Betun, Vox NTT- Menjelang Pilkada Malaka 9 Desember 2020 mendatang, Bawaslu setempat mengeluarkan aturan sekaligus ultimatum untuk para Aparatur Sipil Negara (ASN).
Kordiv Pengawasan dan Hubungan Antar Lembaga (PHL) Bawaslu Malaka Petrus Kanisius Nahak mengatakan, ASN dilarang memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon di media sosial.
“ASN tidak boleh terlibat dalam kegiatan sosialisasi diri maupun kampanye Bacalon Bupati dan Wakil Bupati, termasuk di Medsos. Apapun bentuknya, sebab itu dilarang. Hal ini untuk menjaga netralitas ASN dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah,” tegas Petrus kepada VoxNtt.com, Selasa (04/08/2020).
Ia menjelaskan, aturan dan ultimatum tersebut berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2014, PP Nomor 42/2004 tentang kode etik PNS, PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang disiplin PNS dan Surat Edaran (SE) Menpan RB.
Merujuk pada UU 5 Tahun 2014 tentang ASN (Pasal 2 huruf d), Petrus menyebut, dalam penyelenggaraan kebijakan dan manejemen ASN berdasarkan atas asas netralitas. Hal ini dimaknai bahwa setiap ASN tidak berpihak dengan segala bentuk pengaruh atau kepentingan manapun.
Lalu, di PP 42/2004 tentang kode etik PNS (Pasal 6 huruf h) menyebut, nilai-nilai dasar yang harus dijunjung tinggi oleh PNS meliputi, profesionalisme, netralitas, dan bermoral tinggi.
Sementara SE Menpan RB (Pasal 11 huruf c) menyebutkan, PNS wajib menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok atau golongan.
Sebab itu, tegas Petrus, PNS dilarang melakukan perbuatan yang mengarah pada keberpihakan salah satu calon atau perbuatan yang mengindikasikan terlibat dalam politik praktis/berafiliasi dalam partai politik.
Misalnya, PNS dilarang melakukan pendekatan terhadap partai politik terkait rencana pengusulan dirinya maupun orang lain sebagai bakal calon Kepala Daerah.
PNS juga dilarang memasang spanduk/baliho yang mempromosikan dirinya atau orang lain sebagai Kepala Daerah.
Selain larangan-larangan tersebut, lanjut Petrus, PNS juga dilarang menghadiri deklarasi calon atau bakal calon Kepala Daerah.
Kemudian dilarang mengunggah, menanggapi seperti like, komentar atau sejenisnya, atau menyebarluaskan gambar/foto bakal pasangan calon Kepala Daerah, visi misi maupun keterkaitan lain melalui media online maupun media sosial.
Tak hanya itu, menurut Petrus, pejabat negara di dalam Pasal 71 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016, menyebutkan pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/Polri dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Ayat (2) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
Ayat (3), Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati dan Walikota atau Wakil Wali Kota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
Ayat (4), ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau penjabat Bupati/Wali Kota.
Ayat (5), dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), maka petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Ayat (6), sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Petrus menegaskan, kualitas demokrasi dalam penyelenggaraan Pilkada tidak hanya terletak pada penyelenggara pemilu/pemilihan saja.
Namun harus menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen anak bangsa, terutama orang-orang muda untuk bersama-sama mengawasi sebagai kekuatan moral.
“Kita butuh masyarakat untuk sama-sama mengawasi. Apabila ada dugaan pelanggaran, terbuka ruang bagi siapa saja untuk melapor,” tutup Petrus.
Penulis: Frido Umrisu Raebesi
Editor: Ardy Abba