Oleh: Hendrikus Arianto Ola Peduli*
Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih
Suci lahir dan di dalam batinSingkirkan debu yang masih melekat
Kita mesti banyak berbenah
(Ebiet G Ade)
Larantuka, sebuah kota kecil yang terletak kaki gunung Ile Mandiri diusulkan oleh kepala bidang Destinas Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Propinsi NTT menjadi “Kota Suci” bagi umat katolik di Indonesia.
Usulan yang amat suci tersebut diperkuat dengan tiga alasan yakni, pertama, Larantuka merupakan kota yang menjadi bagian dari sejarah masuknya agama Katolik di Indonesia.
Kedua, Larantuka merupakan kerajaan Katolik pertama di Indonesia.
Ketiga, tradisi keagamaan yakni pelaksanaan ritus prosesi Jumad Agung yang merupakan warisan Portugis yang sudah berlansung lebih dari 500 tahun.
Sebagai umat Katolik Larantuka, saya, Anda, dan siapapun tentu sangat bangga mendengar kabar gembira tersebut. Itu artinya, kota Larantuka akan menjadi tempat yang teramat sangat “suci” untuk kita, agama katolik, dan perziara yang ingin menyampaikan harapan dan doa kepada Yang Maha Kuasa.
Bukan hanya itu, mengusulkan kota Larantuka menjadi kota suci, berarti nama dan terlebih lagi budaya kota Larantuka akan terbawa semakin jauh ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia bahkan seluruh dunia.
Namun, sebagai umat Katolik Larantuka, apakah kita sudah siap untuk mendukung penuh usulan suci itu? Secara spontan kita bisa menjawab “ya” namun jika melihat lebih dalam (duc in altum), apakan kita sudah siap mendukung usulan yang teramat agung dan suci tersebut?
Kesiapan yang saya maksud di sini bukan kesiapan bangunan yang megah, jalan raya dan sarana prasarana kota yang baik untuk mendukung usulan suci ini. Tetapi lebih dari itu yakni kesiapan hati dan perilaku kita terhadap sesama dan lingkungan.
Menurut saya, untuk mendukung usulan suci tersebut, kita sebagai umat perlu berbenah, kita harus siap secara lahir dan batin untuk mendukung usulan ini.
Kita perlu melihat kembali dan merenungkan peristiwa – peritiwa muram yang pernah terjadi di kota kita. Sebagai contoh: Kehadiran LKF Mitra Tiara dengan nasabah belasan ribu dengan simpanan 1,7 triliun rupiah dan bunga 10% perbulan, menggiurkan masyarakat “kota suci”.
Kasus ini sungguh menyedihkan ketika diingat kembali karena di kota ini, orang begitu mudah terpesona dengan penipuan untuk menjadi kaya tanpa kerja.
Kasus menyedihkan lainnya, yakni, pembuangan bayi di Gedung Sumber Rejeki, kelurahan Lohayong, pada Jumat (6/4/2012) yang menggegerkan warga Kota Larantuka yang pada malam itu hening menjalani prosesi Semana Santa. Tentu masih banyak lagi kasus lain yang mencoreng kesucian kota Larantuka.
Melihat peristiwa di atas, tentu kita merasa sedih karena peritiswa tersebut terjadi di kota dengan latar belakang religius yang amat kuat.
Oleh karena itu, dengan niat yang tulus, saya mengajak kita untuk berbenah dan mendukung penuh usulan “suci” tersebut. Pada kesempatan ini saya menyampaikan empat yang menurut saya perlu.
Pertama, mengusulkan kota Larantuka menjadi “Kota Suci” berarti, saya, Anda dan kita harus siap perang. Perang yang saya maksud disini adalah perang melawan diri sendiri dari ketamakan. Berjuang secara all out untuk melawan segala hedonisme, individualisme dan pragmatsme demi nama “suci” kota kita, kota Larantuka.
Saya katakan demikian, karena ketika Larantuka menjadi “Kota Suci”, maka umat pribumi harus siap berjuang melahirkan situasi lingkungan yang sehat dan suci. Kita harus berani telanjang dan benar-benar bersih.
Tidak ada kasus pemerkosaan, tidak ada korupsi, penipuan, prostitusi dan kasus lainnya yang dapat merusak citra kota Larantuka dan martabat kemanusiaan.
Gereja juga hendaknya melahirkan para pastor, suster, dan bruder yang berkompeten, rendah hati dan bijaksana. Para pastor, suster dan bruder harus terlibat langsung di tengah umat untuk mengetahui situasi umat yang lebih dalam.
Dengan ini, saya yakin umat akan lebih siap dalam mendukung usulan suci ini.
Kedua, menjadikan peristiwa muram yang pernah terjadi di Larantuka sebagai renungan untuk berbenah. Kasus Mitra Tiara dan pembuangan bayi dan, mungkin kasus menyedihkan lain yang kita ketahui, perlu kita renungkan dan kemudian dibenah. Seperti kata Ebiet G Ade dalam lirik lagunya, “Singkirkan debu yang masih melekat, kita mesti banyak berbenah”.
Kita harus menyingkirkan debu – debu dosa yang masih tersisa di kota kita untuk berbenah. Kita semua, umat Larantuka dengan cinta berkobar bergandeng tangan dan saling menyadari satu sama lain demi tujuan suci ini.
Ketiga, “kota suci” biasanya identik dengan hal – hal religius tetapi juga identik dengan lingkungannya yang bersih. Artinya, Tidak ada sampah yang berserakan di sudut –sudut “kota suci”, tidak ada limbah pabrik yang mencemari lingkungan “kota suci”.
Sebagai contoh, Vatikan, “kota suci” umat katolik pertama di dunia, sangat menjaga kebersihan lingkungan. Vatikan berpandangan bahwa lingkungan merupakan suatu hal yang berharga dan mencerminkan keagungan Allah.
Oleh karena itu, umat “kota suci” tersebut sangat menghargai dan mencintai lingkungan. “Semua ciptaan adalah suatu hal yang berharga dan mencerminkan keagungan Allah”. (Mazmur 104)
Kita juga harus menunjukan kepada dunia bahwa kota Larantuka bisa menjadi kota suci bebas sampah. Bersih. Kita tidak harus mempuyai bangunan Gereja yang megah dan jalan yang bagus. Yang kita perlukan hanyalah kebersihan lingkung demi kenyamanan setiap orang (para turis manca negara maupu turis lokal) yang berkunjung ke “Kota Suci” kita.
Kempat, Pemerintah dan Gereja hendaknya menjalin hubungan kerja sama yang baik demi tercapainya tujuan yang mulia tersebut.
Semua tujuan di atas tidak akan tercapai tanpa adanya kerja sama yang baik dari semua pihak yang ada di kota Larantuka. Seperti ada pepatah tua mengatakan, “Suatu tujuan tidak akan tercapai tanpa adanya kerja sama yang baik”.
Pemerintah dan kaum hierarki hendaknya sama – sama berperan dalam membangun mentalitas umat yang sehat, memberi motivasi yang tepat serta mengena kepada umat, membina sikap atau etika umat ke arah yang lebih baik agar tujuan suci dapat tercapai dengan baik.
Menjadikan kota Larantuka menjadi “kota suci” adalah sebuah tujuan yang amat mulia tetapi juga bukan satu hal yang mudah jika semua aspek penunjangnya belum ditata dan dibenah dengan baik.
*Penulis adalah alumnus Seminari San Dominggo Hokeng, Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Nusa Cendana