Kupang, Vox NTT- Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Ir. Wiratno, mengungkapkan tiga pilar penting untuk menjaga keutuhan kawasan konservasi. Ketiga pilar itu, sebut Wiratno, yakni adat, agama dan pemerintah.
Hal itu diungkapkapkannya dalam web-seminar (webinar) yang diselenggarakan oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSA) NTT, Jumat (19/06/2020).
Seminar online melibatkan 1.200 orang anggota itu menghadirkan sejumlah pemateri unggulan.
Mereka ialah Ronny Megawanto Pengurus Yayasan Kahati Indonesia, Fredrik L. Benu Rektor Universitas Nusa Cendana Kupang,
Frans Sarong Pensiunan wartawan Kompas, Satyawan Pudyatmoko Akademisi Universitas Gajah Mada (UGM), Maria Loretha Tokoh perempuan sebagai pegiat tanaman sorgum yang kini berdomisili di Adonara NTT, serta Timbul Batubara Kepala BKSDA NTT.
Webinar dengan tajuk ‘Ketahanan Pangan Masyarakat Sekitar Kawasan Konservasi berkelanjutan’ itu dimoderatori oleh Mulyo Hutomo staf di BBKSDA NTT.
Dalam kesempatan tersebut, Dirjen KSDAE Wiratno mengangkat tragedi ‘Rabu Berdarah Colol’ di Kabupaten Manggarai Timur, NTT.
Dalam tragedi yang memakan korban jiwa itu, Wiratno menyebut bisa diselesaikan dengan tiga pilar, yaitu adat, agama dan pemerintah.
Menurut dia, tiga pilar yang ia sebutkan itu adalah model pendekatan yang paling bagus untuk dipakai pada sejumlah konflik. Itu terutama yang melibatkan kawasan konservasi di seluruh Indonesia.
“Budaya merupakan pilar penting. Tiga pilar adalah konsep yang saya gunakan untuk konflik kopi Colol. Peran budaya, Gereja dan Negara. Tiga pilar itu adalah kunci menyelesakian konflik budaya dan lingkungan,” kata Wiratno.
Sementara itu, mantan wartawan Kompas Frans Sarong dalam materi singkatnya mengatakan, tragedi ‘Rabu Berdarah Colol’ itu sekaligus menyadarkan pihak BBKSDA NTT untuk mengubah model pendekatan dalam pengelolaan kawasan koservasi.
Penulis buku Serpihan Budaya NTT itu mengatakan, setelah dicermati secara mendalam, Wiratno ketika menahkodai BBKSDA NTT tahun 2012, akhirnya meluncurkan model pengelolaan yang disebut pendekatan berpasis tiga pilar (adat, agama, dan pemerintah).
Tiga pilar itu, kata Frans, merupakan model pengelolaan kawasan konservasi yang memadukan kekuasaan dengan pendekatan berbasiskan lembaga agama (Gereja) dan lembaga adat setempat.
Menurut dia, pendekatan baru itu terbukti manjur karena antara lain mampu mencairkan kebekuan hubungan antara BBKSDA NTT dengan warga masyarakat Colol.
Politisi Golkar itu pun mengharapkan agar model pendekatan baru ini dapat menginspirasi model pengelolaan kawasan konservasi lain di Indonesia.
“Kita tunggu berbagai terobosan konkret yang berbasiskan kearifan lokal untuk kelestarian kawasan konservasi di satu sisi, dan terjaganya ketahanan pangan masyarakat sekitar kawasan, di disi lainnya,” pungkas Frans.
Ia menyebut contoh lain di TWA Menipo, Kabupaten Kupang. Masyarakat sekitar terutama dari kalangan remaja, baru mulai menyadari ternyata “penangkaran” Rusa Timor di Menipo adalah jejak kepedulian leluhur mereka, pasangan Meni dan Fon.
Menyusul difestivalkan pada November 2019, mulai mekar kesadaran publik bahwa mengamankan Menipo sama maknanya menghormati leluhur mereka.
Belakangan, sebut Frans, Menipo yang merupakan gundukan pulau mungil saat pasang naik, mulai tumbuh jadi pilihan pelancongan, setidaknya warga Kota Kupang.
“Berbagai kearifal lokal seperti ini harus selalu digeliatkan hingga menjadi kesadaran publik masyarakat sekitar kawasan. Misalnya melalui festival khusus yang digelar per tahun atau lima tahunan. Selain itu, perlu pertimbangkan adanya pasaran pantas dan pasti untuk panenan madu atau hasil lain yang didapat masyarakat dari kawasan konservasi,” jelas Frans.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba