*) Cerpen Wildus Tuname
“Seorang yang bijaksana hendaknya masuk ke dalam jalan-jalan yang pernah diambil oleh orang-orang hebat dan meneladani orang-orang yang paling hebat” kata saya kepada Abe dengan mengutip ungkapan Machiavelli seorang pemikir politik abad modern.
Abe adalah saudara sepupu saya. Bertubuh kekar, hitam manis dan berwatak bijak. Ia baru kembali dari perantauan setelah enam tahun mencari pundi-pundi kekayaan di pedalaman pulau Kalimantan. Perjumpaan kami sore itu adalah pelepasan rindu yang selalu menunggangi setiap langkah kami.
“Membayangkan saya seperti kamu itu santapan saya setiap hari. Menjadi seperti kamu adalah usaha saya setiap hari” batin saya di sore itu ketika bersama Abe berada di pusara kakek Elias Fuka.
Langit tampak menguning. Hembusan angin laut menyapu tubuh. Terasa segar menusuk sumsum, memasuki sukma. Para petani lalu-lalang menelusuri jalan berbatuan. Hal ini menjadi pemandangan kami sore ini.
Alun-alun kaki mereka membentuk harmoni yang indah tepat di gendang telinga. Film kehidupan kampung ini sungguh merebut perhatian kami. Sampai-sampai kami lupa apa yang harus kami bicarakan.
Abe sekali lagi menghisap rokok yang ada di celah jemarinya. Tiada satu kata pun dia utarakan. Entah apa yang mengganjal dalam hati dan pikirannya, sehingga tak mampu ia bahasakan. Hanya ekspresi memukul dada, dahi dan mengacak-acak rambutnya.
Saya mengamatinya sungguh. Mencoba menjejaki kandungan isi hati dan pikirannya. Sebab kata orang “ekspresi selalu membahasakan sesuatu tanpa harus diucapkan.”
“Hidup adalah perjuangan. Perjuangan untuk dianggap ada. Ukuran keberadaan manusia saat ini dilihat dari seberapa banyak dia memiliki, dia berbuat dan dia berpikir. Di kampung kita ‘yang berada’ ialah mereka yang punya banyak kebun. Memiliki banyak ternak. Rajin bekerja. Dan mendiami rumah tembok beratap genteng atau seng. Itukan yang dilihat orang di sini?” kata Abe penuh ekspresif.
“Kakek jalan hidup ini terasa sempit, pikiran terhimpit. Berjalanlah bersama kami, ringankanlah langkah dan perbuatan kami agar perjuangan kami tidak sia-sia” lanjut Abe sembari melihat foto kakek Elias Fuka yang dipajang pada pusaranya.
Elias Fuka adalah tokoh tersohor di kampung ini. Baru setahun dipanggil kembali oleh Tuhan. Beliau pernah menjadi kepala desa di kampung ini. Semasa kepemimpinannya wajah kampung ini mulai diterima oleh kampung tetangga, di kecamatan dan kabupaten.
Bahkan kampung ini pernah mengikuti lomba tata desa se-Propinsi NTT. Walau hanya sebagai runer up perlombaan itu. Beliau adalah orang pintar, cerdas lagi bijak. Memiliki pengetahuan yang kuat akan sejarah kampung dalam relasi dengan kampung-kampung lain.
Maklum beliau lahir pada masa penjajahan. Lahir dari keluarga mapan tak membuatnya santai-santai dengan hidupnya. Beliau adalah seorang pekerja keras. Prinsip hidup beliau adalah meop on ate tah on usif. Beliau dinobatkan sebagai tokoh adat kampung ini oleh masyarakat. Beliau piawai berbahasa adat.
Setiap kali kunjungan pemerintah dan hajatan serta ritual adat di kampung ini beliau yang membawakan takanab. Kini pusaranya ramai dikunjungi oleh putri-putra kampung ini yang hendak melanjutkan studi atau pergi bekerja di daerah lain. Beliau diyakini masyarakat menjadi pendoa yang baik bagi putri-putra Banain.
Cakrawala mulai gelap. Samar-samar cahaya bintang menerangi langkah para petani yang baru pulang dari ladang. Di pundak para lelaki ada seikat kayu bakar. Digantungkan aluk pada bahu mereka. Di kepala para wanita diletakan bo’o berisikan singkong. Di bahu mereka digantungkan kola berisikan perlengkapan makan.
Di atas bahu anak-anak diletakan sebatang kayu kering dengan parang tanpa sarung di tangan mereka. Tak seorang pun berjalan tanpa barang bawaan. Musikalisasi kehidupan kampung ini di sore itu sungguh melenakan.
“Dulu saya juga turut serta kakek ke kebun. Setiap kali kembali ke rumah pasti tak berjalan kosong,” Abe mulai memecah kesunyian kami.
Saya ingat waktu musim jagung. Di bawah pondok kami berteduh dari hujan yang tak lekang menyudahi rindunya pada tumbuh-tumbuhan. Kami duduk mengelilingi tungku. Asap mengepul. Api terus memanggangi jagung muda pilihan kami masing-masing. Suasana lingkungan menjadi hangat, begitu pula suasana hati. Saya sungguh merasakan cinta yang mudah diungkap bibir namun sulit dinyatakan tindakan.
“Auoooooo….auoooooo,” pekik seorang teman dari gubuk mereka di kebun yang tak jauh dari kebun kami.
“Auoooooo…..auooooooo” saya menyahut. “malam ini kita tidur di sini ko? Hujan tidak berhenti nih.” sambung saya.
Teman di sebelah tidak menyahut. Mungkin suara saya ditelan derasnya hujan sehingga ia tidak mendengarkannya. Kakek terus memperhatikan jagung-jagung itu. Beliau mengupaskan satu yang sudah matang untuk saya. Saya memperhatikan sungguh. Air liur saya menetes. Beliau mengoles sedikit lu’at pada jagung itu. Saya merasa hidup itu seperti lombok. Ia menyembunyikan kenikmatan di balik pedasnya.
“Tuhan tidak berhenti menangis” kata kakek kepada saya sedikit kesal pada hujan. Dulu saat kami kecil, nenek moyang kamu menceritakan bahwa setiap titik hujan yang jatuh adalah tangisan Tuhan atas kesedihan hati-Nya melihat manusia yang berperilaku buruk.” cerita kakek.
Saya mendengar sungguh. “Hujan tidak berhenti, pasti tadi kamu tidak ikut misa” kata kakek sedikit menuduh.
“Ai..tadi saya ikut misa kakek” saya mengelak. “Tetapi,….. saya hanya bermain di depan gereja bersama teman-teman” lanjut saya sedikit takut.
“Dasar anak-anak zaman sekarang pergi misa hanya untuk bermain” amarah kakek mulai tersulut. Mereka pikir hidup ini hanya untuk bermain dan bermain. Suasana hening. Hujan semakin deras. Letupan kilat dan lengkingan suara kakek mencekam suasana.
Beberapa menit kemudian letupan kilat berhenti. Kini letupan jagung menjadi irama yang mengiringi kesunyian kami. Kakek terus membalikkan jagung-jagung itu. Ia memastikan agar semuanya matang. Yang matang ia angkat, satu demi satu. Sejenak menanti panasnya jagung-jagung itu berkurang ia pun bercerita.
“Sekolah kalian sangat jauh berbeda dengan masa kami dulu. Di kampung Banain kampung kita ini tidak ada sekolah. Terpaksa kami putri-putra Banain harus bersekolah di Tes desa tetangga. Sepuluh kilo meter adalah jarak yang harus kami tempuh. Kendaraan satu-satunya adalah kaki yang dianugerahkan Tuhan.” kisahnya.
“Dulu semua serba lisan. Guru mengajar, kami mendengarkan dan menulis. Kami menulis di batu. Ketika tulisan penuh langsung dihapus. Tetapi setiap kali ujian nilai kami tetap baik. Daya ingat kami kuat. Itulah kami. Saya selalu juara satu dalam angkatan kami” cerita kakek berapi-api.
“Masa kini, buku tulis dan buku pelajaran kehadirannya sangat menggembirakan. Laptop, komputer dan telepon seluler tercipta dengan kemasan yang menggemaskan serentak mencemaskan. Orang-orang masa kini menamakan diri generasi mileneal yang lahir di era digital. Sungguh suatu perubahan luar biasa yang menyenangkan serentak menina bobokan umat manusia. Kemalasan berkecambah. Mental instan mengakar kuat. Orang bodoh bertumbuh subur. Pengganguran bercabang lebat. Pencurian dan perampokan bermekaran. Moral tergerus, persaudaraan terhapus. Yang beradab jadi biadab.” Saya memandang kakek penuh kecemasan. Beliau bercerita seperti sedang memerankan sebuah pentas monolog.
“Itulah kali terakhir saya bersama kakek. Hidup kakek itu seperti jagung. Tulang jagung diselimuti oleh biji-bijinya. Keramahan, kesederhanaan, kebijaksanaan dan kepandaiannya menyembunyikan setiap perjuangan kerasnya di waktu dulu.” cerita Abe.
“Membayangkan aku seperti kamu adalah santapan saya setiap hari. Ingin menjadi seperti kamu adalah detak yang berletup di jantung ini.” kata saya sekali lagi sembari memfokuskan pandangan pada pusara kakek Elias Fuka. Terima kasih dulu ada kamu.
Hari mulai malam dengan tekad yang semakin dalam. Gelap semakin pekat bersama usaha yang makin bulat. Ada harapan yang terburai dari hati agar di cerita senja ada semoga yang diaminkan malam dan di cerita senja ada semoga yang dinyatakan siang.
*Penulis adalah anggota komunitas Arung Sastra Ledalero (ASAL).
Catatan Penulis: Kata-kata yang bercetak miring dalam tulisan ini adalah kata-kata dalam bahasa Dawan. Kata-kata di atas memiliki arti sebagai berikut. Meop on ate tah on usif (sebuah ungkapan bijak dalam masyarakat dawan yang memilki arti kerja seperti hamba makan seperti raja). Takanab (tutur adat), aluk (tas sirih pinang bagi para lelaki), bo’o (bakul), kola (tas perempuan yang terbuat dari daun lontar), Lu’at (sambal).