Borong, Vox NTT-Eufrasia Paulina Jumiati, wanita berdarah Waelengga, Kelurahan Watunggene, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), kini mulai berkiprah di bumi Papua.
Sejak Maret 2019 lalu, wanita kelahiran Nekang 24 April 1997 itu, menjejakan kakinya di tanah penghasil emas, sebagai Field Officer Program Imunisasi Polio dari Yayasan Gerakan Peduli Anak Indonesia (GAPAI) Papua.
GAPAI Papua merupakan salah satu mitra UNICEF (United Nations Children’s Fund), sebuah organisasi PBB yang memberikan bantuan kemanusiaan dan perkembangan kesejahteraan jangka panjang kepada anak-anak dan ibu di negara-negara berkembang.
“Waktu itu memang saya ingin sekali bergabung di GAPAI kaka, makanya saya ikut tes dengan teman-teman lain pada Februari 2019 lalu, dan puji Tuhan saya lolos dan diberi tugas di Papua,” ujar Jumiati kepada VoxNtt.com, Rabu (11/09/2019).
Saat menjalankan tugas di Papua, tak pernah terbersit sedikit pun keraguan ataupun ketakutan dalam diri Jumiati.
Putri dari pasangan dari pasangan Blasius Primus Mbolang dan Marta Bahung itu tetap memilih untuk memberi bagi ibu dan anak di Papua.
“Saya pikir ketika kita bekerja untuk sebuah kebaikan, maka akan mengalahkan segala keraguan dan kecemasan dalam diri kita kaka,” ucap alumnus FKM Universitas Nusa Cendana Kupang itu.
Empat Kabupaten
Bekerja sebagai Field Officer Program Imunisasi Polio di Papua tidaklah mudah. Jumiati diperhadapkan dengan medan dan akses yang begitu sulit untuk dijangkau.
Apalagi alumnus SMA Khatolik Setia Bakti Ruteng itu, bekerja di empat Kabupaten di antaranya, kabupaten Dogiyai, Deyiai, Intan Jaya dan Nabire.
“Wilayah Papua itu di bagi dua, pegunungan dan pantai. Kalau kabupaten Dogiyai, Deyiai dan Nabire, itu di pedalaman dan pegunungan. Dari ketiga itu, aksesnya jalan darat jadi lumayan gampang,” ucapnya.
Sedangkan Kabupaten Intan Jaya, tutur Jumiati, aksesnya sangat sulit, mobil tidak ada, motor hanya bisa sampai di beberapa lokasi saja, sedangkan sisanya jalan kaki atau naik helikopter.
“Charter kalau banyak uang, hehehe..” imbuh alumnus SD Khatolik Waelengga itu.
Kendati demikian Jumiati tidak putus asa. Walau jauh dari orangtua dan keluarga, ia bahagia bisa bertemu dengan orang baru. Wanita 22 tahun itu pun mengaku masyarakat Papua adalah keluarga barunya.
“Mereka baik dan ramah kakak. Yang paling penting apapun tantangannya memberi diri untuk melayani dengan tulus adalah kunci utama dalam melakukan sesuatu,” katanya.
Pendekatan Local Leader
Ada banyak hal yang harus dilakukan Jumiati untuk melayani warga Papua. Pertama, koordinasi dengan pihak dinas kesehatan kabupaten untuk program imunisasi polio di wilayah kerja.
Kedua, melaksanakan FGD dengan pihak dinkes, puskesmas, dan local leader (yang paling berpengaruh dan dapat membantu melaksnaan imunisasi polio tets).
Ketiga, melaksanakan pelatihan local leader mengenai vaksin, cara menyimpan vaksin yang baik dan benar, juga cara menetes vaksin polio.
Keempat, melakukan monitoring vaksin di puskesmas dan gudang vaksin.
Kelima, melaksnanakn RCA (Rapid Convenience Assesment) pada puskesmas yang cakupanya mencapai 95%.
Dia menuturkan, salah satu tujuan program itu dengan menggunakan pendekatan local leader.
Seorang local leader adalah orang yang mampu berbahasa daerah setempat, sehingga lebih mudah untuk menjelaskan materi imunisasi, juga mudah dimengerti oleh masyarakat.
“Kalau ada persoalan itu lebih cepat penanganannya kaka karena local leader adalah orang yang paling didengar oleh masyarakat,” tukasnya.
Dalam kesendirian terkadang Jumiati merindukan kampung halaman, tapi ia juga menikmati apa yang dilakukan untuk memberi pada negeri.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Ardy Abba