Oleh: Ferdinandus Durhan*
Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN) dirayakan setiap tahun sejak tahun 2011. Tahun 2017 ini, perayaan GKN sudah dilaksanakan di Graha Widya Wisuda IPB Bogor pada tanggal 11 Maret 2017.
GKN yang salah satu tujuannya untuk meningkatkan populasi wirausaha Indonesia, telah turut membantu naiknya ratio wirausaha Indonesia. Ratio wirausaha Indonesia meningkat dari 1,67% pada periode 2013/2014 menjadi 3,1% dari total penduduk Indonesia pada tahun 2016.
Meskipun ratio 3,1% ini telah melampaui 2% dari populasi penduduk sebagai persyaratan minimal suatu masyarakat akan sejahtera, akan tetapi itu masih lebih rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara lain seperti Malaysia 5%, Cina 10%, Singapura 7%, Jepang 11% dan Amerika Serikat 12%.
Jika ditelusuri, GKN sejauh ini hanya diperuntukkan bagi masyarakat (orang dewasa) yang sudah siap dan berminat untuk berwirausaha. Ini berarti masih tersisa tanggung jawab yang besar tentang bagaimana menyiapkan anak-anak usia pra sekolah dan sekolah mulai dari tingkat SD hingga SMA/SMK supaya kelak menjadi wirausaha.
Kendatipun di sekolah sudah diajarkan pendidikan kewirausahaan dan prakarya; itu tidak sepenuhnya menjamin bahwa kelak lulusannya akan menjadi wirausaha.
Bahkan lulusan SMK yang pelajarannya berbasis keterampilan, juga tidak otomatis menjadi wirausaha. Fakta menunjukkan bahwa tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia adalah lulusan SMK (Tempo.co, edisi 04 Mei 2016).
Menjadi entrepreneur atau wirausaha bukanlah perkara yang mudah. Jika orang tidak memiliki sepenuhnya karakter seorang wirausaha, maka ia sekali-kali tidak akan menjadi wirausaha; bahkan kalaupun ia mencoba memulai usaha mandiri, ia pasti tidak bertahan lama.
Beratnya tantangan untuk menjadi wirausaha membuat kebanyakan orang mencari aman dengan lebih memilih menjadi pegawai atau karyawan yang menerima gaji tetap setiap bulan daripada menjadi wirausaha.
Betapapun sulitnya menjadi wirausaha, setidaknya profesi ini kelak akan menjadi pilihan favorit bagi generasi yang sekarang masih berada di usia pra sekolah dan sekolah.
Alasannya cukup mendasar yakni generasi ini akan menjadi bagian dari bonus demografi pada tahun 2020-2035 (Bappenas, 2016).
Bonus demografi bisa dilihat seperti dua sisi mata uang. Sisi yang satu berkah dan sisi yang lain petaka. Bonus demografi menjadi berkah karena melalui investasi sumber daya manusia dalam jumlah yang besar di berbagai sektor usaha maka bisa membantu pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya akan menjadi petaka karena bisa berpengaruh pada menurunnya pertumbuhan ekonomi. Sisi buruk bonus demografi ini berdasarkan pada salah satu dari tiga tesis yang disampaikan oleh Bloom mengenai korelasi antara pertambahan jumlah penduduk dengan naiknya pertumbuhan ekonomi.
Tesis itu adalah menolak/restrict (dua lainnya: mendukung/promote dan netral/independent) yang beranggapan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk justru akan mengurangi pertumbuhan ekonomi karena besarnya jumlah pengangguran.
Pada konteks inilah profesi wirausaha akan menjadi pilihan favorit pada periode bonus demografi; tentu saja dengan catatan bahwa teori menolak Bloom ini menjadi kenyataan.
Gerakan Kewirausahaan
Seorang entrepreneur tidak muncul begitu saja tetapi ia melewati berbagai proses panjang, di antaranya adalah pembentukan karakter wirausaha yang bisa dimulai ketika seseorang masih anak-anak.
Dalam laporan hasil penelitian bertajuk Early Development of Entrepreneurial Qualities: the Role of Initial Education yang dilakukan oleh Isobel van der Kuip dan Ingrid Verheul, dikatakan bahwa terdapat beberapa karakter wirausaha yang seharusnya diajarkan pada anak-anak karena karakter-karakter itu akan sulit dikembangkan oleh orang dewasa.
Karakter-karakter tersebut yakni percaya diri, kesadaran diri, otonomi diri yang tinggi, kontrol diri, rasa empati yang tinggi, kerja keras, berorientasi pada prestasi yang tinggi, berani mengambil resiko dan mudah menyesuaikan diri.
Bertolak dari hasil penelitian ini, bisa diasumi bahwa kegagalan bahkan ketidakberanian orang-orang dewasa dalam berwirausaha disebabkan karena mereka tidak memiliki karakter wirausaha yang seharusnya mulai dikembangkan sejak mereka masih anak-anak.
Supaya anak-anak sekarang ini memiliki karakter wirausaha, maka perlu dilakukan Gerakan Kewirausahaan. Gerakan ini harus berbasis dalam keluarga karena di dalam keluargalah awal mula karakter anak mulai terbentuk.
Orang tua sebagai pendidik utama dalam keluarga harus mengajar, melatih, meneladani dan mendampingi anak dalam proses pembentukan karakternya.
Pertanyaan besar yang mungkin muncul adalah bagaimanakah cara mengajarkan karakter-karakter wirausaha kepada anak? Misalnya, bagaimanakah cara mengajarkan anak supaya ia memiliki karakter percaya diri? Apakah cukup dengan hanya mengatakan kepada anak, “kamu harus percaya diri”? Demikianpun pertanyaan untuk karakter-karakter lainnya.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, setidaknya mau mengungkapkan dua hal: pertama, untuk mengajarkan karakter wirausaha kepada anak-anak, orang tua perlu merancang berbagai aktivitas yang sesuai untuk masing-masing karakter.
Kedua, pada orang tualah tergantung kunci berhasil tidaknya menanamkan karakter wirausaha pada anak.
Pada poin yang kedua ini tersirat pesan; jika orang tua tak sanggup mengajarkan karakter wirausaha pada anak, maka diharapkan bahwa guru di sekolah bisa melakukannya. Dengan demikian, gerakan kewirausahaan harus diperkuat di sekolah.
Gerakan kewirausahaan di sekolah tentu saja tidak terlepas dari pelajaran kewirausahaan yang diajarkan di sekolah.
Gerakan ini bisa berwujud dalam beberapa kegiatan yakni: pertama, nilai-nilai pokok pendidikan kewirausahaan diajarkan terintegrasi pada semua mata pelajaran. Melalui intensitas yang tinggi dalam pengajaran nilai-nilai tersebut diharapkan bisa mempercepat proses internalisasi nilai-nilai itu oleh anak-anak.
Kedua, idealnya pendidikan kewirausahaan berbasiskan kompetensi dan pengalaman langsung siswa. Siswa mesti dibekali dengan kompetensi tertentu dan dilibatkan secara aktif dalam kegiatan atau praktek kewirausahaan. Pendidikan kewirausahaan harus disertai praktek, bukan hanya teori saja.
Ketiga, berkaitan dengan poin kedua, dalam buku yang dipublikasikan oleh European Commission (2014) berjudul Entrepreneurship Education: A Guide for Educators, dikatakan bahwa guru tidak dapat mengajarkan bagaimana menjadi wirausaha tanpa dia sendiri wirausaha.
Pesannya jelas, yang seharusnya menjadi guru kewirausahaan adalah entrepreneur itu sendiri. Ini mungkin sulit dipenuhi oleh sekolah. Yang bisa dilakukan oleh guru (meskipun bukan entrepreneur) adalah mendesain proses pembelajaran kewirausahan supaya bisa mendekati hakekat pendidikan kewirausahaan itu sendiri.
European Commission (2014) menegaskan bahwa pendidikan kewirausahaan itu lebih dari tentang cara menjalankan sebuah bisnis, yang terutama ialah bagaimana mengembangkan sikap wirausaha, keterampilan dan pengetahuan, yang singkatnya guru harus memampukan siswa mengubah ide menjadi tindakan.
Gagasan tentang gerakan kewirausahaan ini bisa dilihat sebagai alternatif cara membekali anak-anak supaya memiliki karakter wirausaha sehingga pada periode bonus demografi 2020-2035, mereka diharapkan bisa menjadi wirausaha.
*Penulis adalah Guru di SMKN 1 Kuwus, Manggarai Barat, Alumni Pascasarjana Universitas Negeri Semarang.