Labuan Bajo, Vox NTT- Pelaku pariwisata di Labuan Bajo, Matheus Siagian meminta pemerintah untuk mengambil langkah tegas dan mengatur semua bisnis air yang ada di Manggarai Barat, Provinsi NTT.
Kata dia, air dan hal-hal vital lainnya seharusnya dikuasai dan diatur oleh Negara sesuai Undang-undang Dasar.
“Selain pembangunan infrastruktur jalan, pemerintah harus mengambil langkah-langkah tepat guna mencukupi kebutuhan air di Manggarai Barat,” kata Matheus dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Senin (26/08/2019) malam.
“Sumber air banyak, air terjun ada di mana-mana, tinggal dibuatkan jalur irigasi yang tepat, seperti bendungan lalu juga sistem pemipaan yang berkualitas dan mesin yang memadai,” kata dia, menyikapi persoalan air di Labuan Bajo.
Pemilik Restoran Tree Top Labuan Bajo itu pun optimistis, masyarakat Mabar memiliki pemerintah yang baik dan tidak korupsi. Sebab itu, masalah air di Mabar pasti ada jalan keluarnya. Intinya, semua hati dan pikiran dikonsentrasikan ke tujuan yang sama yakni distribusi air harus diatur lebih baik lagi.
Dia menambahkan, pemerintah harus mengambil langkah sebagai regulator untuk mengeluarkan aturan-aturan darurat yang strategis guna menyelamatkan rakyatnya dari krisis air.
Salah satu contoh aturan darurat yang pemerintah bisa keluarkan, sebut Matheus, adalah dengan melarang pembangunan kolam renang. Atau, kalau ingin memakai kolam renang, harus menggunakan air asin.
“Tempat-tempat pariwisata lain di dunia melakukan hal ini. Beberapa kawasan menggunakan kolam renang air asin sebagai tanggapan eco-friendly,” tandasnya.
Matheus mengingatkan, turis datang ke Labuan Bajo bukan untuk berenang di kolam renang. Turis datang ke Labuan Bajo untuk berenang di laut dan air terjun.
“Coba lihat sendiri pebandingan turis yang menginap dengan penggunaan kolam renang di hotel-hotel besar yang sudah ada, seperti di Plataran, Luwansa, atau Jayakarta. Hal ini juga dapat dijadikan catatan bagi pemerintah, bahwa perhitungan kualitas hotel tidak hanya meluluh berdasarkan jumlah bintang, yang mengharuskan suatu hotel memiliki fasilitas kolam renang. Pariwisata harusnya tumbuh memberi manfaat buat masyarakat, bukan memberi masalah,” tegasnya.
Dikatakan, untuk hotel-hotel yang berada di peri-peri kawasan konservasi seperti Labuan Bajo, bijak jika perhitungan kualitas hotel diukur dengan alat ukur lain.
Itu seperti Green Award atau tingkat keramahan lingkungannya. Kata dia, di Negara-negara maju seperti Singapura dan Australia sudah tidak lagi mengedepankan jumlah bintang pada hotelnya sebagai alat marketing, melainkan prinsip keramahan mereka pada lingkungan.
“Jika masalahnya pada turis, saya yakin bilamana turis dijelaskan dengan baik, mereka akan paham. turis-turis datang ke sini bukan untuk berenang di atas penderitaan banyak orang. Tentunya aturan pelarangan kolam renang ini sementara saja, hingga masalah air teratasi. Hal ini juga perlu disanding dengan memberi penyuluhan ke tempat-tempat usaha terkait kiat-kiat agar hemat air; seperti cuci piring pakai air laut, dan lain-lain,” ungkap Matheus.
“Untuk toilet pergunakan air laut. Air laut bisa dipakai buat banyak hal selain mandi , makan dan minum,” sambung dia.
Masalah Air Berbicara Kompromi dan Maklum
Menurut Matheus, masalah air di Labuan Bajo artinya berbicara soal kompromi dan rasa maklum.
Sebagai masyarakat Labuan Bajo, sejak muda Matheus sudah mengetahui tentang masalah air bersih di kota ujung barat Pulau Flores itu.
“Sejak saya ingat, saya selalu membeli air. Saya juga ingat kesulitan mendapatkan air bersih saat kekeringan hebat beberapa tahun lalu di tanah saya ini,” kata dia.
Sepuluh tahun lalu, sebut dia, saat hotel-hotel dan kapal-kapal pariwisata masih bisa dihitung dengan jari, air bersih merupakan sesuatu yang perlu didapatkan dengan usaha.
“Dulu seingat saya ada satu titik di gang perikanan yang walau musim kering di sana ada air terus, di sana orang akan antre membawa jeriken mereka. Kota pelabuhan yang dulu kecil ini tumbuh dengan pesat sekali, seperti seorang anak di masa pertumbuhan tentunya sering terkena penyakit,” ungkap Matheus.
“Penyakit seperti krisis air, sampah, masalah sosial dan lain-lain banyak bermunculan. Dan saya juga yakin bahwa layaknya anak di masa pertumbuhan yang kerap sakit dengan perhatian dari orangtuanya dalam hal ini pemerintah, asal diberi obat yang tepat, maka anak itu akan sembuh,” ulas dia.
Ia menambahkan, saat ini Labuan Bajo sudah mampu menyediakan 1100 kamar bagi para pelancong.
Pertumbuhan Labuan Bajo sebagai pintu kawasan pariwisata dan pelabuhan dagang sangat cepat.
“Jika dulu saja air bersih sudah menjadi masalah, bayangkan 1 tangki 5000 Liter, katakan ada 200 kapal, saya ambil angka yang minimal saja, yang butuh air bersih. Jangan lupa, kebutuhan air bersih di Labuan Bajo tidak hanya di darat, tapi juga di laut. Dalam kasus ini, 200 kapal butuh 1.000.000 Liter. Belum lagi jika kita menghitung kebutuhan saudara-saudara kita yang tinggal di pulau-pulau dan pesisir. Jangan normalisasi kondisi krisis air,” pungkas dia.
Tentu saja, sambung Matheus, air bersih ini bukan maksudnya air minum. Diketahui, air bersih di Indonesia dewasa ini belum layak menjadi air bersih minum, bahkan di ibu kota Jakarta sekalipun.
Penulis: Ardy Abba