Oleh: Marsel Koka
Senja menuju malam. Angin laut berhembus kencang dan liar. Debur ombak memecah, lebih menggetarkan dari biasanya. Buihnya memutih di pantai.
Aku dan Sela memandangnya dari kejauhan halaman hotel. Duduk persis di sebuah kursi sandar sambil mengarah ke lautan lepas.
“Sela, jika nanti cinta dan rindu tak terdengar di telingamu lagi, percayalah doaku akan setia memeluk jiwamu hingga malam memelukmu.
Kata-kata itu mengalir dari mulutku meyakinkan kekasihku. Sela hanya tersenyum sambil memeluk lenggan kiriku.
Rangga, jangan resah jika pada waktunya aku malah bungkam mencintaimu, aku tak mau berucap. Karena kamu adalah syair yang membuatku senantiasa bergairah setiap waktu. Bisik Sela setelah beberapa menit lewat.
Kata-kata seperti itu, selalu kami ucapkan setelah kami lepas dari pelukan. Seperti semacam janji yang selalu kami tepati bersama. Kalau bukan diriku duluan berarti Sela. Begitu terus. Pokoknya kami selalu mengakhiri setiap pertemuan dengan syair atau sajak romantis.
Pernah di kesempatan lain saya berkata begini “Sela, aku mencintaimu bukan karena kamu pilihan yang terahirku tetapi kamu yang pertama dan terakhirku, aku takkan pernah menjadikan engkau sebagai kekasih yang lahir dari sebuah kebetulan tetapi dari rasa dan rusukku”. Waktu itu sela hanya tersenyum sambil memelukku.
Di kamar Hotel malam itu, kami menghabiskan beberapa botol alkohol. Setelahnya diriku dan Sela saling membuka dan memberi diri satu sama lain. Lalu mendekap dan tak terpisahkan lagi. Segala sesuatu terjadi atas nama cinta dengan begitu cepat dan sangat mendebarkan. ********
Sudah sekian tahun, aku tidak bersama Sela. Pekerjaan memungkinkan jarak antara aku dan dirinya. Menjalin cinta jarak jauh bukanlah hal yang mudah bagi diriku dan Sela. Jarak yang seharusnya tak menjadi masalah justru membuat masalah-masalah kecil kadang menjadi besar.
Bagaimana tidak, aku hanya dapat berkomunikasi lewat hape, itu pun hanya tidak begitu lama. Dia juga demikian. Pokoknya tidak seperti biasanya. Rasa dalam diriku juga semakin mengambang.
Awalnya tidak begitu rumit namun pelan-pelan aku mulai tidak nyaman dan bahkan mulai curiga dengan Sela. Komunikasi yang sebetulnya menjadi saat untuk saling tanya kabar malah berubah menjadi moment saling melampiaskan kemarahan. Lebih-lebih diriku.
Kadang aku menunggu Sela untuk tanya kabar. Sebaliknya Sela. Maka kadang kami saling menunggu. Lalu berakhir dalam kecewa dan marah-marah.
Namun pada satu bulan yang saya lupa tanggalnya, aku mengutarakan semua perasaanku pada Sela. Demikian tulisan itu
“Sela, cinta kita sudah mekar sejak belas tahun silam. Berjalan begitu sederhana dan berlalu apa adanya. Kita selalu punya kesempatan untuk saling berbagi. Saling mendengarkan, saling memaafkan dan saling menutupi. Di hatiku hanya kamu. Sebaliknya. Kita adalah sepasang kekasih yang mudah saling mengagumi satu sama lain. Sulit mengeluarkan kata-kata kasar tetapi saling melengkapi. Bahkan saling memberi diri.
Dulu, aku melihatmu sebagai perempuan ideal satu-satunya. Cantik parasmu dan seksi tubuhmu membuat aku terpesona. Bagiku, kamu bidadari. Di matamu aku pun sebaliknya. Katamu, aku laki-laki tampan. Pria ideal, yang menjadi tulang rusuk dan tulang punggungmu.
Kita tak pernah melewati hari tanpa memberi kabar satu sama lain. Jarak akan membuat kita rindu setengah mati. Benar katamu saat itu, hidup tanpa cinta seperti pohon tanpa bunga atau buah. Tidak bermakna dan pantas ditebang.
Kita jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku tertarik melihat senyum dan tatapan wajahmu. Kau berkata polos, lugu namun berwibawa dan tak sembarangan. Selanjutnya, kau menjadi perempaun yang membuatku tahu apa artinya merindu. Wanita yang memaksaku menghasilkan banyak puisi dan sajak.
Pada hari pertama sampai tahun-tahun sesudahnya kita tak pernah sedikitpun patah hati. Aku selalu menunjukkan padamu bahwa cintaku tidak main-main. Aku selalu berjuang untuk komit pada janjiku. Ya janji untuk membiarkan tidak membiarkan air matamu jatuh membasahi pipimu. Aku berjanji akan selalu menghagatkan rasa dan rindumu, bagai mentari yang pernah lelah meladeni bumi. Begitu putih cintaku. Kau cinta sejatiku.
Namun aku sadar bahwa ternyata aku tak pernah benar-benar pandai menghargai semua janjiku. Apalagi ketika kita terpisah jarak. Setelah melewati tahun-tahun sesudahnya, cintaku padamu mulai goyah. Cintaku padamu hanya hangat di awal namun layu setelahnya. Engkau hanya ada saat aku membutuhkanmu. Selebihnya kau hanya tempat pelampiasan birahiku. Diam-diam aku menghinantimu. Dan di sini aku berbuat semauku. Rasanya bagian ini berat untuk menjelaskan padamu. Ya biarlah aku sendiri yang tahu.
Pokoknya sejak kita terpisah, aku sering membuat hatimu berantakan dan terluka oleh penghianatanku. Aku menuntutmu untuk setia padaku dan bahkan mencurigaimu yang bukan-bukan malah aku sendiri yang sering bermain-main dengan perasaanmu walau aku sendiri tahu bahwa rasa sakit yang sama juga akan aku alami jika perasaanku sendiri dipermainkan olehmu.
Namun semuanya itu tidak membuatmu marah, kamu Itu malah lebih memilih diam. Walau kau tahu bahwa itu menyakitkan. Barangkali karena kamu yang sulit percaya pada kata-kataku. Sebetulnya kamu tahu bahwa sejak awal, jika cintaku padamu hanya sebatas kata-kata. Kamu tahu itu.
Itu sebabnya kamu lebih banyak diam dari pada percaya pada omonganku sebab setelahnya aku selalu berulang kali menghianataimu dan meninggalkanmu. Ya itulah aku, pandai menyembunyikan kebohongan dibalik ludahku yang manis. Sedangkan kau mudah jatuh pada kata-kata manisku.
Sela, jujur aku masih sulit menjaga cinta dan permintaanmu. Kau meminta untuk tak mengijinkan hatiku beralih ke lain hati. Ya benar. Soal cintamu aku tak pernah ragu. Kau mencitaiku bagaikan samudra raya. Kadang aku bertanya dalam kesunyiaanku mengapa kamu mencintaiku tanpa jeda dan jarak.
Benar kamu bilang waktu itu bahwa cinta yang dalam bukan terungkap pada seberapa banyak hal yang aku buat untukmu tetapi itu berarti aku harus mengesampingkan ego dan menjaga komitmen tanpa syarat. Itu berarti semua kekurangan dan kelemahan, termasuk segala yang buruk tentang dirimu. Aku tahu itu. Tapi. Ya sudahlah.
Sekali lagi, yang aku banggakan dari kamu adalah kesetiaan dalam cinta. Namun yang aku benci dari kamu adalah diammu. Padahal aku ingin agar engkau menengurku sesekali dan katakan sejujurnya jika hatimu terluka oleh perbuatanku. Tapi selalu tidak demikian.
Sela, maafkan semua yang telah terjadi. Aku hanya ingin memulai lagi dari awal. Mencintaimu sebagai yang pertama dan terakhirku. Kau tetap perempaun cantik yang selalu mengairahkan. Kecantikanmu laksana matahari. Setia menerangi gelapnya hatiku.
Sebentar lagi kita akan menjadi kekasih dan kekal di hadapan semesta. Itu berarti aku diminta untuk tak boleh main-main dengan ucapanku nanti. Sebab janji adalah doa. Engkau sendiri mengerti betapa aku begitu rapuh untuk teguh pada janji itu. Kamu tahu bagaimana caranya agar aku mencintaimu selamanya. Oleh sebab itu jangan biarkan hatiku bercabang pada yang lain lalu tumbuh mekar di sana. Aku berjanji bahwa aku masih dan akan mencintaimu hingga detik ini, sebab engkaulah cinta sejatiku. Terima kasih sudah berusaha bertahan dalam cinta.
Sampai di situ aku berhenti. Sela yang selalu membisu selama ini, kali ini membalas pesanku dengan jawaban singkat. Katanya, “Rangga, sejak dalam kandungan ibumu aku telah mengenal engkau dan sebelum engkau lahir, Aku telah sungguh-sungguh mencintaimu dengan cinta sejatiku”.
Penulis: Marsel Koka. Asal: Minsi-Riung Barat, Bajawa, Flores-NTT. Tinggal: Rogasionist Maumere-Flores