Oleh: Edi Hardum
Praktisi Hukum dan Pegiat Lingkungan Hidup asal Manggarai, anggota Presidium DPP Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (Iska)
“Uskup di Ruteng pakai jam tangan atau tidak ? Pakai. Pakai cincin emas atau tidak? Pakai! Datang ke paroki-paroki menumpang mobil atau tidak? Menumpang. Rumah-rumah di sini hampir semua beratap seng kan? Beratap seng. Mereka yang datang dari Jakarta ke mari, menumpang pesawat kan? Ya, iya….. Semua itu adalah hasil pertambangan. Jadi orang yang menolak pertambangan adalah-orang bodoh atau pura-pura bodoh. Pura-pura bodoh supaya terkenal, dihargai, sok suci, dan sebagainya”.
Kata-kata di atas, merupakan sebagian isi pidato beberapa orang dari PT Masterlong Mining Resources (MMR), perusahaan tambang di rumah Gendang Nggalak kepada masyarakat pro tambang sekitar tahun 2009.
Perusahaan itu berencana menambang batu mangan di Nggalak waktu itu. Namun, rencana itu tidak jadi dilaksanakan karena ditolak masyarakat Adat Gendang Nggalak. Penolakan dilakukan karena berencana menambang batu mangan di kebun adat dan dekat dengan sumber mata air.
Menyebutkan fungsi barang tambang seperti disebutkan di atas merupakan senjata ampuh bagi perusahaan tambang untuk mempengaruhi masyarakat kecil di sekitar lokasi yang akan ditambang.
Masyarakat tidak sekolah sulit mengelak dengan dengan kata-kata seperti itu. Karena itulah, ketika saya membaca tulisan Willy Grasias tertanggal 28 April 2020, berjudul “Tolak Tambang versus Hasil Tambang”, tidak kaget.
Tulisan dan argumentasi Willy Grasias hampir persis sama yang disampaikan orang-orang perusahaan tambang seperti diungkapkan di atas.
Negara Hukum
Segala sesuatu di muka dan di bawah bumi ini, termasuk barang tambang bisa digunakan, dipakai, dikuasai, dan sebagainya oleh manusia. Supaya bisa digunakan, dipakai, dikuasai dan sebagainya terlebih dahulu harus digali (eksploitasi) kalau barang tambang.
Menggali dan mengolah barang tambang tentu tidak boleh merugikan kehidupan manusia dan lingkungannya (lingkungan hidup). Oleh karena itu, perlu ada aturannya. Maka sinilah pentingnya hukum.
Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 berbunyi, ”Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Pasal tersebut merupakan penjabaran atau penegasan dari tujuan negara Indonesia yang disebutkan pada Pembukaan UUD 1945, alinea IV, yang lain, pertama, membentuk suatu pemerintahan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; kedua, memajukan kesejahteraan umum.
Negara berdasarkan atas hukum artinya, Indonesia menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia. Konsekwensinya, dalam kehidupan bernegara Indonesia wajib melindungi seluruh warga negara Indonesia dari segala bentuk penjajahan dan ancaman.
Penjajahan di sini bisa juga diartikan orang yang mempunyai uang (perusahaan tambang) bersengkongkol dengan penguasa, menipu masyarakat, menakuti-nakuti dan memanipulasi hukum.
Jadi oleh karena itu, bukan soal tambang dan pabrik semen berguna atau tidak bagi manusia, tetapi bagaimana agar barang tambang itu diproses menjadi menjadi barang yang berguna bagi kehidupan manusia. Seperti penggaliannya (eksploitasi) bagaimana? Prosesnya (termasuk eksplorasi) bagaimana? Apa harus merusak lingkungan hidup? Membunuh hidup dan kehidupan? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang diabaikan oleh orang tambang dan penguasa yang rakut akan uang, berkuasa aji mumpung !
Pabrik Semen di Matim
Dasar hukum rencana penambangan dan pabrik semen di Desa Satar Punda, Manggarai Timur (Matim) adalah, pertama, Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Bahan baku semen adalah batu gamping. Batu gamping tergolong dalam mineral non logam. Karena itulah pembangunan pabrik dan pertambangan semen di Desa Satar Punda harus mengikuti ketentuan UU Minerba.
Kedua, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Karena rencana penambangan dan pabrik semen tersebut berada di atas wilayah yang luas pasti berhubungan dengan hidup dan kehidupan. Hidup artinya manusia itu sendiri: warga kampung dan desa. Kehidupan artinya masyarakat hukum adat dan lingkungannya: air, uma (kebun kopi, ladang dan sawah) dan rumah tinggal serta rumah adat (Lumpung dan Gendang). Karena itulah rencana pembangunan pabrik dan penambangan tersebut juga harus tunduk pada UU PPLH.
Dalam Pasal 10 UU Minerba menyebutkan, pertama, penetapan wilayah pertambangan (WP) harus dilakukan secara transparan, partisipatif dan bertanggung jawab. Apakah penepatan wilayah pertambangan dan pabrik semen di Luwuk sudah transparan dan partisipatif ? Jawabannya, belum! Hal ini terkonfirmasi dari banyaknya penolakan sebagian warga (masyarakat) serta adanya manipulasi informasi kepada warga di Satar Punda.
Kedua, Pasal 10 UU UU Minerba juga menyebutkan, bahwa penetapan WP harus secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan.
Apakah rencana penambangan dan pabrik semen di Satar Punda mempertimbangan aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan? Jawabannya, belum! Proses Analisis Dampak Lingkungan (Amdal)-nya tidak terbuka serta tidak melibatkan masyarakat dan LSM yang independen.
Ketiga, penetapan WP harus memperhatikan aspek daerah. Namun, dalam praktiknya, masyarakat, terutama pemegang hukum adat tidak diperhatikan, tidak dimintai pendapatnya dalam menetapkan WP.
Dalam pengalaman beroperasinya perusahaan tambang di Nusa Tenggara Timur (NTT) terutama di Manggarai, Manggara Barat dan Matim, pemerintah daerah diduga kuat berkolusi dengan perusahaan tambang. Perusahaan tambang menetapkan WP secara sepihak dan langsung melakukan eksploitasi (penambangan).
Mereka umumnya menetapkan WP dan melakukan eksploitasi bertitik tolak pada Pasal 135 UU Menerba, yang berbunyi, ”Pemegang Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya (red-eksploitasi) setelah mendapat persetujuan dari masyarakat pemegang hak atas tanah”.
Padahal struktur kepemilikan tanah di Manggarai Raya terdiri dari struktur, pertama, perseorangan; kedua, Tua Teno (Kepala Satu Wilayah Pembagian, atau dalam masayarakat Manggarai disebut Lingko); dan ketiga, Gendang (Rumah Adat). Satu kesatuan masyarakat adat yang terdiri dari satu atau lebih suku disebut Gendang. Satu Gendang biasanya memiliki satu sampai enam Lingko.
Tiga struktur tersebut di atas merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, karena suatu bidang tanah yang dikuasai oleh seseorang ingin ditambang karena di dalam tanahnya ada barang tambang harus seizin Tua Gendang (Kepala Gendang) melalui rapat warga Gendang yang dihadiri oleh para Tua Teno dan para pemilik tanah.
Namun, yang dilakukan pemerintah dan perusahaan tambang hanya mendapat persetujuan dari pemilik lahan tanpa meminta persetujuan Tua Teno dan Tua Gendang.
UU Minerba sama sekali tidak menyebut keberadaan masyarakat adat. Karena itu, dalam mengkritisi beroperasinya perusahaan tambang yang merusak tatanan hidup dan kehidupan masyarakat harus dibarengi UU PPLH. Pasalnya UU PPLH secara tegas mengakui keberadaan Masyarakat Hukum Adat. Seperti Pasal 1 ayat (31) UU PPLH berbunyi,”Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum”.
Selanjutnya, Pasal 1 ayat (30) UU PPLH menyebutkan,”Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola linkungan hidup secara lestari”.
UU PPLH juga mengatur soal pengolaan lingkungan hidup, dimana Pasal 63 ayat (3) huruf k berbunyi,”Dalam hal pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota”.
Pasal-pasal tersebut menegaskan bahwa UU PPLH mengakui keberadaan Masyarakat Hukum Adat serta lebih banyak berbicara perlindungan lingkungan hidup.
UU PPLH yang mengakui keberadaan Masyarakat Hukum Adat merupakan pelaksanaan dari Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi, ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyakat dan prinsip negara kesatuan Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Abaikan Perda Nomor 6 Tahun 2012
Lalu bagaimana dengan Peraturan Daerah (Perda) Manggarai Timur Nomor 6 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Manggarai Timur Tahun 2012- 2032 ? Menurut penulis Perda tersebut kurang tepat dijadikan dasar hukum untuk seluruh proses dan kegiatan pertambangan dan pabrik semen di Matim.
Alasannya dalam poin “mengingat” dalam Perda tersebut tidak mencantumkan UU Minerba dan UU PPLH. Padahal dua UU tersebut mengatur khusus soal pertambangan Minerba dan pengaturan serta pengelolaan lingkungan hidup.
Penulis menduga, tidak dicantumkannya dua UU tersebut dalam poin “mengingat” dalam Perda 6 Tahun 2012 agar terhindar dari ketentuan dua UU tersebut terutama UU PPLH yang wajib menjaga lingkungan hidup dan mendengar pendapat Masyarakat Hukum Adat.
Dalam Pasal 30 poin 4 Perda 6 Tahun 2012 menyebut kawasan peruntukan pertambangan non logam antara lain batu gamping di Desa Satar Punda (bahan baku semen).
Bagusnya Perda 6 Tahun 2012 menyebut soal keterlibatan dan peran masyarakat antara lain
(a) berperan dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang;
(b) mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah. Pertanyaannya, apakah masyarakat dilibatkan dalam pembuatan Perda tersebut terutama soal penetapan wilayah pertambangan ? Tidak kan ?
Namun yang harus diwaspadai dan dilawan dari Perda 6 Tahun 2012 adalah ketentuan di Pasal 56 soal kewajiban masyarakat yakni:
(a) mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
(b) memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang diberikan; dan
(c) memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
Dalam konteks penambangan dan pabrik semen di Matim, ketentuan Pasal 56 Perda 6 Tahun 2012 ini tidak perlu diindahkan, karena, pertama, pemerintah cq Pemkab Matim sendiri dan perusahaan tambang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 55 Perda tersebut. Kedua, tidak melaksanakan ketentuan UU Minerba dan UU PPLH sebagaimana tersebut di atas.
Maka berdasarkan penjelasan UU Minerba dan UU PPLH serta Perda 6 Tahun 2012, maka rencana usaha penambangan dan pabrik semen di Desa Satar Punda, Matim, harus dibatalkan. Sebab, prosesnya sudah tidak sesuai ketentuan dua undang-undang tersebut dia atas termasuk Perda yang dibuat Pemkab Matim sendiri terutama di Pasal 55 soal kewajiban masyarakat.
Kalau pun proses pembangunannya diikuti pasti harus dibatalkan karena merusak hidup dan kehidupan (manusia dan lingkungan hidup serta adat).
Oleh karena itu, saya mendukung rencana Pemerintah Provinsi NTT cq Gubernur NTT Victor Bungtilu Laiskodat yang mengatakan bahwa kalau masyarakat menolak penambangan dan pabrik semen di Satar Punda, maka akan dipindahkan ke Pulau Timor. Silahkan Tuan Gubernur! Tetapi jangan sampai di Pulau Timor merusak hidup dan kehidupan juga.
Memang membangun pabrik semen kedengarannya bagus, menjanjikan. Karena membangun pabrik berarti membangun industri hilir yang keuntungannya berlipat ganda dibanding hanya menambang dan hasil galian diekspor mentah. Namun, pabrik semen yang direncanakan membutuhkan bahan baru yang sumbernya harus merusak lingkungan hidup. Inilah yang menjadi persoalannya.
Kalau Pemprov NTT dan Pemkab Matim benar-benar mau membangun industri hilir ya bangunlah industri hilir perikanan, industri hilir kopi, jambu mete dan sebagainya; sebab bahan bakunya dari hasil kebun petani masyarakat di Manggarai Raya umumnya. Semoga !