Oleh: Boy Angga
Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Undana
Nusa Tenggara Timur telah bertransformasi menjadi daerah basis pariwisata baru di Indonesia. Nusa Tenggara Timur kemudian menjadi lebih dikenal oleh dunia.
Penobatan Komodo sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia menjadi pembuka jalan bagi meningkatnya popularitas pariwisata NTT pada kancah global.
Pariwisata di NTT selanjutnya berkembang tidak hanya meyasar pada pariwisata hasil konstruksi alam tetapi juga pariwisata hasil konstruksi manusia seperti cultural tourism.
Meningkatnya popularitas pariwisata NTT memiliki arah yang sama dengan mobilitas wisatawan ke wilayah NTT. Data BPS menunjukkan bahwa kunjungan wisatawan memiliki kecenderungan meningkat setiap tahunnya.
Pada tahun 2015 jumlah wisatawan mencapai 441.316 orang. Tahun 2016 jumlah wisatawan mengalami peningkatan menjadi 496.081. Jumlah ini terus meningkat hingga pada tahun 2017 tercatat 616.543 orang wisatawan berkunjung ke NTT. Setiap tahun, jumlah wisatawan domestik umumnya mendominasi. Misalnya pada tahun 2016 terdapat 430.582 wisatawan domestik dan pada tahun 2017 terdapat 523.083 wisatawan domestik (Mongabay.co.id).
Akselerasi pengembangan pariwisata menjadikan sektor ini sebagai sentra ekonomi baru di NTT. Pariwisata sebagai sentra ekonomi baru diafirmasi oleh beberapa hal berikut.
Pertama, mobilitas wisatawan yang berkunjung ke NTT memiliki kurva menanjak. Kurva yang bergerak naik ini menunjukkan tingkat mobilitas yang tinggi. Jika ditelaah dari model gravitasi, maka NTT memiliki daya tarik yang besar.
Kedua, sebagai akibat dari meningkatnya mobilitas wisatawan, maka transaksi materialistik akan meningkat pula. Ini akan menjalar pada peningkatan pendapatan domestik regional bruto. PDRB ini selanjutnya menjadi indikator domain bagi pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, penciptaan lapangan kerja. Sektor pariwisata mampu menyerap tenaga kerja yang banyak. Pariwisata merupakan salah satu sektor dengan ciri labour intensive.
Pucuk pimpinan eksekutif Provinsi NTT dalam visi pembangunannya menyertakan sektor pariwisata sebagai salah satu leading sector perekonomian di wilayah ini.
Pada level kebijakan, Gubernur NTT mengusung konsep 5 A dalam membangun paariwisata di daerah NTT. Kelima variabel tersebut meliputi atraksi, akomodasi, aksesibilitas, amenity dan awareness.
Secara singkat kelima variabel ini menghendaki terciptanya daya tarik besar bagi pariwisata NTT dengan sistem akomodasi yang baik, sistem infrastruktur yang memadai, tersedianya ruang yang nyaman bagi wisatawan, dan upaya membangun kesadaran bersama atas potensi pariwisata di daerah ini.
Konsep 5 A yang menjadi fondasi pembangunan pariwisata secara kuat mengindikasikan bahwa pariwisata adalah sektor hilir dari proses pembangunan ekonomi. Sektor pariwisata menjadi anak bungsu dari pengembangan dan pembangunan ekonomi.
Argumentasinya bahwa sistem kepariwisataan yang baik akan tercipta apabila sektor-sektor penunjang telah berfungsi dengan baik. Variabel-variabel yang termaktub dalam konsep 5 A menjadi basis bagi tersedianya layanan kepariwisataan yang memadai. Sehingga menjadi sebuah keharusan bahwasannya unsur-unsur yang terkandung dalam konsep tersebut mesti secara konsekuen dipenuhi. Ketimpangan pada salah satu unsur akan mengganggu unsur yang lain sehingga hasil pun menjadi kurang maksimal.
Pembangunan Pariwisata Pro Rakyat Miskin
Angin segar bagi pembangunan pariwisata di NTT ketika Gubernur Viktor Laiskodat mencanangkan pariwisata berbasis kerakyatan. Pariwisata dibangun berbasiskan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Masyarakat harus mendapatkan manfaat atas aset pariwisata yang terdapat di NTT.
Gagasan besar ini menjadi oase di tengah kegersangan solusi atas persoalan kemiskinan di wilayah Nusa Tenggara Timur. Pariwisata membawa harapan baru bagi peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan nilai tambah yang tinggi dari sektor pariwisata.
Dampak positif lainnya adalah daya serap tenaga kerja yang besar tercipta dari sektor pariwisata. Faktum ini menunjukkan bahwa pariwisata memiliki multiplier effect yang besar bagi perekonomian. Ini akan berdampak linier terhadap proses peningkatan kesejahteraan masyarakat kita.
Konsekuensi logis dari visi pembangunan pariwisata berbasis kerakyatan adalah berbagai kebijakan kepariwisataan mesti melibatkan masyarakat. Masyarakat mesti menjadi subjek sekaligus objek dari pembangunan pariwisata. Ini merupakan syarat etis dari sebuah pembangunan termasuk pembangunan pariwisata.
Jika selama ini Nusa Tenggara Timur menggaungkan konsep pariwisata premium, maka ini menegasikan visi pembangunan pariwisata berbasis kerakyatan. Tentu saja ini akan mengurangi peran serta masyarakat Nusa Tenggara Timur.
Pariwisata NTT kemudian menjadi ranahnya kelompok yang capable dalam menyediakan layanan pariwisata premium. Dengan demikian maka dampak ekonomi yang diterima oleh masyarakat NTT sangat rendah. Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pun kian terhambat.
Untuk persoalan ini, maka terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh policy makers di NTT.
Pertama, membatasi dominasi investasi langsung yang menyediakan layanan pariwisata premium. Ini akan mematikan layanan yang disediakan oleh akar rumput.
Kedua, pemerintah Nusa Tenggara Timur mesti melakukan pendampingan terhadap masyarakat pelaku pariwisata dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepariwisataannya.
Ketiga, menelurkan produk hukum yang mewajibkan wisatawan menikmati layanan kepariwisataan yang disediakan oleh masyarakat lokal. Ini misalnya kuliner ataupun homestay yang dikembangkan oleh masyarakat kecil.
Keempat, masyarakat mesti memiliki literasi yang baik tentang pariwisata di NTT. Masyarakat harus memiliki pengetahuan pariwisata yang baik sehingga mampu menangkap peluang dari sektor ini.
Semua elemen di Nusa Tenggara Timur mesti memiliki tanggung jawab yang sama untuk pariwisata yang lebih baik. Sinergi antar berbagai elemen sangat penting untuk meningkatkan akselerasi pembangunan pariwisata di Nusa Tenggara Timur.