Oleh: Silviana Dede
Mahasiswi Semester 4 Stipas St. Sirilus Ruteng
Berbicara tentang perilaku hidup konsumtif, tidak pernah terlepas dari pengaruh teknologi, dan perkembangan zaman yang semakin membeludak.
Kehidupan terus maju menyebabkan gaya hidup di masyarakat meningkat. Segala kegiatan serta informasi dapat diakses dengan cepat.
Dunia serasa no limit. Semisalnya saja informasi tentang budaya konsumsitas masyarakat yang meliputi bidang fashion, kecantikan/perawatan, kesehatan, dan lain- lain.
Produk-produk ini tentunya sangat menggugah selera dan merupakan investasi terbanyak dalam bidang kehidupan masyarakat dunia.
Terdapat banyaknya prodak yang ditawarkan, tentu sangat pasti menarik peminat dan semacam menggugah selera masyarakat untuk mencobanya.
Karena rasa penasaran akan suatu produk , membuat masyarakat luas membelinya tanpa mempertibangkan apakah barang tersebut benar-benar dibutuhkan atau hanya sekedar diinginkan.
Ketika masyarakat tidak mampu membedakan kedua hal ini, maka di sinilah timbul yang namanya gaya hidup konsumtif sebagai penyebab dari perilaku konsumtif para konsumen.
Perilaku konsumtif ini sendiri adalah suatu bentuk perilaku mengonsumsi atau membeli suatu barang atau produk karena ketertarikan yang bersifat sementara.
Artinya bahwa seseorang membeli barang, hanya karena menginginkannya bukan karena benar-benar membutuhkannya.
Menginginkan suatu barang entah karena tampilannya menarik, barangnya viral atau sedang trend di dunia, atau hal lain juga yaitu membeli barang untuk menutupi gengsi dan ingin bersaing dengan orang lain.
Karena dalam pandangannya, seseorang yang memakai prodak mahal, trend atau mendunia, dibilang bisa menjaga martabatnya, terlebih khusus bagi mereka kaum kaya atau papan atas.
Ciri-ciri dari prilaku konsumtif itu sendiri, tidak terlepas dari seseorang yang cenderung berpola untuk hidup mengikuti hawa nafsu dunia.
Hidup untuk kenikmatan sesaat yang bisa membuat dirinya merasa tidak puas dengan apa yang dimilikinya.
Memang di era sekarang yang dimanjakan dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, kita semakin terseret arus globalisasi.
Pada dasarnya globalisasi membawa dampak yang baik bagi masyarakat. Misalnya kita bisa mengenal pakaian adat dari berbagai daerah, selain itu juga kekhasaan budaya dari suatu daerah, hingga aspek-aspek internasional.
Tetapi yang menjadi permasalahan bahwa ketika adanya arus globalisasi kita tidak bijak menyikapi, sehingga tak jarang kita terjerumus dalam arus globalisasi tersebut.
Kita yang seharusnya menjadi masyarakat produktif tapi kita menjadi konsumtif. Pendek kata, semakin dimanjakan kita semakin konsumtif.
Perilaku konsumtif ini sendiri banyak melanda wilayah perkotaan. Hal ini didukung oleh survei yang dilakukan sebelum dan sesudah pandemi Covid-19 dan diterbitkan dalam survei ke-11 Global Consumer Insights yang telah dilakukan berturut-turut oleh PWC yang berfokus pad kebiasan perilaku pembelian konsumen perkotaan, bahwa perkotaan memiliki presentasi yang besar perilaku konsumtif.
Dari perilaku konsumtif ini tentu menimbulkan banyak dampak. Dampak baik yang ditimbulkan misalnya situs belanja online dan pembayarann yang instan. Sehingga bersifat memudahkan.
Dampak negatifnya, meskipun ini membantu para konsumen, akan tetapi disisi lain godaan konsumtif makin besar.
Godaan konsumtif yang meningkat seringkali membuat masyarakat terjebak utang demi menutupi gaya hidup. Untuk menutupi utang tersebut maka jurus jitu yang ditempuh adalah korupsi.
Hal yang sungguh sangat miris dalam hal korupsi. Korupsi dilakukan bukan hanya oleh mereka yang gajinya pas-pasaan tetapi oleh mereka yang gajinya besar dan berpendidikan.
Lalu pertanyannya, apa gunanya pendidikan yang didapat kalau ujungnya jadi koruptor. Bukankah tujuan dari pendidikan untuk mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk?
Tentunya kita memahami bahwa yang salah bukan pendidikannya tetapi orang berkecimpung dalam pendidikan itu, yang tidak dengan bijak dan baik mempelajari apa yang menjadi pembelajarannya dalam dunia pendidikan.
Hal ini kembali kepada sifat pribadi itu sendiri yang materialistis, rakus, tamak, dan tidak pernah mearasa puas dengan apa yang dimilikinya.
Ketika kita melihat lebih dalam berkaitan dengan perilaku korupsi yang terjadi sekarang.
Menurut beberapa survei yang dialakukan, kebanyakan korupsi dilakukan oleh para elite bangsa yang mengidap penyakit materialistis.
Dengan timbul suatu stigma yaitu bukan pejabat namany a kalau tidak korupsi. Ada juga pernytaan lain yang cukup mencengangkan yaitu penyebab korupsi adalah istri.
Istri terlalu konsumtif akirnya suami kelilit utang. Karena kelilit utang inilah, jalan tengah yang diambil yaitu korupsi.
Sangat miris sekali bukan? Semua manusia memang membutuhkan uang. Tetapi apakah kita harus mencari uang dengan mencuri atau maling uang rakyat? Mereka hidup bahagia di bawah penderitaan orang lain.
Jabatan digunakan sebagai alat untuk melakukan korupsi. Ketika dipikir-pikir juga terkadang korupsi dilakukan untuk “kembali modal”.
Mengapa dikatakan demikian? Kita ketahui bahwa pengeluaran dana untuk menjadi kader atau caleg itu sangat banyak.
Dan jika mereka menang dalam pemilu maka, dengan jalan pintas, korupsi adalah jalan saru-satunya untuk kembali modal dan kaya mendadak.
Lalu sebagai masyarakat atau pelajar apa yang perlu kita lakukan untuk step by step memberantas praktik ini.
Sebagai anak muda milenial yang berkecimpung dengan dunia teknologi, kita tidak bisa tinggal diam.
Gaungkan aspirasi kita walau hanya lewat media. Setidanya itu yang cepat sampai di telinga pejabat pemerintah.
Juga sebagai masyarkat yang tidak setuju dengan praktek korupsi yang semakin mebeludak akibat perilaku konsumtif dari para koruptor yang tidak punya efek jerah, sepertinya kita menyetujui atau sangat mendukung pernyataan yang dikeluarkan Menkopolhukan Mahfud MD, untuk mengusungkan RUU perampasan aset bagi pejabat negara.
Yang bertujuan untuk menindaklanjuti aset pejabat yang tidak proporsional dengan jabatannya.