*Puisi
Oleh: Stefan Bandar
Tuan, Bergegaslah!
Tuan,
di depan pintuMu kuketuk.
Sekali, dua kali, tiga kali hingga aku lupa kali keberapa sekarang kulakukan.
Dapatkah Engkau terluka jika tidak dibukakan pintu bagiMu?
Dapatkah Engkau tersenyum jika si tuan mendengarkan ketukMu
tapi pikirnya, ‘Ah, itu hanyalah sebuah suara asing,’ hingga dia
tidak membukakannya bagiMu pintu?
Tuan,
jika seandainya sedikit saja dari kekuasaanMu ada padaku,
mungkin telah kuubah semua batu menjadi roti sehingga tidak ada lagi suara gonggongan
anjin yang membubung kepadaMu hingga membangunkanMu dari nyenyakMu.
Tuan,
sekiranya Engkau memberiku tempat untuk sejenak berdiam pada kotaMu
hingga dapat berpintah dari tahtaMu,
mungkin tidak ada lagi sungai yang beralirkan darah, tidak ada lagi yang mengasah
pedang, pun anjing tak ada lagi yang kelaparan.
Tuan,
pandanglah negeri kami, pandanglah kota kami.
Masikah mungkin Engkau bersembunyi di balik tahtaMu sedang
di sini si tuan-tuan dengan garang menyembeli anjing-anjing yang tak berdosa?
Sudakah Engkau sadar akan semua doa dan derita
yang menjerit menuju pangkuanMu?
Tuan,
Negeri kami rindu kedamaian
Negeri kami merindukan kekenyangan
Negeri kami lapar hasrat bejumpa keadilan, merontak menunggu kedamaian.
Tuan,
datanglah dengan segera, berlangkahlah dengan cepat.
Jangan lagi Engkau berlambat, cukupkanlah derita meramaikan kota
kecilku ini, cukup sudah darah mengalir di bumiku ini, cukup sudah
tubuh membusuk di atas negeriku.
Gadis Kecil Berkaleng
Hari ini, siang kemarin yang dipisahkan gelap,
malam tadi yang dibatasi terang, kutulis tentang dirimu.
Entah apalah nama catatan kecil ini, yang jelas semua ini
tentang dirimu, tentang rintihmu yang terlalu, juga tentang
senyummu yang menggoda.
Pernah di suatu senja, aku lupa tanggal berapa hari itu,
tapi yang jelas hari itu adalah akhir bulan, saat bunga sakura di negeri
Jepang mulai bertunas sedang mawar di bumi Pertiwi keguguran,
kutemukan dirimu di antara rumput-rumput jalanan,
di antara sampah-sampah berserakan, di antara tubuh yang garang
memangsa.
Pandangmu teduh seteduh senja sedang matamu bening
sejerni mutiara. Engkau melangkah pasti menjajaki tepih jalan
tempat si tuan duduk bersandar. Kau sodorkan tangan dengan
kaleng tergenggam pada jemarimu berharap selembar rupiah
engkau dapatkan darinya.
Ah,,, hanya sebuah cacian yang kau dapatkan darinya.
Matahari meninggi sedang bumi kian memanas.
Engkau kembali melangkah meskipun kini langkahmu
bergetar. Tertatih-tatih engkau berjala dengan sandal jepitmu
yang kini sebelahnya terputus. Langkah kecilmu pasti, menuju taman
tempat sang juragan menghabiskan uangnya.
Lagi-lagi kau sodorkan tangan kecil yang bergetar memohon selembar
rupiah darinya demi mengisi perutmu yang tak lagi berisi. Wajahmu memelas,
menantikan belaskasihannya sebab dia memiliki yang engkau tak punya.
Dia memiliki nasi semangkuk sedang engkau datang berharap
mendapatkan remahnya.
Ahh,,, hanya sindiran yang kau dapatkan, pun engkau diusir darinya.
Engkau kembali melangkah dan kini langkahmu mendekat
padaku. Dengang bibir gemetar dan muka memelas kau sodorkan tangan,
pula engkau berkata, “Tuan, aku lapar”.
Penulis adalah Mahasiswa STFK Ledalero