Oleh: Ryo Ambasan
Mahasiswa STFK Ledalero
Akhir-akhir ini masyarakat NTT sering dirisaukan dengan berbagai pemberitaan tentang banyaknya Tenaga Kerja Indonesia(TKI) asal NTT yang dipulangkan dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
Kerisauan ini cukup mendasar sebab angka kematian buruh migran asal NTT terus mengalami kenaikan setiap tahun. Pada tahun 2015, terdapat 28 jenazah yang dipulangkan. Dari jumlah itu, berdasarkan jenis kelamin, perempuan sebanyak 9 orang dan laki-laki 19 orang. Berdasarkan legalitas, kategori prosedural 8 orang, nonprocedural 20 orang.
Tahun 2016 terdapat 46 kasus kematian, 21 perempuan, 25 laki-laki. Dengan kategori procedural 5 orang dan nonprocedural 41 orang. Trend ini semakin naik dua tahun belakangan yakni 2017 dan 2018. Pada tahun 2017, terdapat 62 korban, perempuan 20, laki-laki 42. Dengan kategori prosedural 3 dan nonprocedural 59.
Pada tahun 2018, jumlahnya melonjak sangat tinggi yakni 105 korban atau rata-rata 9 kiriman peti mati setiap bulan. Berdasarkan jenis kelamin, perempuan sebanyak 34 dan laki-laki 71. Sementara kategori prosedural 3 orang dan nonprocedural 102 orang.
Sementara jenazah TKI yang dipulangkan selama tahun 2019 berjumlah 125 orang. Hingga Februari 2020 jumlah kasus kematian TKI sebanyak 11 orang.
Sebagian besar Tenaga Kerja Indonesia(TKI) asal NTT yang berangkat ke luar negeri sama sekali tidak diketahui oleh pihak pemerintah atau tidak mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh otoritas terkait.
Penyebab kematian para Tenaga Kerja Indonesia(TKI) asal NTT sangatlah beragam. Ada yang meninggal karena menderita penyakit, kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, diterkam buaya dan masih banyak lagi.
Melihat realitas yang semakin parah seperti sekarang ini, timbul suatu keprihatinan dan kecemasan tersendiri dalam diri penulis untuk menelisik secara lebih cermat. Tentunya, masalah yang dialami oleh para Tenaga Kerja Indonesia(TKI) ini bukanlah suatu hal baru. Masalah ini merupakan masalah klasik yang selalu menguras energi.
Sampai saat ini belum ada kata ‘sepakat’ untuk menuntaskan polemik Human Trafficking secara tuntas. Lazimnya, masalah ini selalu hangat didiskusikan oleh para wakil rakyat dan aparat pemerintah tetapi ironisnya, semuanya itu hanya sebatas cuitan belaka; sebab, pemerintah akan kehilangan keuntungan jika tidak adanya keberangkatan para Tenaga Kerja Indonesia(TKI) ke luar negeri.
Hingga kini, TKI legal asal NTT yang bekerja di Malaysia sebanyak 50.000 orang. Jumlah tersebut belum termasuk tenaga kerja ilegal. Menurut perhitungan Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI), jumlah tenaga kerja ilegal tidak berbanding jauh dari jumlah tenaga kerja legal.
Kemiskinan dan Kebodohan: Biang Human Trafficking di NTT
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kemiskinan diartikan sebagai “tidak berharta; serba berkekurangan (berpenghasilan sangat rendah).”
Dalam pengertian yang lebih integral, kemiskinan merupakan keadaan di mana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan dan kesehatan.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuhan kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global tak terkecuali NTT.
Sedangkan, kebodohan sendiri merupakan keadaan dan situasi di mana kurangnya pengetahuan terhadap suatu informasi yang bersifat subjektif. Penulis menegaskan kebodohan tidaklah sama dengan kedunguaan sebab kedunguan lebih mengarah pada tingkat kecerdasan manusia yang tergolong sangat rendah.
Kata “bodoh” adalah kata sifat yang menggambarkan keadaan di mana seseorang tidak menyadari sesuatu hal, tetapi masih memiliki kemampuan untuk memahaminya.
Sampai kapan kasus Human Trafficking lenyap dari provinsi tercinta ini? Apabila kemiskinan dan kebodohan masih terus membayangi masyarakat NTT maka pada saat yang bersamaan pula polemik tentang Human Trafficking masih akan tetap bercokol.
Pendidikan memegang peranan strategis dalam peningkatkan mutu sumber daya manusia. Pendidikan sebagai media paling ampuh untuk menuntaskan kebodohan di NTT.
Berdasarkan data resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi NTT, terlihat suatu pemandangan yang sangat buruk. Masyarakat NTT yang menamatkan pendidikannya di bangku Sekolah Dasar sebanyak 31,04%, Sekolah Menengah Pertama sebanyak 12,67%, Sekolah Menengah Atas sebanyak 11,45%, Sekolah Menengah Kejuruan sebanyak 2,98% dan jumlah diploma 1 hingga S3 sebanyak 4,82% (BPS NTT 2013).
Pada umumnya, para elite politik di NTT selalu saja menganggap kemiskinan hanya dapat dituntaskan lewat perbaikan ekonomi semata. Namun paradigma seperti ini sesungguhnya sangat keliru. Bagaimana mungkin kita ingin keluar dari cengkraman kemiskinan jika yang dipusatkan oleh pemerintah hanyalah objek dalam kegiatan perekonomian.
Manusia sebagai subjek dalam kegiatan perekonomian seolah diabaikan. Jangan sampai mirisnya pendidikan yang ada di NTT ini sengaja dibiarkan tidak terurus agar pemerintah yang kotor, bengkok dan penuh kecurangan dapat terus melanggengkan kekuasaannya? Mungkin. Kita perlu berbenah. Setidaknya belum ada kata terlambat untuk menuntaskan semuanya ini.
Polemik Human Trafficking di jagat Flobamora sejatinya menjadi tugas dan tanggung jawab seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali. Kemiskinan, kebodohan dan Human Trafficking murupakan satu kesatuan masalah yang saling bertalian satu sama lain.
Penulis sepakat dengan pernyataan gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat dalam Dialog Pemerintah dengan Pimpinan Lembaga Keagamaan se-NTT beberapa hari yang lalu, bahwa kemiskinan bukanlah salah satu isu strategis di NTT melainkan isu yang sangat memalukan NTT.
Perlu diketahui bahwa persentase angka kemiskinan pada tahun 2018 sebesar 21,8% dan sekarang sudah turun menjadi 20%. Presentase angka kemiskinan tersebut seyogyanya memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan di NTT.
Namun pencapaian tersebut tidak serta merta membuat kita membusungkan dada lalu mengabaikannya kembali. Kemiskinan sebagai salah satu isu memalukan perlu diterjemahkan sebagai suatu kerinduan untuk keluar dari cengkraman kemiskinan itu sendiri. Setelah menyadari bahwa kita miskin, apa yang harus kita buat?
Usaha untuk melepaskan diri dari cengkraman kemiskinan, kebodohan dan Human Trafficking belum berakhir. Hemat penulis, masalah utama yang harus segera dibenahi adalah masalah pendidikan.
Manusia sebagai sumber daya utama perlu ’dibangun’ melalui pendidikan. Apabila pendidikan sebagai media pencerdasan anak bangsa telah menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik maka kemiskinan yang berdampak pada Human Trafficking akan segera teratasi. Saatnya NTT beresonansi menjadi provinsi bebas Human Trafficking.