Maumere, Vox NTT- Encyclopedia Britanica menulis orang dewasa menghasilkan 100-250 gram feses sekali setiap dua sampai tiga hari. Normalnya di dalam feses terkandung 75% air dan 25% unsur padat.
Sementara itu, dalam unsur padat pada feses setidaknya 30% bakteri, 30% sisa makanan terutama selulosa, 10-20% zat anorganik seperti besi dan kalsium, dan 10-20% kolesterol dan zat lemak lainnya sementara sisanya terdapat 2-3% protein.
Lebih jauh, dalam Encyclopedi Britanica juga disebutkan warna pada feses dipengaruhi oleh enzim pencernaan dan saluran yang dilalui makan selama proses sekresi. Misalnya warna kuning disebabkan cairan bilirubin yang dihasilkan hati dan sel darah putih yang telah mati. Warna coklat disebabkan reaksi bakteria terhadap bilirubin yang merupakan produk akhir pembelahan sel darah merah.
Sementara itu, bau pada feses disebabkan oleh kandungan zat kimia sebagai hasil dari aktivitas bakterial seperti indole, skatole, hidrogen sulfida, dan merkaptan yang merupakan hasil dari aktivitas bakterial.
Warna, bau dan bentuknya tersebut menjadikan feses diidentifikasikan sebagai hal yang menjijikan. Bahkan kontak langsung makanan dengan feses yang mengandung bakteri melalui media atau binatang perantara tertentu bisa menyebabkan penyakit atau wabah seperti kolera dan disentri.
Beberapa hari lalu, publik di NTT dan Indonesia dihebohkan dengan pemberitaan mengenai 2 orang senior di Seminari Bunda Segala Bangsa Maumere yang memaksa 77 siswa kelas VII untuk mencicipi kotoran teman mereka sendiri. Beragam reaksi baik pembelaan maupun kecaman menghiasi jagad maya.
Belakangan, pihak Seminari melalui RD. Deodatus Du’u telah mengklarifikasi bahwa tidak ada anak yang makan feses melainkan hanya ‘menyentuh’ bibir dengan sendok yang berisi feses manusia.
Bisa dimaklumi kemarahan publik, pasalnya Seminari adalah lembaga pendidikan calon imam Katolik.
Kasus Senior Paksa Junior “Cicipi” Tinja di Seminari BSB, Ini 6 Fakta yang Terungkap
Perlu diketahui, sebelum kasus di Seminari BSB tersebut, DetikFood edisi Jumat, 08 November 2019 lalu menulis setidaknya ada lima kasus bentuk kekerasan dimana pelaku memaksa korban memakan kotoran manusia atau tinja.
Pertama, seorang pria di Klaten yang kerap menyiksa anak kekasihnya. Salah satu bentuk penyiksaan adalah dengan memaksa si anak makan kotorannya sendiri.
Kedua, seorang pengasuh di Singkawang yang kadang menyuruh anak asuhnya makan kotoran sendiri bila orang tua si anak terlambat mengirimkan uang.
Kasus ketiga, dua orang perempuan di India yakni Karo Devi dan Besanti Devi dipaksa makan kotoran sendiri lantaran dituduh sebagai penyihir.
Kasus keempat terjadi di China, yang mana seorang anak berkebutuhan khusus dipaksa makan kotoran oleh 7 orang temannya.
Kasus terakhir, terjadi di Singapura. Seorang anak bersama pacar memaksa ibunya makan tinja dan minum air kencing.
Kasus-kasus yang ditulis DetikFood menunjukkan bagaimana tinja digunakan oleh oknum tertentu sebagai alat kekerasan terhadap orang lain.
Hal ini barangkali disebabkan oleh citra ‘buruk’ tinja, berbau, menjijikkan, mengandung bakteri sebagaimana statusnya sebagai sampah tubuh hasil metabolisme yang sepatutnya dibuang.
Selain itu, yang biasa makan tinja adalah binatang terutama anjing.
Kebiasaan makan tinja atau kropofagia juga menunjukkan kegilaan atau masalah kejiwaan. Pada Mei 2015 lalu dunia dihebohkan oleh seorang pemuda 20-an tahun asal Jiangmen, Propinsi Guandong, China yang gemar makan feses dari Toilet Perempuan.
Selebihnya, kisah kropofagia hanya ada dalam novel-novel dan film fiksi. Sebut saja Naked Lunch oleh William Burroughs, novel Gravity’s Rainbow oleh Thomas Pynchon dan The 120 Saya of Sodom oleh Marquis de Sade.
Banyak Manfaat
Wachtdoc Documentary, produsen film-film dokumenter yang digawangi Dandi Dwi Laksono dan kawan-kawan pernah membuat sebuah film mengenai pemanfaatan tinja manusia atau feses untuk energi alternatif.
Film yang merupakan bagian dari dokumentasi Ekspedisi Indonesia Biru dengan judul ‘Energi dari Tinja dan B29’ mengangkat kisah warga suatau RW (Rukun Warga) di Kelurahan Tompokersen, Lumajang, Jawa Timur yang memanfaatkan tinja untuk energi alternatif.
Tinja dari septic tank pada toilet di rumah warga dan toilet umum diubah menjadi gas (biogas) yang kemudian digunakan untuk suplai bahan bakar di dapur masing-masing rumah tangga.
Apa yang dilakukan warga di Tompokersen, Lumajang tersebut masih merupakan proyek percontohan. Hal serupa dilakukan oleh Pusat Studi Lingkungan Universitas Surabaya (PSL Ubaya).
Dikutip dari mongabay.com edisi 20 April 2015, PSL Ubaya mengembangkan pemanfaatan tinja dan urin manusia untuk pupuk dan biogas. Hasilnya, dari setiap 10 kg feses bisa dikonversi menjadi 4-6 kg pupuk.
Selain energi alternatif dan pupuk, feses juga digunakan sebagai media untuk menganalisa kondisi kesehatan seeorang. Metode ini dikenal dengan sebutan stool analysis.
Ini sering kita alami bila kita sakitdan berobat ke rumah sakit atau klinik dan diminta menyerahkan tinja dan urin untuk diperiksa di laboratorium.
Persis seperti stool analysis, ilmuwan juga menggunakan feces untuk mengetahui makanan manusia purba.
Dikutip dari nationalgeographic.com edisi 25 Juni 2014, ilmuwan akhirnya menemukan bahwa Homo Neandertalensis yang telah punah kurang lebih 30.000 tahun lalu tidak hanya makan daging.
Meski hidup dari berburu mereka juga mengimbangi diet dengan makan sayuran. Temuan ini didapatkan melalui fosil feses berusia kurang lebih 50.000 tahun.
Di dunia kesehatan, feses juga digunakan untuk terapi. BBC News Edisi 27 Mei 2014 menulis tentang praktik tranpaltasi tinja untuk mengobati Colostridium Difficile atau infeksi usus yang disebabkan oleh matinya bakteri positif sehingga C. Diff merajalela. Metode ini dikembangkan oleh Dokter Thomas Broody dari Australia.
Inovasi Pangan
Terlepas dari soal rasa dan penilaian negatif terhadap tinja, ilmuwan di sejumlah negara justru berusaha mengubah kotoran manusia baik itu tinja maupun urin sebagai bahan makanan/pangan.
Dalilnya, selain untuk mengatasi persoalan limbah sebagai tinja sekaligus alternatif pemenuhan kebutuhan pangan umat manusia.
Dikutip dari tirto.id edisi 12 Februari 2017, terdapat 4 upaya mengubah tinja menjadi makanan dan minuman.
Mitsuyuki Ikeda, seorang ilmuwan Jepang dari Okayama Laboraory memperkenalkan ‘steak tinja’. Ikeda mengesktrak protein dari lumpur tinja dan menambhkan cairan enhancer.
Setelah setengah jadi dimasukkan ke dalam alat eksploder untuk diolah sebelum dimakan. Agar terlihat mirip daging, Ikeda menambahkan pewarna dan protein kacang kedelai.
Ada juga ‘sosis tinja bayi’ yang dikembangkan oleh ilmuwan di Spanyol. Sosis ini dibuat dari daging sapi hanya saja ditambahkan bakteri dari tinja bayi yakni Lactobacilus dan Bifidobacterium.
Keduanya diyakini membuat sosis menjadi lebih lezat dan menjadikan sosis makanan sehat dengan kandungan prebiotik seperti yoghurt.
Kedua bakteri tersebut digunakan pada orang dengan sindrom iritasi usus atau kantong ileum dan diyakini menjaga kesehatan vagina.
Mirip dengan ‘sosis tinja bayi’, di Korea Selatan ada minuman yang juga menggunakan tinja bayi sebagai salah satu bahan dasar.
Minuman bernama ‘Tongsul’ ini merupakan hasil fementasi tinja anak-anak dan alkohol yang terbuat dari sulingan air gandum selama berbulan-bulan.
Tongsul diminum sebagai anggur sekaligus obat tradisional yang dipercaya menyembuhkan penyakit termasuk masalah tulang.
Penulis: Are De Peskim
Editor: Irvan K