Borong, Vox NTT- Buka usaha bawang tidaklah mudah. Dia harus mulai dari kecil. Sikap menyerah pun tidak perlu dibiarkan tumbuh dalam diri.
Tentu saja dalam perjalanan waktu terjadi gagal panen dan tidak selalu meraup keuntungan banyak. Sebab, kondisi alam kadang menyebalkan.
Misalnya, ketika musim kering tiba, saat bawang bersemaian di atas tanah. Daun dan batang bawang pun perlahan layu.
Bahkan mengering hingga usianya habis di atas tanah itu dan terus berhadapan dengan sengatan matahari. Itulah tantangan yang cukup mencekam dalam diri Kanis sebagai pengusaha bawang.
Pengusaha bawang merah pemilik nama lengkap Kanisius Bas (42) itu mengaku, ia mengolah lahan untuk tanam bawang merah berawal dari rasa ingin tahu yang tinggi dan belajar sendiri.
Dalam perjalanan waktu, yang dialami justru tiga kali gagal. Meski begitu, dia masih bisa menikmati hasilnya sedikit demi sedikit.
“Awalnya pingin coba, ternyata jadi meski tanam sembarang dan percik sembarang obat. Hasil awal waktu itu cuman 5 Kg biji bawang besar tetapi tiga kali gagal,” ungkap pria asal RT/RW: 021/006, Golo Ntoung, Kelurahan Rana Loba, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur itu kepada VoxNtt.com, Jumat (30/07/2021).
Menurut Kanis, lebih baik memilih usaha bawang daripada tanam padi. Memang dari jangka waktunya, sejak padi ditanam hingga panen sama dengan proses pertumbuhan bawang.
“Tanam padi hasilnya hanya dapat 100 kg sementara bawang hasilnya 200 kg hingga 300 kg dan langsung jadi uang setelah dipanen,” ungkap pria lima orang anak ini.
Saat ini Kanis masih melanjutkan pekerjaannya sebagai pengusaha bawang.
Luas yang dikelolanya dengan ukuran 50×100 meter dan sudah dipetakkan. Totalnya sebanyak enam petak.
Lahan yang dikelolanya itu tidak hanya dimanfaatkan untuk tanam bawang tetapi juga sayur. Namun prosesnya secara bergantian.
Menurut Kanis, jenis biji bawang yang ditanam adalah biji tuktukl, locanantal, dan sandrenl.
Biasanya hasil biji locanantal pecah. Tetapi locanantal yang ditanam Kanis justru hasilnya bagus.
“Dalam setahun dua kali tanam, dari Maret sampai April persemaian bibit, tanamnya Mei sampi juni sekaligus perawatan. Kemudian 60-70 hari atau dua bulan satu Minggu bisa dipanen,” katanya.
Kanis mengaku kendala selama ini di pengadaan benih. Tahun lalu, dia mendapatkan benih dari Kupang dan hasilnya sudah ada yang dijual di Ruteng.
Untuk di Borong, persedian benih di toko sangat sedikit yakni 10 kg.
“Sekarang tanam tahun ketiga, mau tanam semua tetapi kendala di bibit,”
ungkap Kanis.
Memang menurut Kanis, pengeluaran yang mahal itu di perawatan tanaman. Belum lagi jika cuaca buruk dan mendatangkan hama jenis ulat.
“Hama ulat gerayak muncul di musim panas. Biasanya setelah tanam muncul ulat,” ungkapnya.
Dikatakan, hasil panen biasanya dijual 15.000 atau 20.000/kg dan itu tergantung kondisi pasar.
“Kemudian, untuk pemasarannya ikut dari luar, berapa harga yang diterima dari luar misalnya dari Bima, Reo, dan Pota,” kata Kanis.
Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH) Matim, Yohanes S.Manubelu, mengatakan pada tahun 2021 memang ada intervensi untuk perbenihan bawang sebanyak dua hektare.
Satu hektare untuk di wilayah Pota dan satu hektar lagi untuk di wilayah Borong, Compang Ndejing.
“Kenapa kita tidak bisa pengembangannya secara besar-besaran karena harga benih untuk bawang itu sangat mahal. Banyak sekali petani kita khusunya di Pota untuk benihnya secara swadaya. Selama ini pengembangan kita terfokus di Pota. Pota merupakan sentraproduksi pengembangan bawang merah,” ungkap Yohanes kepada VoxNtt.com melalui telepon seluler.
Untuk sementara menurut Yohanes, petani bawang mesti budi daya benih sebagai alternatif lain untuk mengatasi ketergantungan pada bibit.
“Sehingga ketergantungan kita terhadap bibit itu bisa teratasi,” ungkap Yohanes.
Ia berharap agar tahun depan pihak Dinas Pertanian bisa menyediakan bibit cukup banyak untuk petani bawang di Borong. Namun untuk saat ini, anggaran itu sudah dipangkas karena Covid-19.
“Harapan kita tahun depan, apabila situasi ini sudah memungkinkan kita bisa mengalokasikan cukup banyak juga untuk Borong,” tutupnya.
Penulis: Filmon Hasrin
Editor: Ardy Abba