Kupang, Vox NTT- Tim Advokasi Lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup (WAHLI) NTT dan JPIC OFM Indonesia melaporkan pengaduan pengrusakan mangrove oleh PT. IDK di Kabupaten Malaka.
Adapun pengrusakan itu yakni di Desa Weoe dan Desa Weseben, Kecamatan Wewiku, seluas ± 200 hektar (ha), Desa Motaain kecamatan Malaka Barat seluas 10 ha, dan Desa Rebasa Wemian, Kecamatan Malaka Barat seluas 32 ha.
Pengaduan ini dilaporkan pada Rabu (27/03/ 2019) kemarin di bagian pengaduan lantai 2 Markas Polda NTT.
Dalam laporan itu tim advokasi lingkungan didampingi berbagai lembaga yang peduli terhadap kasus pengrusakan mangrove di Kabupaten Malaka, seperti IRGSC (Institute Resource of Governance and Social Change), JRUK Kupang (Jaringan Relawan untuk Kemanusiaan- Kupang).
Malalui surat Nomor: 01/TAL-NTT/III/2019, Tim Advokasi Lingkungan melaporkan PT. IDK dengan dugaan melanggar beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yakni, Tindak pidana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil UU No 27 tahun 2007 sebagaimana diatur dalam pasal 35 huruf (e) dan (g) dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dengan ketentuan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 73 ayat (1).
Dugaan tindak pidana kehutanan sebagaimana diatur dalam pasal 50 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Dugaan tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungandan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam Press release yang diterima VoxNtt.com, Kamis (28/03/2019) siang, Direktur JPIC OFM Indonesia, P. Alsis Goa OFM menegaskan, setiap proses pembangunan yang dilakukan hendaknya berorientasi pada kesejahteraan masyarakat dan tidak mengabaikan kondisi ekologis, budaya dan social masyarakat serta tata aturan perundangan yang ada.
“Namun demikian apa yang saat ini terjadi di Malaka, yakni aktivitas industry garam PT. IDK kuat diduga mengabaikan semua hal tersebut. Tanpa mengantongi AMDAL PT. IDK telah melaksanakan aktivitas industry garam berupa penebangan dan pembabatan hutan mangrove. Tindakan ini terindikasi dugaan tindakan pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain terindikasi kejahatan lingkungan hidup, pembabatan hutan mangrove juga telah menghancurkan dimensi social ekologis dan ruang kehidupan masyarakat adat (secara khusus masyarakat adat Wewiku),” katanya.
Ia mengatakan, masyarakat adat Wewiku, mangrove bukan hanya tempat perlindungan dan perkembangbiakkan biota laut, tetapi menjadi batas kehidupan dunia darat dan laut.
Baca: PT IDK Disebut Sebagai Pembawa Malapetaka bagi Malaka
Sementara itu, Direktur WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi mengatakan, PT. IDK bertanggung jawab atas kerusakan mangrove di Malaka serta wajib melakukan pemulihan lingkungan pada wilayah-wilayah yang telah dirusaki.
PT.IDK kata dia, dinilai telah mengabaikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
“Pembangunan berkelanjutan pada hakekatnya merupakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masa kini, tanpa mengorbankan pemenuhan hak generasi yang akan datang, ” Ujarnya.
Pembangunan berkelanjutan lanjut dia, adalah pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, efisien dan memperhatikan keberlangsungan pemanfaatannya baik untuk generasi masa kini, maupun yang akan datang.
“Oleh karena itu, pemerintah provinsi harus secara tegas menegakan peraturan perundangan yang berlaku,” pungkasnya.
Umbu menegaskan, pemerintah provinsi wajib secara tegas menindak PT.IDK yang telah melakukan pengrusakan ekosistem mangrove tanpa mengantongi AMDAL sebagai salah satu dokumen yang sifatnya vital.
“Dokumen AMDAL merupakan izin yang harus dimiliki oleh semua Perusahaan khususnya bagi perusahaan yang proses produksinya bersinggungan langsung dan mempengaruhi kelestarian lingkungan,” tegasnya.
Ia menjelaskan, dalam pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32/2009) dinyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal wajib memiliki izin lingkungan.
“Selanjutnya ditentukan bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib menolak setiap permohonan Izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan Amdal (pasal 37 ayat (2) UU No. 32/2009),” jelasnya.
Lebih lanjut Umbu, dengan tanpa adanya izin lingkungan terancam dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (pasal 108 UU No. 32/2009).
“Kesimpulannya, tanpa adanya AMDAL tidak mungkin dapat memiliki izin lingkungan sehingga terancam dengan pidana sebagaimana diatur di dalam UU No. 32/2009,” Katanya.
Perwakilan Aliansi Peduli Kerusakan Mangrove Malaka, Ardy milik dari IRGSC juga mempertanyakan, apakah dengan tujuan kesejahteraan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja bagi masyarakat Malaka, maka PT. Indra Daya Kencana mendapat legitimasi untuk merusak lingkungan hidup dalam wilayah industri garam yang direncanakan seluas 4.509,74 ha.
“Jelas Tidak! Faktanya, dalam realisasi industri garam di Malaka, PT. IDK telah merusak lingkungan hidup-memutus mata rantai ekosistem di sekitar pantai hingga berdampak pada anomali cuaca dalam beberapa tahun terakhir, keberadaan masyarakat pesisir yang terpinggirkan karena wilayah penghasilan hidupnya tergusur dan konflik horizontal dalam masyarakat Malaka sendiri akibat pro dan kontra keberadaan tambak garam yang mencakup tanah ulayat,” tegas Ardy.
Ia mengatakan, kesejahteraan ekonomi sebagai dalil ke depannya hanya akan dinikmati oleh sebagian kecil mereka yang memiliki modal dan menempel pada kekuasaan, sementara para jelata akan terus meringis berhadapan dengan harga barang yang terus mencekik sampai miris melihat tanahnya telah dikuasai.
“Lapangan kerja bagi masyarakat lokal, dalam sejarah industri hanya akan berperan sebagai pekerja kasar. Apakah ini tujuan kesejahteraan bersama? Membangun dengan merusak ekosistem menunjukan ketidakberpihakkan industri garam terhadap keberadaan warga sekitar sebagai garda terdepan yang akan terkena dampak dari kerusakan lingkungan; abrasi, banjir hingga kesulitan air berisih di musim kemarau adalah bencana yang segera menimpa warga terdampak pengrusakan lingkungan di Kabupaten Malaka,” tegasnya.
Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Kabupaten Malaka kata dia, wajib mengantisipasi dampak kerusakan lingkungan melalui industri garam di Malaka.
Membangun investasi modal di daerah tanpa memperhatikan konsekuensi lanjutan bagi warganya sendiri, sama dengan menyusahkan warganya sendiri ke dalam bencana berkepanjangan.
Kesejahteraan ekonomi sebagai dalil indrustrialisasi pada kenyataannya, tidak mampu menyentuh lapisan masyarakat yang terpinggirkan.
“Sebab, logika kapitalisasi dalam pelaksanaannya tidak. Harga garam yang naik turun akibat politik impor, berimbas pada murahnya harga garam petani lokal, sementara,” tutup Milik.
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Boni Jehadin