Ruteng, Vox NTT- Menjadi sarjana bagi keluarga berada memang hal biasa. Namun tidak biasa bagi anak petani yang lahir di kampung cukup udik seperti Deno Kamelus.
Deno lahir di Rakas-Cibal, 2 Agustus 1959 silam. Kampung Rakas sangat udik. Kala itu jauh dari keramaian.
Bupati Manggarai periode 2015-2020 itu lahir dalam situasi keterbatasan dan impitan ekonomi. Ayahnya Aloisius Mbeok tidak tamat SD dan berprofesi sebagai petani. Begitu juga ibunya Veronika Wanur, berprofesi sebagai petani.
Meski terus digempur oleh kisah miris karena impitan ekonomi tidak lantas membuat mantan Wakil Bupati Manggarai dua periode itu menguburkan cita-citanya dalam mengenyam pendidikan tinggi.
Perjuangan Deno Kamelus dalam meraih gelar doktor memang berdarah-darah, bukan perkara mudah. Kesukseksannya tidak datang begitu saja bak disambar petir di siang bolong. Ada proses panjang dan rintangan yang harus dilaluinya dengan susah payah.
“Kami dilahirkan di sini (Rakas) dari keluarga yang sederhana, masa kecil kami penuh tantangan. Kalau mau makan memang tidak susah, karena papa banyak sawah tetapi kalau mau dapat uang itu harus berusaha,” kisah Deno di hadapan ribuan pendukungnya di Kampung Rakas, Kamis (03/09/2020) malam.
Deno berkisah, untuk mendapatkan uang sekolah dan kebutuhan keluarganya saat ia masih kecil dengan cara menjual beras atau padi. Ayahnya bersama anak-anak menjualnya di Pagal ibu kota Kecamatan Cibal dan Ruteng ibu kota Kabupaten Manggarai.
Ayahnya memang pekerja keras. Bayangkan saja ada lima bidang sawah mereka bisa dikerjakan semua oleh sang ayah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Kilas balik masa lalu pria yang pernah menjadi konsultan The Asian Foundation dan University of San Fransisco School of Law untuk pembangunan hukum di Timor Leste itu memang cukup haru.
Bayangkan, kisah Deno, untuk sekolah di SDK Wudi tahun 1966-1972, dia dan temannya harus berjalan kaki. Deno harus melawati jalan tikus sepanjang kurang lebih 4 kilometer. Ia bersusah payah jalan kaki hingga sampai ke sekolah yang letaknya di ketinggian dari Kampung Rakas.
Meski demikian, lulusan doktoral Universitas Airlangga Surabaya itu tidak putus asa. Ia sudah terbiasa dengan keadaan tersebut. Walaupun disayat terik sang mentari sepanjang jalan tikus terutama saat pulang sekolah, Deno tetap menikmati keadaannya kala itu.
Sambil melangkah di jalan tikus yang dipenuhi batu-batu tajam, tanpa alas kaki, Deno tetap berpacu demi sampai ke SDK Wudi. Meski memang tidak jarang raut wajahnya menyeringai karena terimpit keadaan.
Demikian pula saat ia mengenyam pendidikan di SMP Umat Pagal 1973-1975. Di sana, ia tinggal di asrama. Setiap bulan pulang ke kampung halaman untuk mengambil bekal. Ada beras, gaplek, jagung dan ikan jika ada.
“Lalu, di asrama kami harus berkelompok karena jumlah tungku (api) terbatas. Siswa banyak, (karena itu) pilihannya adalah berkelompok. Satu kelompok itu ada 10 orang, satu tungku. Sehingga kemudian makanannya bervariasi,” kisah Deno.
“Manga ba latung (bawa jagung), ba koil (bawa gaplek), ba dea (bawa beras), ba bongkar (bawa jagung yang sudah diolah/ditumbuk), ba muku (bawa pisang), manga ata ba ikang (ada yang bawa ikan). Lalu kemudian kami gabung menjadi satu lalu atur masaknya. Itulah kehidupan kami di asrama,” imbuh mantan Sekjen PMKRI Cabang Kupang itu.
Kisah hidup semasa SD dan SMP tidak jauh berbeda saat Deno melanjutkan sekolah di SMEA St. Yohanes Berkmans Ruteng (1976-1979)- sekarang SMEA Widya Ruteng. Ia terus dirongrong oleh karena impitan ekonomi di tengah hawa Kota Ruteng yang dingin.
Namun Deno tetap menjalankannya seperti biasa dan tidak mengeluh. Di balik keadaan itu, tidak ada niat sedikit pun dari Deno untuk berhenti sekolah. Bahkan ia terus berpacu untuk meraih cita-citanya.
Pernah Disuruh Ayah Berhenti Kuliah
Setelah menamatkan diri dari bangku SMA pada tahun 1979, Deno kemudian mengambil pilihan hijrah dan melanjutkan pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang.
Tiga tahun kuliah (1980-1982), Deno akhirnya sah mendapatkan gelar sarjana muda hukum dengan nomor ijazah 1982/PT.18/FKKH, tanggal 16 Mei 1982.
Setelah mendapatkan gelar sarjana muda hukum inilah, sang ayah melarang Deno untuk melanjutkan kuliah demi mencapai strata satu (S1) hukum. Alasannya karena keterbatasan ekonomi keluarga. Apalagi adik-adiknya hendak melanjutkan pendidikan.
“Waktu kuliah pun, waktu saya selesai sarjana muda (hukum), bapa suruh saya berhenti sekolah. Emo sekolam hau ga (cukup sudah kau sekolah). Saya mau ongkos kau punya adik-adik,” kisah pria yang pernah menghadiri dan participant pada OzWater Conference colloquy 2017 di Sidney Australia itu.
Kala itu perintah sang ayah direspon santai oleh Deno. Ia hanya meminta ayahnya untuk mendoakan agar anaknya itu sehat, sehingga bisa mencari sendiri uang kuliah.
Deno lantas mulai mencari pekerjaan di kota karang agar kuliahnya tetap berlanjut. Ia pun berhasil mendapatkan pekerjaan dan bekerja di salah satu dealer motor.
“Saya bekerja di dealer sepeda motor. Dulu namanya Binter, sekarang namanya Kawasaki,” ucapnya.
Dengan kelakar Deno berkisah, pada tahun 1982 itu satu-satunya mahasiswa asal Manggarai di Kota Kupang yang memakai sepeda motor adalah dirinya. Namun sepeda motor itu bukan miliknya, tetapi milik dealer tempat ia bekerja.
Ia bekerja di dealer tersebut selama 6 tahun, sejak 1982 hingga 1988. Di sana, Deno bekerja sebagai salesman.
“Ai jago tombo pe (karena jago berbicara). Kami di PMKRI dulu itu, kalau omong itu gagah. Pokoknya kalau omong itu hebat. Sehingga bos bilang, hau tukang jual hau. Laku pa, co wajol le melaju ho pe. (kau tukang jual. Laku Pak. Karena tahu berbicara bahasa Indonesia),” katanya.
Berkat keuletan dan kecekatannya, Deno hanya satu tahun menjadi salesman di dealer tersebut. Ia kemudian diangkat menjadi supervisor dan bekerja mengawasi bengkel binter dan penagih.
Saat itu, kata dia, di dealer tersebut Bupati Manggarai Timur Agas Andreas sebagai bendahara. Keduanya memang satu angkatan di PMKRI Cabang Kupang.
“Saya menceritakan ini untuk menyampaikan kepada kita semua, modal ini penting untuk menjadi seorang pemimpin. Kualitas seorang pemimpin itu sangat tergantung pada proses bagaimana membentuk dirinya. Itu penting,” tandas pria yang pernah menjadi peserta at the opening of the first International Federation Organic Agriculture Movement (IFOAM) di Negara Korea Selatan itu.
Selanjutnya, pada tahun 1985 Deno berhasil meraih S1 Hukum di Fakultas Hukum Undana Kupang. Ia sah mendapatkan ijazah S1 Hukum dengan nomor 624/PT18/FH/S1/85, tanggal 15 Februari 1985.
Setelah sukses meraih S1 Hukum, Deno hendak bekerja di Kantor Gubernur NTT. Namun pekerjaan itu tidak jadi diambil Deno karena tidak sesuai dengan keinginannya.
“Tetapi ketika saya menanyai teman-teman pekerjaan pegawai baru di Kantor Gubernur NTT, mereka menjawab bikin amplop. Satu hari 500 amplop,” katanya.
“Karena itu saya tidak mau di situ. Saya tes menjadi dosen, lalu lulus. Sehingga tahun (19)86 saya jadi dosen. Tetapi waktu saya menjadi dosen saya masih kerja di dealer binter tadi,” imbuhnya.
Kala itu, Deno memberitahukan dengan Dekan Fakultas Hukum Undana bahwa dirinya telah kontrak dengan salah satu tempat kerja. Lantas Dekannya kala itu tidak keberatan dan jam mengajar Deno pun dilaksanakan pada sore hari.
“Saya waktu jadi mahasiswa tukang demo. Di organsasi mahasiswa saya bekas ketua badan perwakilan mahasiswa, setelah itu jadi ketua senat. Di PMKRI jadi Sekjen,” katanya.
“Jadi kalau demo-demo macam kemarin itu, bilang tolak-tolak. Ah, ini permainan kecil dari dulu, kau baru belajar. Saya gurunya kalau itu,” ujar Deno disambut tepuk tangan meriah pendukungnya.
Tahun 1988, Deno mengambil S2 atau magister. Ia kemudian menjalani tes akademik dan tes beasiswa. Kedua tes itu sama-sama lulus.
Ia mendapatkan beasiswa dari bank dunia atau world bank dan mengambil magister hukum di Universitas Padjajaran Bandung.
Saat bersamaan, kata dia, bos dealer tempat ia bekerja mempercayainya untuk menjaga usaha tersebut.
“Dia mau serahkan kepada saya untuk pegang perusahaan. Dia mau balik Jakarta dan menyuruh saya untuk pegang perusahaan karena saya jujur. Bahkan ada banyak karyawan yang saya rekomendasikan untuk kerja di situ karena saya jujur,”kisah Deno.
Deno tidak memilih tawaran itu. Ia lebih memilih melanjutkan studinya di Universitas Padjajaran Bandung. Ia kemudian berhasil meraih gelar magister hukum tahun 1992 dengan nomor ijazah PT06/1936/1.2.678, tanggal 25 Juli 1992.
Setelah lulus S2, Deno langsung mengikuti tes untuk mengambil S3 Hukum. Tes berlangsung di Universitas Padjajaran Bandung. Sama dengan saat mengambil S2, ia juga menjalani tes akademik dan tes beasiswa. Kedua tes itu sama-sama lulus.
Selanjutnya, ia mengambil S3 Hukum di Universitas Airlangga Surabaya. Pada tahun 1998, ia berhasil menyabet gelar doktor dengan nomor ijazah 255/0113/09/S3/1998, tanggal 29 September 1998.
Setelah berhasil meraih gelar doktor hukum, Deno pun kembali ke Fakultas Hukum Undana Kupang untuk menjadi dosen.
“Riwayat hidup itu membentuk saya untuk bekerja keras. Saya percaya bahwa kerja itu merupakan jalan menuju kesuksesan. Kalau kita tidak kerja maka kita tidak akan mendapatkan apa-apa,” tandas Deno.
Baca di sini sebelumnya: Deno Kamelus, Sosok yang Rendah Hati dan Pekerja Keras (1)
Penulis: Ardy Abba