(sekadar satu perenungan)
Oleh: P. Kons Beo, SVD
Bukan tak terduga
Yang terjadi akhir-akhir ini bukanlah dinamika politik yang tak terduga. Elastisitas politik bukanlah barang baru, apalagi harus disikapi sedemikian heran. Tidak kah apapun yang dibungkus rapih serta sekuatnya, dalam bingkai politik, mudah tersobek? Tak ada yang pasti dan wajib seharusnya.
Jabat tangan dan rangkulan tak selamanya bakal senafas. Kata-kata yang terangkai indah tak selamanya kisahkan harmoni yang akan teralami. Pada ekosistem politik itu ‘senyum dan tawa sekedar saja. Sebagai pelengkap sempurnanya sandiwara.’ Berawal dari manisnya kata-kata berbumbu, semuanya bisa berujung sepahit empedu. Atau bahkan bisa nihil rasa, sedikitpun tak tersisa.
Sebab itulah, misalnya, wajah suram kehilangan sinar tak berbinar Pak SBY sejak ‘ditinggalkan’ Anis Baswedan, dalam kisi-kisi politik, sulitlah dipahami. Tak perlulah sekian lamentatif sebenarnya. Itu bukanlah petir di siang bolong. Tidak kah dunia politik dan politisi itu mesti lentur dan gesit dalam sepak terjangnya?
Bisa jadi SBY dan juga si putra AHY telah terbiasa dengan habitat militer. Di alam relasi komandan dan anak buah ‘siap kerjakan!’ itu memang ada kepastian dan kepatuhan piramidal yang tak boleh berbelit-belit. Namun, lain ceritanya di alam politik.
Kini SBY dan Keluarga Besar Partai Demokrat mesti peras otak. Ke manakah arah perahu demi dermaga politik yang jadi tempat labuh? Ke sana ke mari ingin merapat demi pelukan koalisi tertentu bukanlah perkara gampangan. Itu baru ‘kisah miris’ yang sudah mendera lingkaran Partai Demokrat.
Seperti itu sudah irama politik
Tanah Air tetap ramai oleh gejolak arus politik. Cak Imin yang semula dianggap sudah kasih lampau hijau demi Prabowo – Gerinda, ternyata sudah cikar arah ke Anis Baswedan. Sesuatu yang lumrah! Kini, giliran Kaesang yang dipelototi di arena politik.
Seperti dapat durian runtuh, si bungsu Presiden Jokowi itu melejit langsung jadi Ketua Umum PSI. Dan kini masih ada bom waktu di Mahkama Konstitusi seputar ambang batas usia capres dan wapres. Gema Dinasti Jokowi digemakan. Seru memang.
Apa sebenarnya di balik semuanya ini? Ingin mendengus akar soal dan bahkan ingin tetapkan kepastian mutlak dari ‘apa sebenarnya yang terjadi di balik semuanya,’ memang bukan perkara mudah. Tetap penuh mustahilnya.
Siapa kawan-siapa lawan tak pernah berdiri kokoh! Terlalu ringkih untuk dipastikan. Selagi masih ada nafas, iya masih ada celah harapan berselancar. Politik selalu kental pada dum spiro spero itu. Namun, di balik udara yang ditarik dan dihembuskan itu kiranya kepentinganlah yang jadi sentrum dan kemudi dari semuanya.
Intinya kepentingan
Karena kepentingan itulah, -yang tentunya dibalut pijar-pijar ambisi-, siap-siap lah untuk ‘kalah atau menang’ dengan risiko yang tak terhindarkan. Namun, katanya, political discernment itu tak anut pun bersimpuh pada nada pasrah ‘biarlah kalah atau rela mengalah.’ Kemenangan adalah keharusan. Sebab hanya ‘menanglah’ satu-satunya jalan menuju kuasa.
Di jalan menuju kuasa inilah (kemenangan) orang mesti siapkan diri bermental perang. Di situ, strategi putih dan modus penuh tipu daya bisa digado-gadokan. Segala yang bersifat manis walau palsu tetap didaulatkan. Tak hanya zona agama yang gencarkan janji manis surgawi, dalam politik itu pun kemesrahan palsu, rangkulan palsu, janji palsu, senyum dan air mata palsu, berita palsu dianggap ‘sungguh layak dan sepantasnya.’
Bebas nilai dan tak tersentuh moral?
Makanya, nampaknya sudah jadi satu tesis bahwa “politik tak ada hubungannya dengan moral dan nilai.” Sepertinya, dalam politik tak perlu terlalu banyak saling percaya. Dan tak usah dipaksakan. Sebab setiap individu bisa hadir dan bertarung dalam koridor kepentingannya sendiri. Yang lain atau apa yang selebihnya toh bisa sekadar causa instrumentalis, sebagai kendaraan politik demi takhta.
Tetapi segala yang ‘serba tak pasti,’ terkesan mendadak dan tak terduga bukannya tak bisa ditafsir dan diurai dalam varian dictum hipotesis. Hitung saja semisal sejak NasDem proklamirkan Anis Baswedan, diumumkannya Ganjar jadi bacapres dari PDIP, Cak Imin yang dipeluk dan memeluk Anis Baswedan (dan bukannya AHY), Golkar yang merapat ke Prabowo, Kaesang Pangarep di takhta Ketum PSI, dengan semua bias-bias dan manuver politik sana-sini bukannya fenomena bebas tafsir. Semuanya tak luput dari analisis atau lolos dari terawang opini.
Kerangka tafsiran
Tetapi, apa sesungguhnya yang dikerjar lewat analisi dan opini? Fakta-kenyataan? Kebenaran? Katanya, ‘Kenyataan ada karena diwujudkan oleh bahasa dan selamanya berada dalam bahasa. Dan di situlah tafsiran mainkan perannya. Jika sepakat dengan Nietzsche, “Fakta tak pernah ada. Hanya tafsir yang ada.”
Maka, kini, di langit Tanah Air bertaburlah analisis, gagasan pun sudut pandang. SalinDemi memburu ‘banyak’
Politik memang sudah dan tengah membidik ‘psikologi orang ramai.’ Sebab katanya, “Orang-orang akan lupa akan apa yang Anda katakan, tetapi mereka ingat perasaan mereka ketika mendengar kata-kata Anda.” Yang mau dikatakan, “Emosi yang terbit yang menentukan, bukan isi yang dicerna” (G Mohamad, 2017).
Sebab itulah di saat-saat seperti ini, politisi sepertinya lupa akan visi-misi dan gagasan-gagasan kunci yang bakal diperjuangkan. Keadaan memaksa bahwa untuk menuju tampuk kekuasaan, ia mesti jadi bintang panggung dan bintang lapangan. Asalkan semuanya menyentuh rasa dan segera masuk di hati publik sebagai idola.
Mari kembali pada segala tafsir yang tak terduga. Segala yang telah dirakit dalam kata dan kenyataan sebagai ‘baik dan demi kebaikan bersama’ telah digugat. Dicari segala daya upaya untuk kembosi gelembung balon udara pengakuan publik yang melangit.
senggol dan bahkan bertabrakan. Sengit memang. Sebab di situ ‘tak ada kebenaran.’ Tidak ada yang diakui sebagai ‘kepastian.’ Untuk sementara nalar tak dibutuhkan. Akal sehat murni runtuh oleh rasionalisasi simplisistik yang sungguh menggelikan.
Logika murahan dibangun tak apalah. Intinya mudah dicerna massa, dan pada muaranya dapatkan simpati dalam lumbung suara yang gendut dan kembung walau isinya kebanyakan angin penuh kepalsuan dan kibulannya. Iya, yang penting elektabilitas ‘diisukan naik dan cenderung terus menanjak.’
Pada saat-saat ini, antitesis dan kontroversi dibangun liar dan semborono. Tak perlu fakta dan data. Asal saja berani bersuara, dibalut narasi hedonistik verbalis diyakini sudah jadi modal untuk mendulang simpati. Yang terjadi belakangan ini bahwa perang narasi tak dipilari oleh isi kepala. Diksi, kalimat, suara, lebih mengobok-obok dunia rasa. Itu sudah jadi modus meriah.
Demi memburu ‘banyak’
Politik memang sudah dan tengah membidik ‘psikologi orang ramai.’ Sebab katanya, “Orang-orang akan lupa akan apa yang Anda katakan, tetapi mereka ingat perasaan mereka ketika mendengar kata-kata Anda.” Yang mau dikatakan, “Emosi yang terbit yang menentukan, bukan isi yang dicerna” (G Mohamad, 2017).
Sebab itulah di saat-saat seperti ini, politisi sepertinya lupa akan visi-misi dan gagasan-gagasan kunci yang bakal diperjuangkan. Keadaan memaksa bahwa untuk menuju tampuk kekuasaan, ia mesti jadi bintang panggung dan bintang lapangan. Asalkan semuanya menyentuh rasa dan segera masuk di hati publik sebagai idola.
Mari kembali pada segala tafsir yang tak terduga. Segala yang telah dirakit dalam kata dan kenyataan sebagai ‘baik dan demi kebaikan bersama’ telah digugat. Dicari segala daya upaya untuk kembosi gelembung balon udara pengakuan publik yang melangit.
Ketika putih jadi hitam dan kelam jadi menderang
Dalam pada itu, segala silam yang dianggap suram, maksiat, keji, bahkan berdarah, semakin dipertebal alur kisahnya yang miris dalam tafsiran dan ‘novum yang lebih memberatkan.’ Maka, karena itulah kontra argumen pun dibangun. Klarifikasi diperjuangkan. Politisi bertarung untuk yakinkan publik bahwa rekam jejaknya telah ‘biaskan cahaya purnama dan bintang gemintang dan bukannya alam gulita di malam hari.’
Tetapi, toh akhirnya segala tafsir ini itu mesti sejenak terhenti. Semuanya mesti disegegel dalam waktu. Dan tentu di babak berikutnya, kembali tafsiran, analisis, opini serta segala kasak-kusuk reaksi: pro ataupun kontra bakal membuntuti.
Akhirnya…..
Bukan kah kita semua bakal berpesta ria dalam pertarungan demokratis? Kemenangan ‘milik di sini’ bakal jadi ‘pemicu gelombang barisan sakit hati di sana.’ Entah seperti apa, siapa dan bagaimana? Bagaimanapun, demi Indonesia jaya membaca tanda-tanda zaman harus menjadi kemestian. Dan tak pernah boleh terpeleset di situ.
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma