Oleh: Emanuel Dewata Oja
Ketua Forkoma PMKRI Bali
Penunjukan Ayodhia GL Kalake oleh Presiden Joko Widodo sebagai Pelaksana Jabatan (PJ) Gubernur NTT, menggantikan Viktor Bungtilu Laiskodat, yang mengakhiri masa jabatannya pada 5 September 2023, tentu mengagetkan publik NTT. Kaget lantaran PJ Gubernur yang ditunjuk tersebut, ternyata meleset jauh dari nama-nama calon PJ Gubernur yang beberapa waktu lalu diusulkan DPRD NTT.
Padahal, lewat pemberitaan media massa selama ini, masyarakat NTT mengenal tiga nama putra daerah NTT yang diusulkan DPRD NTT untuk menduduki posisi sebagai PJ Gubernur NTT yakni, Deputi Bidang Koordinasi Keamanan di Kemenkopolhukam, Irjen Rudolf Albert Rodja, Kepala Badan Keahlian Setjen DPR RI Inocensius Samsul, dan Deputi Pengendalian Otorita Ibu Kota Negara (IKN) Thomas Umbu Paty.
Selain mengagetkan, ditunjuknya Ayodhia GL Kalake atau yang akrab disapa Odhi Kalake ini juga mendatangkan kejutan sejarah bagi deretan daftar pemimpin –pemimpin NTT dari masa ke masa.
Sebab selama ini, sudah menjadi semacam konsensus sosial bagi masyarakat NTT, bahwa genetika pemimpin NTT selalu merepresentasikan keseimbangan komposisi antara dua komponen agama mayoritas di wilayah tersebut, yakni Kristen Protestan dan Kristen Katolik.
Tetapi kali ini, pendekatan genetika pemimpin yang khas tersebut tidak ada lagi. Odhi Kalake, adalah lelaki berdarah Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT, kebetulan beragama Islam. Dengan menjabat sebagai PJ Gubernur NTT, ia adalah putra NTT penganut agama Islam pertama yang menjadi orang nomor satu di Provinsi yang mayoritas penduduknya menganut agama Nasrani, baik Kristen Katolik maupun Kristen Protestan.
Dengan mengungkap kejutan tersebut, uraian dalam tulisan ini, tentu saja tidak bermaksud ‘menyenggol’ hal-hal yang bermuatan rasialis. Sebab jika dibentangkan dalam kerangka berpikir nasionalis, tentu saja hal-hal yang bersifat suku, ras atau pun agama, berpotensi besar dapat mencabik-cabik nilai-nilai kebangsaan dibawah naungan Bhineka Tunggal Ika. Kata orang NTT, ‘Beta NKRI. Itu harga mati bung…!’
Tentang Odhi Kalake sendiri, penugasan terakhirnya sebagai abdi Negara sebelum dipililh menjadi PJ Gubernur NTT adalah Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Sesmenko Marves). Meski ia berdarah Adonara, Flores Timur, NTT, namun ia lahir dan besar di Bandung, Jawa Barat.
Odhi Kalake meraih gelar Sarjana (S1) di Universitas Padjajaran dan menempuh program Magister (S2) di Universidad De Complutense, Madrid, Spanyol. Pada tahun 2020, ia menjabat sebagai Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi di Kementerian Kemaritiman dan Investasi yang dipimpin Luhut Binsar Panjaitan.
Setahun kemudian, yakni pada tahun 2021, Odhi Kalake dipercaya menjadi anggota dewan komisaris PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk menggantikan Letjen (Purn) Sumardi berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST).
Mungkin saja, tidak banyak penduduk NTT, terutama yang menetap di NTT yang mengenal sosok Odhi Kalake lebih dekat. Namun apapun, Odhi Kalake adalah putra NTT yang telah cukup lama meninggalkan daerah kelahirannya demi pengabdian pada Negara dan bangsa. Pastilah ia mendapat ‘hadiah dan berkat’ dari Tuhan, sehingga ia boleh mendapat ‘kesempatan emas’ untuk pulang kampung, membangun tanah Flobamora dan menduduki tahta sebagai pucuk pimpinan bumi Nusa Cendana.
Dibalik semua itu, penujukan Odhi Kalake sebagai PJ Gubernur NTT menyiratkan beberapa catatan penting yang dapat menginspirasi perjalanan politik bangsa ini dalam memilih pemimpin pada level apa pun. Atau mungkin juga sebuah ‘tamparan keras’ terhadap kisah-kisah transisi kepemimpinan yang kelam, lewat drama pergantian pemimpin yang dipentaskan di atas panggung-panggung sandiwara rakyat seantero jagat nusantara, yang secara kasat mata dapat disaksikan di beberapa daerah selama ini.
Tanpa bermaksud menyenggol-nyenggol urusan SARA, jika menilik latar belakang Odhi Kalake sebagai seorang Muslim yang taat, dan menjadi pemimpin bagi rakyat NTT yang mayoritas Narani, secara reflektif nostalgia hitam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 silam, terpantul kembali dalam layar proyektor pikiran sebagian masyarakat Indonesia yang pantang melupakan sejarah, apalagi sejarah kelam.
Frasa ini dapat dirumuskan dengan hipotesis sederhana; ‘Bila saja sebagian penduduk NTT berperilaku sama seperti para pendukung calon Gubernur, Anies Rasyid Baswedan pada Pilkada DKI Jakarta 2017, yang menentang mati-matian munculnya pemimpin non Muslim, Basuki Cahya Purnama alias Ahok, bisa jadi situasi NTT hari-hari ini berlumur gejolak sosial’.
Sebab suka tidak suka, munculnya diskriminasi dengan warna apapun di atas panggung politik berlabel demokrasi, dengan topangan tiang-tiang kokoh seperti Pancasila, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, sungguh telah melukai dan menyumbat aliran nafas anak-anak bangsa yang mencintai; atau dengan istilah anak zaman now, telah menjadi ‘bucin’ (Budak Cinta) dari toleransi atau kerukunan umat beragama di negeri Pancasila ini.
Tetapi NTT, bukanlah DKI Jakarta. Ini NTT Bung..! Jika wacana ini ditarik ke spektrum pengamatan yang lebih luas, maka akan terlihat dengan sangat jelas, bahwa yang namanya toleransi dan kerukunan antar umat beragama di NTT itu luar biasa.
NTT selalu bertengger di puncak peringkat nasional dalam hal toleransi di negeri ini. Ini dibuktikan dengan hasil survey Kementerian Agama RI tahun 2021, yang menempatkan NTT sebagai provinsi dengan pringkat kerukunan umat beragama nomor satu dengan skor 81,07%, disusul Papua, Sulawesi Utara, Papua Barat dan Bali pada peringkat lima.
Bahkan mungkin saja, bila dikerucutkan pada keseharian hidup beragama penduduk NTT, peringkat nomor satu untuk kerukunan umat beragama tersebut, relatif banyak dipengaruhi atau berbanding lurus dengan ajaran; Iman, Harapan dan Kasih yang mengalir dalam darah dan menyatu dalam daging penduduk Nasrani mayoritas di NTT.
Apa pun itu, jika kondisi ini dibentangkan di atas hamparan nalar dan logika, sesungguhnya masih terdapat sejumlah pertanyaan yang menggelayut dalam lamunan tentang hadirnya Odhi Kalake sebagai PJ Gubernur NTT. Mungkinkah Presiden Joko Widodo hendak menantang predikat jawara kerukunan umat beragama rakyat NTT yang mayoritas Nasrani dengan menempatkan Pemimpin Muslim seperti Odhi Kalake?
Ataukah Presiden Joko Widodo hendak memberi ujian kepada Odhi Kalake untuk mengalahkan dirinya sendiri demi merawat suasana kebatinan rakyat NTT yang ia pimpin? Biarkan pertanyaan-pertanyaan itu dijawab dengan karya-karya nyata PJ Gubernur NTT, Odhi Kalake.
Tentu seluruh masyarakat NTT berharap, dengan alokasi masa jabatan yang singkat, hanya satu tahun lebih ini, Odhi Kalake tampil sebagai ‘pelari sprinter’ untuk menggerakkan pembangunan NTT yang sudah mulai ‘diorangkan’ oleh Presiden Joko Widodo. Dimana pembangunan NTT mulai dibuat bermartabat, dengan gebrakan infrastruktur dan pembangunan fisik lain yang membuat masyarakat NTT sudah bisa menatap hari depan yang lebih baik dari tujuh puluhan tahun sebelumnya.
Odhi Kalake juga harus memikul tanggungjawab untuk memelihara dan menyuburkan genetika pemimpin NTT seperti telah diuraikan pada bagian lain tulisan ini. Sebab pendekatan genetika kepemimpinan NTT yang selama ini sudah melekat dalam keseharian masyarakat NTT, harus diamini sebagai kearifan politik lokal (local wisdom) yang turut berperan penting dalam menempatkan NTT sebagai provinsi paling toleran secara nasional.
Kepada Bung Odhi Kalake yang mendapat kesempatan memimpin NTT, meski hanya setahun lebih, sampai terpilihnya pemimpin baru di NTT hasil Pemilu serentak 2024 mendatang, terselip pesan; ‘Di pundakmu telah diletakkan tanggungjawab merawat predikat jawara dalam kerukunan umat beragama dan keberagaman di tanah Flobamora. Peliharalah suasana batin seluruh warga NTT baik yang berada di NTT maupun yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Bae sonde bae, Flobamora lebe bae. Selamat Bertugas Bung Odhi Kalake.