Vox NTT- Warga yang tergabung dalam Luwuk Lolok Diaspora (L2D) menolak dengan tegas rencana pemerintah untuk mendirikan pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sebagai bentuk penolakannya, forum ini kemudian mengirimkan surat terbuka kepada Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat.
Surat yang ditulis dari Jakarta 4 Mei 2020 dengan perihal tolak pabrik semen Luwuk itu, atas nama Koordinator L2D Maxi Rambung.
Ada banyak hal yang ditulis Maxi dalam surat tersebut. Pada salah satu bagiannya, ia menulis bahwa L2D secara tegas menyampaikan ke Gubernur Viktor bahwa yang mengalir dalam tubuh warga Luwuk dan Lingko Lolok adalah darah tani, bukan darah pekerja pabrik.
Warga di dua kampung itu, tulis Maxi, terlatih sebagai petani, bukan buruh pabrik. Tentu saja, mereka tidak punya kompetensi sebagai karyawan pabrik.
Sebagian besar warga kedua kampung tersebut hanya menduduki bangku sekolah dasar (SD).
“Kalau demikian, pekerjaan pabrik semen seperti apa yang bisa dilakukan oleh tenaga kerja yang tingkat pendidikannya rendah?” tulis Maxi.
Ia juga menulis, belajar dari pengalaman tambang mangan, penduduk sekitar hanya dipekerjakan sebagai pekerja kasar pemecah batu atau satpam, dengan gaji rendah.
Warga di Luwuk dan Lingko Lolok, lanjut dia, tak mungkin mampu memenuhi kebutuhan primer keluarga mereka. Apalagi mau menyekolahkan anak-anak mereka.
Sebab itu, Maxi menilai terlalu muluk bila dikatakan pabrik semen mampu meningkatkan kesejahteraan warga Luwuk dan Lingko Lolok.
“Itu, tak lebih, hanya bualan dan imajinasi orang-orang tambang dan kaki tangannya,” tulisnya.
Berikut isi lengkap surat terbuka L2D untuk Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat. KLIK DI SINI!
Perihal: Tolak Pabrik Semen Luwuk
Jakarta, 4 Mei 2020
Kepada Yth.
Gubernur Nusa Tenggara Timur
Bapak Viktor Bungtilu Laiskodat
Dengan hormat,
Salah satu agenda kampanye Bapak dalam pemilihan gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) 2018 lalu yang mengesankan dan disambut gembira seluruh masyarakat NTT termasuk kami warga Luwuk Lolok Diaspora (L2D) yang tersebar di berbagai daerah adalah niat Bapak menghentikan eskplorasi dan eksploitasi tambang di NTT bila terpilih. Benar saja, tidak lama setelah dilantik sebagai gubernur, Bapak menepati janji dengan mengeluarkan Pergub Nomor 359/KEP/HK/2018 tentang Penghentian Sementara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara di NTT. Jangka waktu moratorium ini selama satu tahun dan dimungkinkan untuk diperpanjang (Tempo.co, 7/2/2018). Para penggiat antitambang acungi jempol buat Bapak. Top markotop.
Tidak hanya berhenti di situ, Bapak langsung menggebrak dengan memaklumatkan kepada khalayak, menjadikan pariwisata sebagai penggerak utama (prime mover) ekonomi NTT. Ketika itu Bapak bercerita mengenai warga Desa Waturaka di kaki gunung Kelimutu yang mampu mentransformasikan pertanian konvensional menjadi pertanian pariwisata. “Memang tidak gampang dalam membangun pariwisata. Harus punya pemikiran yang baik dan harus berintegrasi. Berbicara pariwisata ini berarti kita berbicara lintas sektor mulai dari lingkungan, sosial hingga budaya,” begitu kata Bapak (Penatimor.com, 9/7/2019).
Kami sepaham dengan Bapak, dan kami sungguh terkagum-kagum, punya pemimpin visioner dengan ide brilian dan prospektif. Ide Bapak yang ingin mengawinkan pertanian dan pariwisata (agrowisata) menarik minat warga L2D. Kami sudah membuat grand design pengembangan wisata di Luwuk dan Lengko Lolok. Di areal persawahan Luwuk ingin kami kembangkan tambak ikan dan udang, yang nantinya di lokasi itu akan dibangun tempat wisata kuliner berbahan dasar ikan dan udang. Lahan kering milik warga Luwuk rencananya akan ditanami tanaman buah-buahan dan sayur-mayur untuk memenuhi kebutuhan tempat wisata kuliner kami. Sementara di Lengko Lolok bisa ditanami berbagai macam tanaman buah-buahan, yang bisa dijadikan tempat wisata buah seperti di Taman Buah Mekarsari dan sejumlah tempat lain di pulau Jawa. Intinya kami ingin membuat UKM Agrowisata yang beranggotakan seluruh warga kampung Luwuk dan Lengko Lolok. Di sebelah atas areal persawahan Luwuk ada sebuah bukit, Golo Kul, yang pemandangannya sangat menakjubkan, terbentang luas panorama laut Flores yang bening dan biru mulai dari Torong Besi hingga Torong Ninge (Kurbaja). Di Golo Kul bisa dikembangkan menjadi tempat wisata rohani dengan membangun Gua Maria dan tempat jalan salib yang dimulai dari tepi pantai dan berakhir di Golo Kul. Di Luwuk juga akan dikembangkan wisata bahari, karena lautnya masih bersih dan jernih. Kami ingin menjual potensi keindahan alam untuk menjamin kehidupan dan masa depan warga kedua kampung ini.
Menjual keindahan dan potensi alam NTT, kenapa tidak? Di NTT, kita punya binatang purba yang sudah mendunia. Kita punya danau tiga warna yang tersohor di mancanegara. Dan kita juga punya Pulau Timor, Flores, dan Sumba yang menawarkan panorama alam mempesona. Belum lagi keragaman adat istiadat dan tenunannya yang menambah khasanah budaya kita. Apa lagi yang kurang? Saking kagumnya dengan potensi wisata NTT, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengatakan, ke depannya NTT bukan lagi Nanti Tuhan Tolong, tapi New Teritorial Tourism (Detik.com, 14/2/2015). Ahok berbicara lima tahun lalu. Namun, bak gayung bersambut, harapan Ahok bertemu jodoh dengan gagasan Bapak yang ingin menjadikan pariwisata sebagai penggerak utama pembangunan ekonomi NTT.
*****
Namun, apa lacur, Pak Viktor? Baru sebulan kami bercengkrama dengan ide besar Bapak yang menjadikan pariwisata sebagai prime mover, pada bulan Agustus 2019 kedamaian hati dan pikiran kami warga L2D terusik cerita dari kampung. “Kampung Luwuk dan Lengko Lolok akan dijadikan lokasi tambang. Di Luwuk akan dibangun pabrik semen, sedangkan bahan bakunya diambil dari Lengko Lolok,” kabar warga kampung. “Masa iya sih, Pak Viktor mengkhianati hati nuraninya? Bukankah belum setahun dia mengeluarkan Pergub moratorium tambang? Apa orang tambang hanya ingin menguji konsistensi dan komitmen, Pak Viktor?,” tanya sejumlah anggota L2D, tak percaya.
Kami buru-buru mencari referensi. Baca buku. Berselancar di internet. Tanya teman-teman yang paham tambang. Pokoknya cari informasi sebanyak mungkin mengenai apa manfaat dan dampak tambang/pabrik semen bagi warga sekitar. Dari hasil bacaan dan diskusi dengan teman-teman, tidak ada satu pun yang mengatakan bahwa tambang dapat membawa kesejahteraan bagi warga sekitarnya seperti yang dikatakan Bupati Manggarai Timur Andreas Agas saat sosialisasi tambang/pabrik semen di Luwuk, 21 Januari 2020 (Tajukflores.com, 22/1/2020).
Pak Viktor, kami tidak perlu pergi jauh-jauh untuk mencari bukti, apakah tambang dapat membawa kesejahteraan bagi warga sekitarnya atau tidak. Di depan mata kami terbentang luas realitas kehidupan warga kampung Lengko Lolok dan Serise yang belasan hingga puluhan tahun bekerja di tambang mangan PT Arumbai Mangan Bekti yang sejak 1981 memporak poranda lahan di kedua kampung ini. Seorang warga di kampung Lengko Lolok mengaku, 16 tahun dia bekerja di perusahaan tambang, namun hingga kini dia masih tetap hidup dalam balutan kemiskinan akut (Beritaflores.com, 20/4/2020).
Menyerahkan kesejahteraan hidup warga sekitar kepada perusahaan tambang, itu hanya ilusi orang-orang sakit jiwa. Karena kami tidak menemukan satu literatur pun yang menyebutkan ada warga sekitar yang hidup sejahtera akibat kehadiran tambang. Yang ada, warga sekitar tetap terbelit kemiskinan, karena sumber daya alam mereka telah dikuras dan dibawa pergi investor tambang. Meminjam tesis Richard Auty, warga sekitar tambang senantiasa menderita kutukan sumber daya alam (natural resources curse). Sumber daya alamnya dirampas para investor, sementara mereka tetap hidup miskin dan hanya menanggung tumpukan-tumpukan sampah tambang.
*****
Pak Viktor, tumpukan-tumpukan sampah tambang itu pula yang kami temukan di kampung Lengko Lolok dan Serise serta Tumbak, kampung terakhir yang menjadi korban eksploitasi tambang di desa kami, Satar Punda. Tumpukan sampah itu berupa lubang-lubang dalam dan menganga. Rupanya perusahaan-perusahaan tambang terdahulu tidak menjalankan kewajibannya mereklamasi lahan pascatambang sebagaimana diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 pasal 96 ayat C. Padahal para pemain tambangnya masih orang-orang yang sama, Pak. Mereka hanya bersalin rupa. Yang mengherankan, kenapa Pemda Manggarai Timur tidak meminta pertanggungjawaban mereka dalam membayar utang reklamasi? Kenapa Pemda malah menggelar karpet merah menyambut kedatangan kembali investor tambang tersebut? Ataukah sudah ada lembaran fulus yang masuk ke kantong-kantong para penguasa daerah?
Jujur saja, Pak Viktor. Di sekitar pro kontra kehadiran pabrik semen di Luwuk ini banyak sekali para pencari keuntungan yang ikut nimbrung. Pabrik semen layaknya, seperti kata Mancur Olson, tempat reuni para bandit. Mereka inilah yang terus menerus menghembuskan angin surga kepada warga kampung bahwa tambang/pabrik semen membawa kebaikan bagi warga, dapat meningkatkan kesejahteraan mereka, dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Pada saat sosialisasi tambang di Luwuk, 21 Januari 2020 misalnya, Bupati Andreas Agas tidak menyampaikan kepada warga apa kerugiannya bila di Luwuk dibangun pabrik semen. Agas hanya menyampaikan, pabrik semen membawa keuntungan dengan meningkatkan kesejahteraan warga. Warga mana yang tidak girang menerima kabar seperti itu, apalagi datang dari seorang bupati?
Maka tak heran, banyak warga Luwuk, juga Lengko Lolok yang menyambut gembira kehadiran pabrik semen tersebut. Mestinya seorang bupati yang berpihak dan membela kepentingan rakyat tidak bertindak seperti itu. Dia harus berlaku jujur kepada rakyatnya. Pertama-tama dia harus menyampaikan kepada warga apa untung rugi dan dampak positif negatif bila dibangun pabrik semen. Setelah itu, dia ikut memastikan tidak ada hak-hak warganya yang dilanggar pihak tambang. Peran seperti inilah yang dimainkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ketika ikut mendampingi warganya bernegosiasi dengan pihak investor pabrik semen Kendeng di Rembang. Ganjar begitu gigih memperjuangkan kepentingan dan hak-hak warganya.
Tapi nyatanya, Bupati Agas – meminjam istilah Advokat Peradi Petrus Selestinus – malah bertindak seolah sebagai seorang calo tanah. Kami memang tidak tahu persis suasana dan isi pembicaraan warga Luwuk dan Lengko Lolok protambang ketika bertemu di kediaman Bupati Agas di Cekalikang. Namun beberapa hari setelah pertemuan itu warga protambang menerima uang sebesar Rp 10 juta per KK dari pihak tambang di Reo. Apa ini kebetulan semata atau memang ada tekanan psikologis kepada warga saat pertemuan? Entahlah. Soal uang Rp 10 juta itu ada rupa-rupa cerita. Ada yang bilang, uang DP (panjar) harga lahan. Ada pula cerita yang berkembang di Luwuk, uang kompensasi debu. Lucu sekali, pabrik semen belum beroperasi, kok sudah diberikan uang kompensasi debu (polusi). Ini betul-betul menghina kecerdasan dan akal sehat.
Belasan tahun lalu sampah-sampah tambang ini pernah membanjiri sawah warga Luwuk. Sebagian sawah tertutup bebatuan dan potongan kayu besar dari kawasan bekas tambang mangan di Lengko Lolok. Sawah warga sempat tidak digarap selama beberapa tahun. Padahal lahan sawah ini menjadi tumpuan harapan warga Luwuk untuk menyambung hidup. Tiga kali setahun mereka memanen padi. Dan kini bencana itu datang lagi. Rencananya di lahan sawah ini investor semen PT. Semen Singah Merah akan membangun pabrik.
Tambang mangan PT. Arumbai Mangan Bekti juga telah mengakhiri kenikmatan warga Luwuk menikmati air ledeng di tengah kampung, karena sumber mata airnya mati terkena imbas eksploitasi tambang di lahan di atasnya. Kini warga Luwuk harus berjuang menempuh jarak lebih dari dua kilometer untuk menimba air. Air yang su dekat, seperti bunyi sebuah iklan, kini malah menjauh lagi, karena ulah investor tambang.
Pak Viktor, ada sampah lain yang ditinggalkan perusahaan tambang di kampung kami yakni sampah konflik sosial. Di Lengko Lolok misalnya, belum sembuh luka lama akibat pro kontra tambang mangan sejak 1981, muncul luka baru akibat pro kontra kehadiran tambang/pabrik semen. Meski sebagian besar warga Lengko Lolok protambang, tetap saja suasana kampung sudah tidak tenteram lagi. Ada saja teror mental yang diterima warga tolak tambang, seperti yang pernah terjadi, Tua Teno menolak manuk locang dua warga tolak tambang dalam sebuah acara adat (catatan: manuk locang itu ayam yang disetor setiap KK dalam suatu kampung). Ketegangan serupa juga terjadi di Luwuk. Hubungan warga yang pro dan tolak tambang kurang harmonis.
Celakanya, bukannya mengobati, Bupati Agas malah menaburi lagi garam di atas luka warga kampung dengan tidak berlaku adil terhadap kedua kubu. Agas hanya mendekati dan mengundang warga yang protambang, sedangkan warga tolak tambang diabaikan.
Mengacu pada poin 2 mengenai Tugas Kepala Daerah yang termaktub dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Bupati Agas mestinya bertugas memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat, bukan malah memanasi situasi dengan berpihak ke salah satu kubu.
Tindakan menolak manuk locang telah mencederai dan merusak tatanan adat Manggarai. Manuk locang itu sebagai simbol dan pengakuan atas keberadaan seorang warga dalam satu kampung. Menolak manuk locang sama dengan tidak mengakui keberadaan orang tersebut di kampung itu. Sungguh, PT Semen Singah Merah telah sukses merusak tatanan adat istiadat kami. Apalagi PT ini telah memanipulasi poin tertentu dalam kesepakatan dengan warga, seperti soal relokasi kampung (Indonesiakoran.com, 10/4/2020).
Ada yang lucu, kalau tidak dibilang tidak punya wawasan dan kecerdasan kultural, soal relokasi kampung ini. Bupati Agas mengatakan, lebih bagus warga Lengko Lolok direlokasi di dekat Satar Teu, tapi compang (mesbah) tetap di kampung lama yang akan digusur tambang (Floresa.co, 26/4/2020). Ini betul-betul sebuah kematian nalar. Sebagai orang Manggarai, Agas seharusnya tahu (atau memang tidak mau tahu), beo, compang agu lingko (kampung, mesbah dan tanah ulayat) merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Compang itu dibangun di tengah kampung sebagai tempat ritual adat, bukan ditaruh di luar kampung seperti yang dipahami Agas. Selain itu, kalau semua lingko (tanah adat) diserahkan kepada tambang, menurut adat Manggarai, Luwuk dan Lengko Lolok tidak layak lagi disebut sebagai kampung, dan akan kehilangan identitas sebagai kampung adat.
*****
Pak Viktor, sejak tahun 1950 warga Luwuk dan Lengko Lolok sudah mendiami kedua kampung ini dan bekerja sebagai petani. Darah tani mengalir deras dalam tubuh mereka. Maka sungguh mengherankan kalau salah satu alasan pendirian pabrik semen di Luwuk untuk mengurangi pengangguran di Manggarai Timur (Realitarakyat.com, 22/1/2020). Perlu diingat, dalam kamus petani tidak dikenal terminologi pengangguran. Yang ada, hanya petani malas dan rajin. Di Luwuk ada contoh petani yang rajin dan visioner. Namanya, Raimundus Ronta. Sejak 30 tahun lalu dia menanam pohon di lahan seluas lebih dari satu hektar. Dua puluh tahun kemudian dia memanen hasil dengan menjual pohon-pohon tersebut bila ada yang membutuhkan balok dan papan. Contoh lain. Di Lengko Lolok ada petani bernama Petrus Nope yang memiliki jambu mente ratusan pohon dan kini tinggal menikmati hasil untuk menghidupi keluarga.
Dua petani ini telah mengajarkan kepada kita, kehidupan yang layak seorang petani tidak jatuh begitu saja dari langit, tapi diperoleh dengan kerja keras dan cucuran keringat, bahkan tetesan darah. Dempul wuku tela toni, itu filosofi yang diajarkan para leluhur orang Manggarai. Atau dalam pesan yang lain, Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri mengubahnya. Kalau taraf hidup warga mau berubah, bukan tambang atau pabrik semen jawabannya, tapi datang dari tekad kuat dan kerja keras warga itu sendiri dalam menggarap lahan-lahan pertanian yang dimiliki.
Cobalah Bupati Agas berkeliling ke kampung-kampung di seluruh wilayah Kabupaten Manggarai Timur, dan tanyakan kepada warga apakah semua lahan pertanian digarap. Berapa persen lahan pertanian dalam satu kampung yang digarap dan berapa persen yang dibiarkan menjadi lahan tidur? Berapa persen warga kampung yang menggarap lahan kebun setiap tahun dan beberapa persen yang tidak? Poin kami di sini, kalau petani di Manggarai Timur khususnya warga Luwuk dan Lengko Lolok miskin, apakah karena mereka tidak punya lahan garapan atau karena miskin cara berpikir? Di situ sebenarnya peran pemerintah daerah dalam memotivasi dan mencerdaskan rakyatnya. Kalau pemerintah daerah hanya sekadar berperan sebagai petugas administrasi, ya jangan berharap rakyatnya menikmati kehidupan yang layak. Kepala Daerah seperti itu layak disemat sebagai pemimpin yang malas berpikir dan tidak mempunyai visi pembangunan yang jelas.
Pak Viktor, perlu kami tegaskan lagi, yang mengalir dalam tubuh warga Luwuk dan Lengko Lolok adalah darah tani, bukan darah pekerja pabrik. Mereka terlatih sebagai petani, bukan buruh pabrik. Dan tentu saja, mereka tidak punya kompetensi sebagai karyawan pabrik. Sebagian besar warga kedua kampung tersebut hanya menduduki bangku sekolah dasar. Kalau demikian, pekerjaan pabrik semen seperti apa yang bisa dilakukan oleh tenaga kerja yang tingkat pendidikannya rendah? Belajar dari pengalaman tambang mangan, penduduk sekitar hanya dipekerjakan sebagai pekerja kasar pemecah batu atau satpam, dengan gaji rendah, yang tak mungkin mampu memenuhi kebutuhan primer keluarga mereka. Apalagi mau menyekolahkan anak-anak mereka. Maka, terlalu muluk bila dikatakan pabrik semen mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Itu, tak lebih, hanya bualan dan imajinasi orang-orang tambang dan kaki tangannya.
Dari hasil kami berselancar di internet, pabrik semen dioperasikan dengan menggunakan teknologi tinggi dan modern, yang menuntut keahlian tinggi pula. Pekerja yang dipakai di pabrik semen para tenaga terdidik dan punya keahlian tertentu. Sementara warga kedua kampung kami mau jadi apa? Apa mereka mau dijadikan pesuruh, jongos atau tukang jaga pabrik tempat penumpukan harta melimpah investor tambang?
Pak Viktor, bayang-bayang peti mati kini menghantui pikiran kami. Orang-orang Luwuk dan Lengko Lolok yang sudah kehilangan semua lahan garapan (lingko) dan tidak mampu bersaing untuk mendapatkan pekerjaan di pabrik semen di kampungnya beramai-ramai menjadi TKI ilegal ke negeri jiran. Mereka masuk lewat jalur-jalur tikus dan harus bertaruh nyawa menempuh perjalanan berat, yang kerap berujung menjadi mayat terbujur di peti mati. Maka, harapan Bapak yang hanya mengirim TKI NTT yang punya kompetensi tak berbuah kenyataan (Pos-Kupang.com, 15/11/2018). Meski berpendidikan rendah dan miskin kompetensi, warga kampung kami, mau tidak mau, harus meninggalkan kampung halaman, karena mereka tidak punya pilihan lain untuk meredahkan amukan rasa lapar, setelah lahan garapan mereka dijadikan areal eksploitasi tambang. Kemudian, NTT lagi-lagi pasrah menerima kiriman ratusan peti mati TKI dari negeri jiran. Pilu, rasanya.
Belum lagi perkara mendapatkan pekerjaan yang layak, Pak. Mendapatkan pekerjaan yang layak di negeri jiran, dengan modal pendidikan rendah, sesuatu yang mustahil. Akhirnya, orang Manggarai bilang, ata kinda na’ang ela, tukang kasih makan babi, sebuah penghinaan luar biasa terhadap harkat dan martabat warga kampung kami.
Pak Viktor, kami yakin, Bapak bukan tipikal pemimpin yang membiarkan rakyatnya hanya menerima tetesan sampah rezeki di tengah tumpukan sumber daya alamnya. Atau bukan pula pemimpin yang tega melihat harkat dan martabat rakyatnya diinjak-injak orang lain. Dalam setiap kesempatan kami menyaksikan Bapak selalu menggelorakan semangat dan menjunjung tinggi harkat, martabat, dan harga diri orang NTT.
Karena itu, kami sungguh yakin, Bapak berada di pihak kami, dan bersama kami warga Luwuk Lolok Diaspora yang tersebar di berbagai daerah, Bapak pasti menolak kehadiran tambang/pabrik semen di kampung Luwuk dan Lengko Lolok. Tuhan memberkati Bapak.
Hormat kami,
Koordinator Luwuk Lolok Diaspora (L2D)
Maxi Rambung