Oleh: Irfan Bau
Mahasiswa STFK Ledalero
“Seekor keledai diikat ke pohon, suatu malam hantu memotong tali dan melepaskan keledai itu. Keledai itu pergi dan menghancurkan tanaman di kebun seorang petani, karena begitu marah isteri petani itu menembak keledai itu dan membunuhnya. Pemilik keledai itu sangat sedih karena kehilangan keledai kesayangannya. Sebagai balasan ia menembak mati isteri petani itu. Sedih dan marah karena kematian istrinya, petani itu mengambil sabit dan membunuh pemilik keledai itu. Isteri pemilik keledai menjadi sangat marah sehingga dia dan anak-anaknya membakar rumah petani itu. Petani melihat rumahnya berubah menjadi abu, ia pun pergi dan membunuh istri dan anak-anak pemilik keledai itu. Akhirnya, ketika petani itu sadar dan penuh dengan penyesalan, ia bertanya kepada hantu; mengapa hantu itu membunuh mereka semua? Hantu itu menjawab; aku tidak membunuh siapa-siapa, aku baru saja melepaskan seekor keledai yang diikat dengan tali. Kalian semua yang melepaskan iblis dalam diri kalian yang mengakibatkan segala hal buruk yang terjadi. Nah, saat ini media telah menjadi seperti hantu yang terus melepaskan keledai setiap hari, dan orang-orang bereaksi dan berdebat satu sama lain, saling menyakiti tanpa berpikir dua kali. Tentu media-media itu menghindari tanggung jawab, kitalah yang menanggung akibat buruk. Jadi, merupakan tanggung jawab kita untuk tidak bereaksi salah terhadap setiap keledai yang dilepaskan oleh media. Jadilah bijak dalam membaca setiap informasi di media apapun. Jangan mudah percaya, jangan mudah terprovokasi, periksa fakta dan jangan ‘share’ sembarangan”. Sebuah ilustrasi singkat, namun amat menyentuh redupnya kemampuan refleksi dan lemahnya habitus literasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Tragedi Sriwijaya
Reaksi paling spontan ketika melihat dan mendengar berita tentang kecelakaan pesawat terbang adalah kegoncangan perasaan yang disebut sebagai rasa duka yang mendalam. Rasa duka tentunya tidak hanya menyelimuti pihak keluarga yang ditinggalkan, melainkan semua orang. Dari rasa duka ini, ada yang shock, ada yang menangis, ada lagi yang menguntai doa, ada yang menatap kosong dan terpekur. Kegoncangan perasaan ini terjadi pada saat jatuhnya pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ-182 yang jatuh di Kepulauan Seribu, Jakarta, Sabtu (9/1). Sriwijaya Air SJ-182 tujuan Bandara Supadio, Pontianak Kalimantan Barat, itu hilang dari radar pukul 14.40 WIB setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Banten, pada pukul 14.36 WIB.
Tragedi Sriwijaya datang dalam sekejap. Terjadi hanya selang 4 menit setelah pesawat lepas landas, mengingatkan kita pada jatuhnya Lion Air JT-610 pada 29 Oktober 2018 di Laut Jawa, Karawang Jawa Barat. Boieng 737 MAX 8 Lion Air itu juga jatuh setelah 13 menit lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta. Pesawat Sriwijaya AIR SJY 182 dalam penerbangan mengangkut 43 pemunpang dewasa, 7 penumpang anak, 3 penumpang bayi dan 12 kru. Pencarian pesawat dan korban sudah berjalan dengan baik. Manajemen kebencanaan serta pengorganisasian terkait musibah disampaiakan secara terbuka dan berkala pada keluarga korban. “Yang paling utama ialah mengerahkan segenap kemampuan bangsa ini untuk mencari lebih maksimal dan menemukan 62 jiwa di dalam pesawat Boeing 737-500 itu”, ungkap Presiden Joko Widodo. Tragedi ini mengingatkan kita untuk senantiasa menumbuhkan bentuk rasa simpati yang paling utama, bukan mencari-cari kesalahan dalam peristiwa yang terjadi apalagi menyebarkan hoaks di media sosial. (MI.11/01/2021).
Hoaks
Perbincangan serentak praktik hoaks kini menjadi masalah yang menyebar luas dalam lalu lintas global. Masifnya penyebaran berita bohong alias hoax tak dapat dilepaspisahkan dari perkembangan teknologi yang begitu pesat. Dalam dunia maya, dengan kecanggihan teknologi dan kecerdasan penggunanya, kebohongan tak sebatas langgeng di ranah verbal tapi juga audio dan visual. Informasi yang berkembang di dunia maya (internet), tidak bisa dibendung. Akibatnya, informasi yang baik dan buruk bisa bebas berkembang begitu saja. Semua elemen masyarakat berpotensi untuk menjadi pihak yang memproduksi, menerima dan menyebarkan hoaks.
Tragedi Sriwijaya misalnya, ada dua foto yang menampilkan sosok bayi di dalam sebuah jaket penyelamat. Foto tersebut menghebohkan warganet karena dikaitkan dengan kecelakaan pesawat Sriwijaya AIR SJ 182. Dalam foto itu, terlihat bayi telah dievakuasi oleh petugas berseragam TNI selain dua orang lain. Narasi yang disematkan pada foto itu menyatakan bayi tersebut merupakan korban selamat dari peristiwa kecelakaan pesawat Sriwijaya AIR dengan rute penerbangan Jakarta-Pontianak. Tidak hanya itu, ada juga sebuah video eksklusif yang menampilkan penemuan bangkai pesawat di laut.
Video tersebut mencantumkan narasi bahwa bangkai pesawat yang ditemukan merupakan Pesawat Sriwijaya AIR SJ 182 yang jatuh pada (9/01/2021). Video tersebut membeberkan tentang percakapan sejumlah orang yang menyebut adanya potongan kulit manusia berserakan di lokasi tempat jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182.
Dengan demikian, semua elemen masyarakat berpotensi untuk menyebarkan berita bohong (hoaks). Hoaks menjadi faktum yang sudah berakar dalam nalar kemanusiaan kita. Sebagai pejuang dan pengabdi kebenaran kita mesti; pertama: jangan mudah terprovokasi. Kita mestinya jangan mudah terpengaruh oleh provokasi yang digulirkan hoaks di dunia maya. Artinya bahwa kita harus memfilterisasi setiap informasi atau berita secara kritis yang kita dapat melalui media. Kedua: urgensi budaya literasi. Budaya literasi sangat urgen diberikan kepada anak-anak muda, sehingga anak-anak muda tahu tentang bagaimana semestinya menggunakan media sosial secara baik dan benar.
Akhir ulkalam, marilah kita belajar dari ilustrasi di atas. Media saat ini telah menjadi seperti hantu yang terus melepaskan keledai setiap hari, dan orang-orang berekasi dengan berdebat satu sama lain, saling menyakiti tanpa berpikir dua kali. Marilah kita bertanggung jawab untuk tidak bereaksi salah terhadap setiap keledai yang dilepaskan oleh media. Jadilah bijak dalam membaca informasi di media apapun, jangan mudah percaya, jangan mudah terprovokasi, periksa fakta dan jangan ‘share’ sembarangan.