Kupang, Vox NTT- Sejak ahad lalu, VoxNtt.com sudah membikin janji dengan salah seorang guru di SMP Katolik Sta. Theresia Kupang.
Sekadar ingin mencaritahu soal kisah beberapa anak atau pelajar yang justru memilih sekolah di sana, meski mereka berlatar belakang agama yang berbeda.
VoxNtt.com sebetulnya ingin melihat motivasi dan juga bagaimana sekolah yang merupakan Yayasan Katolik itu, memberlakukan beberapa pelajar yang bukan beragama Katolik.
Janji untuk bercerita dengan dua siswi sebagai narasumber itu, baru bisa dilakukan pada Sabtu, usai siswa-siswi melaksanakan kelas ekstra kulikuler, pukul 11.00 Wita.
SMP Sta. Theresia sendiri terletak di kompleks kampus Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, di Merdeka. Terletak di bagian belakang.
Berbekal janji dengan salah satu guru, VoxNtt.com berhasil berjumpa dengan Silsi dan Puan.
Keduanya duduk di kelas VII SMP Sta. Theresia Kupang.
Motivasi dan Daya Tarik
Oleh seorang guru di ruang tamu, bagian piket, VoxNtt.com diperkenalkan dengan Silsi dan Puan.
Bernama lengkap Gracilshi Margareth Malelak, Silsi kelas duduk di bangku kelas 7 A.
Ia tinggal di Kelurahan Fatululi, Perumnas.
Silsi, berlatar belakang keluarga Protestan.
“Sekolah bagus, menghargai perbedaan,” kata Silsi membuka dialog dengan VoxNtt.com.
Silsi mengungkapkan suasana hati, teman-teman dan lingkungan sekolahnya.
“Tentu saya merasa senang, lingkungannya juga baik. Silsi dapat teman teman yang baik dan saling Menghargai,” ujar dia.
Yang menarik, demikian Silsi, meski dirinya berlatar belakang agama Kristen Protestan, sekolah tidak mengharuskan dia untuk berdoa secara Katolik.
“Tidak mewajibkan untuk berdoa secara Katolik. Setiap minggu ada catatan buku mingguan,” ujarnya.
Menurutnya, selama berada dilingkungan sekolah, maupun saat jam pelajaran tidak ada perlakuan secara berbeda antarsemua siswa.
“Tidak pernah mendapatkan perlakuan beda.
Sejauh ini nyaman-nyaman di sekolah. Berbaur dengan siapapun. Tidak pernah ada perlakuan beda. Justru perbedaan itu tidak usah diangkat. Kalau kita mau bahas toleransi satu saka justru itu hal yang baik bagi masyarakat,” ujar dia.
Jika Silsi berasal dari latar belakang keyakinan Protestan. Sementara siswa lain yang dijumpai VoxNtt.com adalah Anggri Dwi Puan.
Puan, nama panggilannya juga sementara duduk di kelas 7A, dia tinggal di perumahan BTN Kolhua, Kota Kupang.
Meski berlatar belakang Islam Puan punya alasan tersendiri memilih SMP Katolik St Theresia Kupang.
“Yang saya tahu sekolah ini memiliki tingkat Disiplin yang tinggi, makanya saya masuk ke sini,” ujar Puan di awal dialog.
Selain soal disiplin, Puan bercerita, ayahnya juga pernah bersekolah di Yayasan Katolik.
“Bapa juga pernah sekolah di yayasan katolik. Saya sangat bahagia meski saya agama islam, Teman-teman menerima saya. Tidak ada yang acuh,” kata Puan.
Puan menjelaskan, dalam lingkungan sekolah tidak mendapatkan diskriminasi atau perbedaan perlakuan entah dari guru, pun demikian dengan teman-teman.
Tentang pelajaran agama, Puan menjelaskan bajwa sekolah tidak mengharuskan dirinya mengikuti pelajaran agama Katolik, atau doa secara Katolik jika ada kegiatan keagamaan.
“Saya punya guru mengaji di rumah. Ada buku mingguan. Setiap minggu ada guru ngaji, saya tulis buku mingguan dari hasil belajar ngaji di rumah. Nanti sampai di sekolah diperiksa, diikuti perkembangan sekolah ngaji di rumah,” jelasnya.
Pun demikian di sekolah, Puan menyebut sebagai siswi muslim yang mengenyam pendidikan di sekolah katolik, dia tidak diwajibkan untuk menghafal doa-doa secara katolik
“Di sekolah Doa doa tidak diwajibkan.
Kalau pelajaran agama saya kerja tugas tidak diwajibkan untuk hafal doa doa. Banyak yang berteman dan baur bersama,” kata dia.
“Kenapa kita harus pecah belah kalau bisa bersatu,” sambung dia menegaskan.
Puan dan Silsi bercerita soal perlakuan lingkungan yamg berbeda saat mengenyam pendidikan.
Setidaknya dua siswi ini mengajarkan tentang, bagaimana perbedaan itu tidak perlu diperdebatkan, dipertentangkan ataupun menjadikannya sebagai alasan untuk saling membenci satu sama lain.
Pada bagian kedua, VoxNtt.com akan bercerita bagaimana perlakuan guru, aturan dan juga kebiasaan sekolah terhadap siswa dan siswi yang berasal dari latar belakang agama yang berbeda.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba