*Oleh: Gratio Ignatius Sani Beribe
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu daerah di Indonesia dengan tingkat pendidikan yang rendah. Sebanyak 37,1 persen penduduk berusia sepuluh tahun ke atas mengalami putus sekolah.
Indeks Pembangunan Manusia di provinsi ini juga cenderung rendah, hanya meningkat 0,95 persen setiap tahunnya. Sehingga belum bisa mencapai rata-rata nasional dan menempatkan NTT sebagai peringkat ke-2 provinsi yang paling rendah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia (bps.go.id, 2017).
Kualitas pendidikan dan IPM yang masih rendah, ternyata selaras dengan tingkat kemiskinan di NTT. BPS mengumumkan bahwa NTT menempati posisi ke-3 daerah termiskin di Indonesia dengan presentasi 21,12% (BPS, 2021).
Kemiskinan yang tinggi dan tingkat pendidikan serta IPM yang rendah, menyebabkan praktik klientelisme dan patronase begitu licin masuk ke dalam kontestasi politik elektoral di NTT.
Indeks Presepsi Klientelisme (CIP) di Indonesia yang dikemukakan oleh Berenschot, menunjukan bahwa Kota Kupang (ibu kota Provinsi NTT) menempati posisi pertama dengan nilai 8.0 dari skala 1-10 (Berenschot dalam Ramadhan & Oley, 2020: 171).
Hal ini tentunya sangat memprihatinkan, di mana daerah yang mempunyai masalah kemiskinan dan pendidikan, ternyata mempunyai kualitas demokrasi yang buruk juga.
Pemerintahan yang dihasilkan dengan sistem yang buruk pastinya tidak akan mampu menangani setiap permasalahan dalam masyarakat.
Praktik klientelisme dan patronase yang masih marak terjadi dalam setiap kontestasi politik elektoral di NTT seolah-olah membentuk sebuah uraian benang kusut yang tak diketahui ujung pangkalnya di mana.
Hubungan yang dibangun oleh calon legislator dan konstituennya bukan dilandaskan oleh kesesuaian harapan masyarakat dengan solusi-solusi yang ditawarkan, tetapi oleh hal-hal yang bersifat transaksional, primordial, dan materil.
Fenomena ini tentunya akan mencederai pendidikan demokrasi bangsa dan mempertahankan dominasi oligarki lokal.
Bahkan jika praktik klientelisme dan patronase yang dilakukan menghabiskan biaya yang sangat besar, maka akan berujung pada tindakan korupsi.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengurai benang kusut praktik klientelisme dan patronase di NTT agar dapat menemukan ujung solusi terhadap segala permasalahan di atas.
Definisi Klientelisme dan Patronase
Berenschot mendefinisikan klientelisme sebagai hubungan antara kandidat dan pemilih berdasarkan dana kampanye dan penghasilan negara yang didistribusikan demi kepentingan politik elektoral.
Berenschot kemudian membagi praktik klientelistik menjadi tujuh jenis berdasarkan sumber dayanya yaitu, kontrak kerja pemerintah, pekerjaan di pemerintahan, layanan publik, akses ke program kesejahteraan, dana bantuan sosial, perizinan, dan uang (Berenschot dalam Ramadhan & Oley, 2020: 171).
Sedangkan menurut Hicken, definisi klientelisme meliputi tiga hal yaitu: Pemberian barang dan jasa dari kedua pihak (patron dan klien) sebagai respon atas keuntungan masing-masing.
Ada kesenjangan politik antara patron dan klien yang menyebabkan hierarki, dan yang terakhir adalah praktik klientelisme terjadi secara terus-menerus (Hicken dalam Aspinall & Sukmajati, 2015: 5).
Dari dua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa klientelisme adalah hubungan antara aktor politik yang memberi (patron) dan masyarakat yang menerima (klien) baik berupa barang atau jasa yang terjadi secara berkelanjutan demi memperoleh dukungan saat pemilihan.
Shefter mendefinisikan patronase sebagai pembagian keuntungan dari politisi ke petugas kampanye atau pemilih untuk mendapatan dukungan (Shefter dalam Aspinall & Sukmajati, 2015: 3).
Patronase dapat berupa pemberian uang atau barang yang berasal dari dana pribadi ataupun dari pemerintah.
Perbedaan antara klientelisme dan patronase terletak pada keberlanjutannya.
Patronase hanya fokus pada keuntungan politis dari distribusi materi saja tanpa perlu timbul sebuah relasi yang berkelanjutan, sedangkan klientelisme merupakan sebuah relasi yang berkelanjutan antara patron dan klien.
Dengan demikian, tak semua bentuk patronase dapat melalui relasi yang bersifat klientelistik (Aspinall & Sukmajati, 2015: 4).
Penyebab Munculnya Klientelisme dan Patronase
Perubahan sistem Pemilu legislatif yang diatur dalam Undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, dari sistem proposional tertutup ke proposional terbuka, menyebabkan anggota legislatif yang terpilih bukan berdasarkan nomor urut, melainkan suara terbanyak.
Perubahan ini juga membuka lebar pintu kesempatan bagi pihak-pihak di luar partai politik untuk ikut berkontestasi dalam pemilihan legislatif.
Dampak dari hal tersebut adalah partai politik cenderung merekrut calon politisi yang hanya populer serta mempunyai modal yang besar untuk memperoleh kursi di legislatif dan bukan karena kesamaan visi serta ideologi.
Para pengusaha dan pemilik modal yang ikut dalam pemilihan umum, kerap kali mendulang suara dengan menggandalkan kekuatan modal.
Kekuatan modal tersebut memungkinkan mereka untuk menjangkau pembentukan tim kampanye yang solid, cakupan masyarakat yang luas, dan juga media massa.
Substansi kampanye yang seharusnya padat akan solusi dan inovasi, nyatanya berubah menjadi padat akan modal. Hal inilah yang menyebabkan politik transaksional dapat bertumbuh dengan subur dalam masyarakat (Pramono Anung, 2013: 9).
Bentuk kampanye dan komunikasi politik padat modal yang tercipta menimbulkan sikap pragmatis dan materialis masyarakat terhadap proses pemilihan legislatif.
Masyarakat lebih fokus kepada hal-hal kongkrit seperti imbalan materil, dibandingkan dengan janji-janji atau visi-misi (Winters, 2016: 407).
Hal ini juga menyebabkan tekanan bagi para calon legislator, karena bukan visi-misi atau komitmen untuk mengabdi yang menjamin mereka terpilih, melainkan karena modal materil yang mereka miliki.
Sehingga akhir dari semua dampak perubahan ini adalah terciptanya hubungan klientelistik yang saling menguntungkan antara calon legislatif dan pemilih berdasarkan pembagian materi baik uang atau barang (patronase).
Klientelisme dan patronase juga muncul akibat gagalnya fungsi representasi dari para legislator.
Harapan dan aspirasi masyarakat tentang berbagai permasalahan yang mereka hadapi tidak tertampung oleh para wakilnya di lembaga legislatif, sehingga agenda kesejahteraan bagi masyarakat tidak dapat berjalan.
Alhasil, hal tersebut membuat masyarakat merasa akses mereka diputus untuk menyampaikan aspirasi dan melakukan kontrol terhadap wakil-wakil yang telah dipilihnya.
Sehingga masuk akal jika masyarakat mengambil sikap untuk fokus kepada keuntungan kongkrit yang mereka dapatkan, dibandingkan menunggu realisasi berbagai janji atau program yang ditawarkan (Ramadhan & Oley, 2020: 147).
Melihat konteks masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan tingkat pendidikan yang rendah dan kemiskinan yang masih tinggi, membuat praktik-praktik politik transaksional begitu laku dalam masyarakat dan membentuk relasi klientelistik.
Banyak masyarakat kecil yang merasa bahwa pembagian uang atau barang oleh para calon legislator adalah bentuk bantuan dan bukan sebuah pelanggaran dalam demokrasi.
Masyarakat NTT sendiri sudah sangat jauh jaraknya dengan para wakil di legislatif. Suara dan aspirasi masyarakat tidak diperjuangkan dengan baik, sehingga daerah ini terus tertinggal dalam kesejahteraan dan pembangunan SDM.
Hal-hal ini yang membuat masyarakat skeptis dengan kandidat legislator yang hanya menyampaikan janji-janji, dan lebih memilih untuk menyerahkan suaranya kepada kandidat yang memberikan mereka keuntungan kongkrit menjelang pemilu.
Strategi dan Bentuk Klientelisme dan Patronase di NTT
Perkembangan sistem pemilihan legislatif dari proposional tertutup menjadi proposional terbuka menimbulkan sikap individualis para calon legislator.
Kepentingan partai bukan lagi menjadi prioritas utama, melainkan kepentingan pribadi untuk menempati jabatan adalah hal yang paling penting.
Oleh karena itu, para calon legislator membentuk tim suksesnya masing-masing agar lebih leluasa mengontrol kinerja dan arah geraknya.
Dengan begitu, tim sukses memegang peran penting dalam penentuan karakteristik strategi yang akan digunakan oleh calon legislatif tersebut (Rudi Rohi, 2015: 463).
Dalam pemilu legislatif di Provinsi NTT, tim sukses yang merupakan pelaksana dari strategi politik, kerap kali menjadi distributor serta konsumen dari praktik klientelisme dan patronase.
Jadi dalam konteks ini, calon legislator harus mempunyai hubungan klientelistik dengan pemilih dan tim suksesnya.
Para anggota tim sukses juga harus mendapatkan imbalan materil agar mau bekerja bagi calon legislator untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Imbalan materil ini akrab disebut masyarakat dengan “uang rokok” atau “uang bensin”.
Tim sukses dalam pemilihan legislatif di NTT dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu: (1) Tim relawan. (2) Tim keluarga. (3). Tim kader partai.
Peran mereka sama, untuk memfasilitasi serta mengkoordinir calon legislator untuk bertemu dan menjalin hubungan klientelistik dengan masyarakat.
Walaupun begitu, masing-masing jenis tim, memiliki strategi yang berbeda-beda dalam mendistribusikan bentuk-bentuk patronase.
Terciptanya persaingan calon legislatif dalam satu partai yang sama, membuat para calon legislatif tidak leluasa lagi untuk menggunakan kader partai, sehingga mereka lebih sering membentuk tim relawan.
Tim relawan bergerak dengan bebas tanpa adanya kepentingan dengan partai terkait, mereka fokus pada individu calon legislator saja.
Bahkan beberapa orang menjadi relawan bagi kandidat legislator yang berbeda partai politiknya.
Tim relawan biasanya merupakan tokoh yang terkenal atau berpengaruh, sehingga mempunyai tugas untuk mengenalkan calon legislator kepada masyarakat dan memfasilitasi pertemuan keduanya.
Saat pertemuan inilah, “servis politik” mulai dilakukan. Untuk kultur masyarakat NTT, pertemuan seperti ini biasanya dilengkapi dengan sirih-pinang, rokok, kopi, teh, dan juga arak lokal. Semua itu disediakan calon legislator yang dibantu oleh tim sukses.
Salah satu ciri khas dalam kontestasi politik di NTT adalah peran dari tim keluarga.
Para calon legislator merangkul semua anggota keluarga besarnya, baik yang inti maupun yang berasal dari hubungan kawin-mawin.
Patronase biasanya terjadi saat kumpul keluarga atau Rekadu (acara khas masyarakat NTT menjelang pernikahan anggota keluarga dengan mengundang keluarga atau tetangga).
Dalam acara tersebut, biasanya calon legislator memberikan sumbangan yang besar agar mendapatkan simpati dari keluarga yang hadir (Rudi Rohi, 2015: 478).
Motivasi lain tim keluarga untuk bekerja adalah harapan jika salah satu anggota keluarganya menjadi pejabat publik, maka ia akan mudah mendapat akses bantuan dalam bentuk materil atau pekerjaan (mempunyai ‘orang dalam’).
Pemanfaatan kader partai dalam pemilihan legislatif mulai memudar pasca pemilu dilakukan dengan sistem proposional terbuka.
Para politisi yang dapat memanfaatkan kader partai sebagai tim sukses hanyalah calon legislator yang mempunyai pengaruh besar dalam partai tersebut.
Atau bisa juga kader partai politik yang ikut bekerja mempunyai motivasi klentelistik juga, yaitu dengan mengharapkan imbalan materil terhadap usahanya.
Tidak hanya lewat tim sukses saja distribusi patronase dan klientelisme dapat terjadi, tetapi para calon legislator juga bisa menggunakan program bantuan dari pemerintah pusat.
Posisi strategis dalam jabatan publik juga bisa menjadi alat dalam pelaksanaan klientelisme dan patronase dalam pemilihan legislatif.
Hal ini menunjukan bahwa praktik klientelisme dan patronase di NTT tidak hanya melalui pemberian uang atau barang, tetapi juga melalui relasi sosial dan jabatan publik yang strategis.
Solusi Terhadap Praktik Klientelisme dan Patronase
Berbagai uraian di atas telah menunjukan bahwa praktik klientelisme dan patronase berkembang pesat selaras dengan pemilihan legislatif yang menggunakan sistem proposional terbuka.
Hal serupa juga dinyatakan oleh Aspinal dan Sukatmaji (2015: 15) bahwa tingkat patronase di Indonesia meningkat beriringan dengan sistem pemilu yang lebih banyak berorientasi pada kandidat.
Oleh karena itu, untuk mengurangi praktik klientelisme dan patronase, perlu diubah lagi sistem pemilihan legislatif menjadi proposional tertutup.
Hal ini tentu ampuh karena tidak sembarang orang dapat mendaftarkan diri sebagai calon legislator, termasuk orang-orang yang mempunyai modal yang besar.
Dengan begitu, pertarungan memperebutkan pemilih dalam pemilu tidak lagi sekedar kuat-kuatan modal, tetapi kuat-kuatan visi dan kompetensi partai politik dalam mewadahi aspirasi dari masyarakat.
Hal ini tentunya baik untuk pendidikan demokrasi di negara kita, karena rakyat memilih bukan berdasarkan barang atau jasa yang akan ia terima, melainkan pada rekam jejak serta ideologi partai politik dan anggotanya di legislatif.
Semua hal tersebut dapat berjalan dengan baik, jika partai politik mempunyai kualitas yang tinggi. Peningkatan kualitas partai politik bisa dilakukan cara-cara sebagai berikut: Pertama, menciptakan suatu pola rekruimen yang sistematis dan selektif. Dengan adanya seleksi yang terbuka dan ketat, maka kader yang terpilih merupakan yang terbaik dari pendaftar lainnya.
Kedua, rekruitmen dilakukan dengan memperhatikan sasaran konstituen. Ketika sasaran konstituen dari partai tersebut sudah jelas, maka kader yang direkrut sudah mempunyai dasar represantatif yang akan dia bawa ketika duduk dalam jabatan politik.
Ketiga, melakukan pendidikan kader sampai ke akar rumput. Hal ini dapat membuat para kader menjadi militan dengan ideologi, visi-misi, program, dan gagasan partai, serta beritegritas tinggi (Kristina Sianturi, 2015: 17-18).
Rekruitmen partai politik yang terbuka dan berkualitas dapat menghasilkan kader-kader yang siap mewakili aspirasi masyarakat dengan ideologi dan visi partainya masing-masing.
Dikarenakan para legislator sudah dijamin mempunyai dasar ideologi yang kuat, maka memungkinkan terbukanya ruang-ruang dialektika di lembaga legislatif dalam setiap pembahasan kebijakan publik.
Hal ini tentunya membuat setiap produk kebijakan yang dihasilkan lembaga legislatif merupakan sintesa dari beragam pemikiran dan gagasan anak bangsa yang selaras dengan agenda kesejahteraan masyarakat.
Akhirnya benang kusut praktik klientelisme dan patronase dapat kita urai menjadi lurus dengan menarik ujung-ujung solusi yang telah dipaparkan di atas.
Penulis lahir di Kupang 19 Juni 2002. Kini sedang mengenyam pendidikan di Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Brawijaya Malang. Dapat ditemui di Ig: @sostroberibe