuk membakar diri
karena masabodoh kita membuat keyakinan kiamat
mari kita membakar kemarin dan dulu kita yang sakit
agar dingin di luar mengalir pelan dan larut habis dalam darah kita yang mendidih
hingga hilang dan kosong menjadi ruang yang amat luas
bagi ‘Immanuel’ untuk menyulutkan pelita di lorong-lorong kehidupan yang panjang
6
Mari kita mengenangkan mentari yang lama bercermin di atas kampung kita tahun ini
mari kita memahatnya agar sinarnya kekal menjadi monument bersejarah dalam umur cahaya
dan menyapanya bersama suka cita kita dalam tahun yang baru
7
Desember sudah pergi dan kampungku tetap di sini bersama Januari
saatnya menyuruh Rino kecil pergi ke ladang menghapus hama dengan lagu lamanya di petak sawah
bersama tapak-tapak kaki yang meruntuhkan pematang kita, hapus semua!!!
mari kita mendirikan diri yang baru
bernyanyi lagu-lagu yang baru dari surga agar semua benih dan batu-batu mekar di tengah sawah kita
mari kita menciptakan pematang baru yang kokoh agar langkah kita bersama waktu tetap kompak dan tak roboh
(Maumere, 2016)
Foto Feature: Illustrasi (Fot0:dzargon.com)
Tedy Ndarung, lahir pada tanggal 27 september 1996, di Lambur – Manggarai barat. “Puisi adalah salah satu cara menyulutkan waktu yang sudah hilang”