Kupang, Vox NTT – Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota melalui Dinas Pendidikan di Nusa Tenggara Timur (NTT) diminta untuk membentuk tim khusus terhadap evaluasi pelaksanaan pembelajaran secara virtual (daring).
Hal ini disampaikan Dosen Fisip Ilmu Pemerintahan Universitas Widya Mandira (Unwira) Kupang, Thomas Susu kepada wartawan di Kupang, Jumat (07/08/2020).
Menurut Thomas evaluasi itu mesti dilakukan untuk mengetahui sejauh mana model pembelajaran menggunakan sistem daring tersebut.
Karena kata dia, model ini dipaksa untuk diterapkan tanpa ada persiapan terlebih dahulu hanya karena adanya pandemi Covid-19.
Dengan adanya tim khusus untuk melakukan evaluasi dimaksud agar ada tanggung jawab yang diberikan atas hasil kerja yang dijalankan.
“Dari kegiatan evaluasi, kita bisa tahu kelemahan sistem pembelajaran, sumber daya, input, dan dampak untuk selanjutnya dicari model pembenahannya,” kata Tomi demikian Thomas disapa.
Ia berargumen, hingga saat ini belum ada format yang dipakai untuk melakukan evaluasi terhadap model pembelajaran menggunakan sistem daring.
Kata dia, para guru termasuk dosen di perguruan tinggi pun belum dapat mengukur perkembangan pengetahuan anak. Para peserta didik hanya ditugaskan untuk mengerjakan soal- soal tanpa ada penjelasan bila para peserta didik menemukan kesulitan saat mengerjakan soa- soal.
“Kalau pembelajaran offline atau tatap muka di kelas, para guru atau dosen bisa jelaskan secara sederhana terhadap materi ajar, bahkan menggunakan gestur tubuh agar para peserta didik bisa memahami materi yang diajarkan,” jelasnya.
Ia menegaskan, harus diakui hingga saat ini belum ada instrumen yang tepat bagi orangtua untuk menertibkan anak- anak dengan sistem pembelajaran daring.
Memang jelas dia, orangtua diminta untuk membantu dan mengawasi anak- anak selama pembelajaran daring, tapi tidak bisa mendisiplinkan anak- anaknya.
“Karena selama ini, hanya sekolah yang mengatur soal disiplin belajar dan ditaati para peserta didik,” tuturnya.
Ditanya apakah pelaksanaan sistem daring ini harus diselingi dengan sistem offline, Tomi mengatakan, terlalu mahal bagi guru untuk menjalankan tugas dimaksud.
“Karena harus membagi waktu untuk mengajar dalam beberapa sesi setelah adanya pembatasan jumlah siswa dalam satu kelas,” tandasnya.
Selain itu kata dia, adanya risiko penularan Covid-19 di antara sesama siswa. Sebelum ditemukan antivirus Covid-19, proses pembelajaran sistem daring masih berlaku.
Ia menambahkan, diskusi yang dilakukan saat ini bukan soal penerapan kurikulum tapi teknis pemanfaatan teknologi informasi.
Pasalnya, tidak semua tenaga pendidik akrab dalam memanfaatkan dan menggunakan informasi teknologi.
Dikhawatirkan, menggunakan aplikasi internet seperti WhatsApp baru akan dilakukan setelah berada di sekolah atau kampus karena ada layanan wifi.
“Dengan demikian, pembelajaran daring tidak memberi hasil yang maksimal karena waktu belajar tidak efektif,” ujarnya.
Harus diakui tambah dia, sistem pembelajaran daring hanya menciptakan generasi pengguna (user) tanpa memiliki kreativitas dan inovasi yang tinggi.
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Ardy Abba