Borong, Vox NTT- Lembaga Justice, Peace, Integrity of Creation (JPIC) Paroki St. Agustinus Weleng mendesak Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat untuk tidak memberi izin pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim).
“Meminta Gubernur NTT untuk membatalkan surat ijin pendirian Pabrik Semen di Lingko Lolok-Luwuk,” tulis JPIC Paroki Weleng dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Minggu (24/05/2020).
Rilis tersebut ditulis oleh Ketua JPIC Paroki St. Agustinus Weleng Fransiskus Dasa, Ketua DPP St. Agustinus Weleng Marselinus Alsadin, dan Pastor Paroki St. Agustinus Weleng Marianus Suardi Galus.
JPIC Paroki Weleng juga mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang dari berbagai aspek rencana pembangunan pabrik berbau tambang tersebut.
Baca: Timbang Untung dan Buntung Pabrik Semen Lingko Lolok
Hal ini didasari oleh kerinduan bersama untuk menghindari terjadinya kerusakan moril dan material di wilayah Lingko Lolok dan Luwuk, serta daerah-daerah sekitar, termasuk wilayah Paroki St. Agustinus Weleng.
“Menghentikan intimidasi kepada masyarakat tertentu, yang justru menjadi ruang bertumbuhnya kelompok pro-kontra dalam kehidupan bersama,” tulis JPIC.
Tak hanya itu, JPIC Paroki Weleng juga meminta lembaga DPRD Manggarai Timur segera mengkaji AMDAL secara terbuka dan obyektif.
Kemudian, mereka juga meminta Pemerintah Manggarai Timur untuk lebih berpikir tentang reklamasi areal bekas tambang wilayah Serise. Hal itu agar bisa menjadi lahan produktif kembali bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Aspek Kultural Bakal Hilang
JPIC Paroki Weleng menjelaskan, kesejahteraan tentu menjadi kerinduan bersama, yang selalu diupayakan dalam berbagai gerakan.
Upaya Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur untuk meningkatkan kesejahteraan patut diacungi jempol.
Baca: “Bagaimanapun Bentuknya, Saya Punya Tanah Tidak Boleh Diganggu”
Hal ini terbukti dengan besarnya upaya untuk menghadirkan sebuah pabrik bergensi di wilayah Manggarai Timur. Tepatnya di wilayah Lingko Lolok dan Luwuk, pemerintah memberi akses kepada pihak pengelola (investor).
Bahkan juga pemerintah sangat proaktif dengan melakukan pendekatan tertentu guna memuluskan pendirian pabrik semen itu.
Meski begitu, JPIC Paroki Weleng menyebut, pendirian pabrik semen ini menjadi masalah ketika ada banyak aspek yang kemudian dikorbankan.
“Salah satu aspek yang paling mendalam adalah aspek kultural yang merupakan warisan turun temurun wilayah tersebut,” sebut JPIC Paroki Weleng.
Dengan pendirian pabrik semen yang kemudian mengarah pada ‘pengusiran’ masyarakat dari suatu wilayah ke suatu wilayah yang belum pasti, berarti juga menjadi ruang pelenyapan atas situs-situs adat yang telah diturunkan.
Bahkan mereka menyebut, peradaban pada suatu wilayah yang telah diturunkan begitu jauh dari para leluhur dihilangkan atau dihapus begitu saja.
Masyarakat ‘dipaksakan untuk memulai kembali sebuah peradaban yang baru. Peradaban yang bersinggungan dengan aspek historis, yang bersentuhan dengan para leluhur, yang telah mapan dihidupi ‘direlakan’ untuk sebuah ketidakpastian.
Dengan demikian, tulis JPIC Paroki Weleng, rencana besar tentang pendirian pabrik tersebut telah bertentangan dengan aspek kesejahteraan.
Kesejahteraan sebenarnya bukanlah sekadar aspek ekonomis, tetapi mencakup banyak aspek dalam kehidupan bersama, termasuk juga aspek kultural.
Pendirian pabrik itu justru mengabaikan kesejahteraan kultural, dan mengedepankan kesejahteraan instan yang juga belum pasti adanya.
Baca: Tambang Sumber Konflik Sosial dan Rampas Hak Warga
Dalam konteks ini, Pemerintah Kabupaten Manggarai TImur juga sedang ‘lupa’ dengan misinya untuk menyanjung historisitas sebagai aspek besar dalam kehidupan bersama.
Wacana besar yang sempat terungkap, bagaimana pemerintah mau menyatukan kembali semua wilayah Lamba Leda dalam satu nama.
Titik tolaknya adalah aspek sejarah yang sama. Namun, gejolak Lingko Lolok dan Luwuk, yang mau diubah historisitasnya menimbulkan pertanyaan besar tentang maksud Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur itu.
Pada sisi yang lain, lanjut JPIC Paroki Weleng, pendirian pabrik di wilayah perairan laut juga mempunyai dampak ekologis yang sangat besar.
Yang paling pasti adalah tercemarnya ekosistem laut yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat pesisir.
Ini menandakan bahwa kesejahteraan yang mau dicapai oleh pemerintah berjalan pincang.
Kesejahteraan yang mau dialami oleh masyarakat tertentu (yang juga belum pasti) menjadi ancaman untuk masyarakat lain.
Kerinduan untuk mempekerjakan masyarakat tertentu di pabrik semen menghilangkan pekerjaan masyarakat yang lain.
Lebih jauh, pencemaran atas ekosistem laut tentu berakibat juga pada masyarakat luas yang menjadikan hasil laut sebagai makanan.
Teringat sebuah cerita di tahun 1990-an, bagaimana ikan-ikan yang kebal zat kimia, yang merupakan limbah sebuah pabrik menjadi sumber penyakit untuk manusia.
Lebih dari itu, secara ekologis, pabrik tersebut juga menghadirkan polusi udara yang berefek luas.
Secara ekologis, pembangun pabrik tersebut menghadirkan sebuah ketidakharmonisan.
Pembangunan Pabrik semen tersebut menjadi lebih tidak ekologis ketika dibarengi dengan isu tambang.
Ketika dikaitkan dengan tambang, mungkin tak cukup banyak komentar yang perlu diutarakan. Tengoklah Wilayah Serise yang menjadi salah satu bukti keganasan tambang.
Dan sejauh ini, sejumlah titik tambang yang tersebar di wilayah NTT belum secara utuh menghadirkan kebaikan. Yang ada hanyalah kerusakan, kehancuran.
Mengacu pada realitas tersebut, muncul pertanyaan besar tentang maksud sebenarnya dari Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur yang mau melegalkan pendirian pabrik yang berbau tambang tersebut.
Jangan sampai ada koorporasi ‘siluman’ yang mengatasnamakan kebaikan rakyat yang bermain di belakang kegigihan pemerintah.
Jangan sampai ada keuntungan besar yang tersembunyi dalam diri pihak tertentu dengan menjadikan keuntungan rakyat sebagai ‘jualan’. Jangan sampai ada ASET lain yang mau digelembungkan dengan mengorbankan ASET Leluhur dan Ekologis dalam rencana pembangunan tersebut. (VoN)
*Sumber pers rilis