Oleh: Flaviana Abes
“Rikar, ata co’o tara nggo’on pande dehau nana!” (1) teriak ibunya ketika empat orang warga menggotong tubuh anaknya yang kini terbujur kaku. Saat kain yang menutupi tubuhnya dibuka, Tampak semua orang yang berada di dalam rumah itu menutup hidungnya. Kini tubuh yang tak bernyawa itu di letakkan di atas tempat tidur kecil yang sudah disediakan di luar rumahnya. Menurut adat dan kebiasaan penduduk setempat, kematian yang tidak wajar tidak boleh dibawa masuk ke dalam rumah supaya peristiwa tersebut tidak akan terjadi berulang-ulang dalam keluarga yang sama.
Baju kaus oblong bergaris dan celana pendek pramuka yang dia kenakan dua hari yang lalu tercabik-cabik seperti potongan kain yng telah digunting oleh penjahit. Beberapa bagian tubuhnya, seperti pipi, paha dan perut memar karena benturan dan luka sobekan banyak sekali di badannya.
Aku tertunduk, menggeleng dan menolak kematian yang sangat tragis dari sahabatku. Bahuku terguncang dan air mataku kini sudah membahasi bajuku. Pekik histeris ibu Rikar memenuhi rumah yang berdinding bambu itu. Ia meronta-ronta tak karuan. Suaranya serak karena terlalu sering menangis. Aku tahu, bagaiamana sakitnya rasa kehilangan, apalagi di saat kita belum siap.
Dua hari yang lalu, tepatnya hari Jumat pukul 12.30, sepulang sekolah kami bertiga bermain di selokan dekat gereja yang ada di desa kami. Tempat itu bukanlah tempat biasa kami bermain. Tetapi hari itu kami bermain di sana karena bosan bermain di tempat biasa. Tepat di arah barat jalan, ada sebuah asrama milik Susteran Santa Clara. Seorang suster pembimbing asrama itu, suster Ma keluar dan menegur kami.
Dengan langkah yang sedikit terseok akibat penyakit gula yang diidapnya, ia menghampiri kami. “nak, jangan bermain di situ. Sebentar lagi mau turun hujan. Selokan itu sangat licin karena banyak lumut” katanya dengan sedikit berteriak. Kami bahkan tak menghiraukan teriakan dari suster itu. Dengan sedikit menyerngitkan dahi, Ia pun kembali ke asrama. Kami bermain nggusur (2) dengan menggunakan alat tradisional punak muku (3) yang telah kami siapkan dari rumah.
Benar saja, belum lama kami bermain, sekitar pukul 14.30, hujan pun turun sangat deras. Kami malah asyik bermain dan tertawa riang. Dengan bantuan air hujan menambah seru permainan kami. Kami bergantian duduk di atas pelupuh pisang dan seorang lagi mendorong dari belakang. Sekitar lima meter, seorang lagi menjaga di sana supaya tidak terbawa arus air selokan yang sangat deras.
Setelah beberapa kali bergantian, sekarang giliran Rikar lagi yang duduk di atas pelupuh pisang. Aku yang menjaga di depan dan Anis mendorong tubuh Rikar supaya bisa meluncur dengan cepat. Saat Anis mendorong tubuh Rikar, terdengar tawa girangnya karena menikmati permainan itu. Aku yang menjaga di depan bersiap-siap untuk menangkap tubuh Rikar. Tiba-tiba ia meluncur dengan sangat cepat. Ia bahkan melewatiku begitu saja karena arus air yang begitu deras. Aku naik ke atas tepi selokan dan berusaha mengejarnya karena berlari di dalam selokan berarti akan terbawa arus yang deras. Anis pun mengikutiku dari belakang. “Anis, gelang koe tah. Wa’a le wae hi Rikar!” aku berteriak marah memberitahu Anis bahwa Rikar telah hanyut. “Pande dehau e, Lian. Toe jaga di’a!” ia malah balik memarahiku karena tidak kuat menjaga pertahanan untuk menahan tubuh Rikar.
Kami berlari dan mendapati tubuh Rikar yang sekarang sebagian tubuhnya sudah mengambang di tepi selokan. Ia menarik kayu yang ada di atas supaya tidak terjatuh dan meminta bantuan kami untuk menariknya. Dengan sekuat tenaga, aku dan Anis meraih tangannya. Namun sia-sia, karena tangan kami yang licin dan derasnya air, tangan kami pun terlepas dan Rikar jatuh ke dalam sungai tepat empat meter di bawah selokan. Sungai itu berada di belakang gereja tempat kami bermain.
Aku dan Anis berteriak minta tolong. Tetapi karena hujan yang cukup deras, tak seorangpun lewat di situ. Jalanan tampak lengang. Bahkan asrama yang tadinya dipenuhi suara dan gelak tawa anak-anak asrama, tampak hening. Kami tidak bisa turun ke sungai karena airnya sangat dalam dan cukup deras. Kami saling berpandangan. Guntur dan kilat bergantian memecahkan semesta. Akhirnya kami memutuskan, aku pergi ke rumahku untuk mencari bantuan dan melapor ke rumah orangtua Rikar. Kebetulan rumah kami tidak jauh dari gereja. Sedangkan Anis tetap berjaga di tepi sungai.
Sesampainya di rumah, aku dimarahi habis-habisan oleh ibu karena melihatku basah kuyub dan gemetar. Saat aku menceritakan peristiwa itu, ibu sangat kaget dan memanggil ayah. Bergegas karena panik, ayah langsung ke rumah orangtua Rikar yang hanya melewati dua rumah dari rumah kami. aku mengeringkan badanku dan mengganti semua pakaian. Tak lama kemudian, ayah muncul bersama ayah Rikar dan dua orang pamannya. Wajah ayah Rikar tampak pucat. Dengan memanggil beberapa warga di sekitar rumah kami, kami pun bergegas ke sungai menggunakan mantel. Memakai payung pun sia-sia karena hujan disertai angin.
Kami sampai di tepi sungai dan Anis masih setia di sana. Salah seorang warga mengajaknya pulang untuk mengganti pakaian. Aku heran, tak ada seorangpun yang memarahi kami karena bermain di bawah hujan lebat disertai kilat. Mungkin semua orang sudah panik dengan hanyutnya Rikar. Belum ada seorang pun yang turun ke sungai karena airnya sangat dalam. Hanya menyusuri tepi sungai dan sesekali tangan mereka merogoh ke dalam sungai. Siapa tahu tubuh Rikar tersangkut di bawah kayu, batu atau ranting pohon. Sekitar pukul 17.00, warga sudah ramai di tepi sungai tepat saat hujan berhenti. Kabar hanyutnya Rikar cepat beredar.
Karena lama menunggu, warga satu per satu kembali ke rumahnya masing-masing. Sedangkan orangtua dan kerabat dekatnya Rikar masih setia menyusuri sungai dan masuk ke dalam sungai karena airnya perlahan menyurut. Sampai pukul 02.00 dini hari, pencarian belum membuahkan hasil. Akhirnya semua kembali berkumpul di rumah orangtuanya Rikar.
Keesokan paginya pencarian dimulai dari tempat pertama Rikar terhanyut. Cuaca sangat cerah sehingga tidak menghalangi pencarian. Mereka membawa bekal supaya tidak perlu lagi kembali ke rumah. Pukul 23.30, mereka kembali. Sesampainya di rumah Rikar, nenek Rikar yang sedang sakit terbangun dan menceritakan mimpinya. Dalam mimpinya, Ia bertemu seorang kakek tua dan ia bilang waktu itu Rikar ditarik oleh Darat (4) ke dalam air. Rikar lalu terbawa oleh derasnya air sungai dan sekarang tubuhnya berada di wae Cunca Boru (5).
Mendengar itu, beberapa orang bersiap lagi menuju tempat yang diceritakan dalam mimpi neneknya Rikar. Tempat itu cukup jauh, ditempuh dua setengah jam perjalanan melewati kebun warga dan tentunya anak sungai.
Dengan rasa penasaran, banyak orang berkumpul di rumahnya Rikar menunggu kedatangan mereka. Benar saja, beberapa jam kemudian tepat pukul 04.00 dini hari, mereka kembali dan menggotong tubuh Rikar yang kaku. Kedatangannya disambut isak tangis yang memilukan dari semua yang ada di rumahnya, terlebih ibunya.
Mayat Rikar tidak dibawa masuk ke dalam rumah. Sebab keesokan harinya akan ada acara Oke dara ta’a (6), untuk membuang semua kesialan yang dialami oleh Rikar. Tidak lupa juga ibadat yang dipimpin oleh Pater supaya arwah Rikar mendapat pengampunan. Kami pun tidak pernah lagi bermain di selokan dekat gereja saat hujan deras.
- Rikar, mengapa kau buat seperti ini?
- Bermain seluncur
- Pelupuh pisang
- Bidadari, yang biasanya menghuni sebuah danau, sungai. dan sebagainya
- Nama air terjun
- Ritual adat untuk membuang kesialan yang dialami seseorang akibat kejadian tragis seperti ditabrak kendaraan, hanyut terbawa air, dan sebagainya agar peristiwa itu tidak terjadi terus-menerus dalam keluarga yang sama, dan arwah dari sesorang yang meninggal bisa beristirahat dengan tenang.
Tentang Penulis:
Flaviana Abes atau biasa disapa Avi, lahir di Pagal, 4 september 1991. Sekarang menetap di Lempang Paji, Kecamatan Elar Selatan, Kabupaten Manggarai Timur. Mengabdi di SMKN 2 Elar, mengampuh mata pelajaran Bahasa Inggris sekaligus Bahasa Indonesia. Baru pertama kali menulis cerpen.